buku Athirah yang dihadiahkan penerbit |
SALAH satu nikmat menjalin relasi dengan
penerbit adalah adanya kiriman beberapa buku terbaru. Tak perlu mengeluarkan
uang untuk membelinya sebab penerbit akan suka-rela mengirimkannya, dengan
harapan agar buku-buku tersebut bisa diresensi di media. Kalaupun tak
diresensi, buku itu bisa menjadi sebuah temali yang mempererat hubungan antara pembaca dengan
penerbit.
Beberapa hari lalu, saya menerima paket
buku dari penerbit. Isinya macam-macam. Ada novel, buku ilmiah populer, hingga
memoar atau biografi. Saya tertarik dengan satu buku berjudul Athirah. Saya sangat senang ketika
membaca sampul buku, ternyata di situ ada tanda tangan Jusuf Kalla dan sang
pengarang buku Alberthiene Endah, pengarang yang sangat populer. Saking
senangnya, saya langsung menghubungi penerbit demi mengucapkan rasa terimakasih
atas buku dan tanda tangan yang berharga itu. Ini benar-benar bonus. Saya
mendapat buku, sekaligus tanda tangan seorang mantan wapres dan penulis bukunya.
Saya lalu membuka-buka buku itu. Bagi
mereka yang pernah tinggal di Makassar, pastilah paham bahwa Athirah adalah
nama sebuah sekolah swasta favorit yang dikelola oleh yayasan milik keluarga
Jusuf Kalla, Wapres RI. Selain nama sekolah, Athirah pernah pula diabadikan
sebagai nama kapal yang dimiliki keluarga Kalla. Tak banyak yang tahu bahwa Athirah
adalah nama ibunda Jusuf Kalla.
Seingat saya, selain Athirah, ada pula
nama ibu lain yang diabadikan sebagai nama perusahaan dan gedung. Ibu lain itu
adalah Pole, ibunda AA Baramuli, salah satu lelaki Bugis yang pernah meniti
karier sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pada masa Orde Baru. Kelak, saya ingin kisahkan hubungan asmara
yang berliku-liku antara Pole, wanita asal Pinrang, dengan Julius Baramuli,
lelaki asal Manado.
tanda tangan Alberthiene Endah selaku penulis, dan Jusuf Kalla |
Saya baru membaca separuh novel Athirah. Isinya adalah pergulatan batin
dari seorang ibu yang suaminya tiba-tiba menikah lagi. Dalam buku ini, sosok
aku adalah sang anak yang kemudian bercerita pengalamannya ketika melihat
bagaimana seorang ibu harus mengalami tekanan batin karena suaminya harus
membagi hati dengan orang lain. Sang anak itu adalah Jusuf Kalla.
Saya ingin bercerita banyak tentang novel
ini. Mulai dari elemen budaya Bugis yang tidak terekam dengan baik dalam
karakter, hingga tak adanya setting sosial yang bisa membantu pembaca sehingga
memahami tentang sosok relasi antara perempuan Bugis dan suaminya, hingga
bagaimana masyarakat memahami poligami dari sudut pandang kultural.
Saya akan menuliskannya ketika tuntas
membaca buku Athirah ini. Untuk saat ini, saya ingin menikmati aliran
kalimat-kalimat dalam buku yang serupa sungai. Saya ingin larut dalam sosok
perempuan hebat yang telah mengeluarkan anak-anak yang hebat, perempuan yang di
dalam matanya selalu mengalir kekuatan untuk selalu menjadi tempat kembali bagi
anak-anaknya.
Yup. Ibu memang segala-galanya. Ia adalah
mata air bagi semua anak-anaknya.
2 komentar:
Salam.
Saya belum baca bukunya, tapi memang tertarik juga bacanya. hehe...
Oiya, Kak. saya mau nanya, bagaimana caranya biar bisa menjalin relasi dengan penerbit, seperti yang dijelaskan dalam artikelnya? Saya, kebetulan, berkecimpung dalam lembaga jurnalistik kampus (UNM). Siapa tahu kami bisa pula berkesempatan menjalin relasi seperti Kak Yusran. :D
*mohon pencerahannya
Hallo Imam. ada cara gampang utk menjalin relasi. beli satu buku, kemudian resensi di media massa atau media sendiri. kemudian [rlihatkan resensi itu ke penerbit. biasanya, penerbit akan menghadiahkan buku. dengan cara demikian, kita bisa bangun relasi dgn mereka. demikian.
Posting Komentar