Surat buat TAN MALAKA

Tan Malaka

BUNG Ibrahim Datuk Tan Malaka yang sedang berbaring di sana. Puluhan tahun silam, engkau pernah menulis, “Dari dalam kubur, suaraku akan lebih keras.” Apakah suaramu masih akan nyaring sebagaimana dahulu ketika dirimu berhadapan dengan opsir kolonial di banyak negara? Apakah engkau akan bahagia ketika republik yang kau idam-idamkan akhirnya didirikan oleh Sukarno dan telah berdiri selama 68 tahun?

Generasi kami tak banyak banyak mengenalmu. Kamu tenggelam di lipatan sejarah. Bahkan ketika pemikiranmu hendak dibedah di Surabaya pekan lalu, banyak massa salah satu organisasi Islam datang menyerbu. Mereka melarang diskusi pemikiranmu digelar. Mereka memakimu. Mereka menyebutmu komunis yang tak layak dikenang. Bahkan tak pantas untuk sekadar dibicarakan. Kamu dianggap najis yang tak layak diingat.

Aku yakin kalau mereka tak paham bahwa hidupmu telah didedikasikan untuk setiap tarikan napas di alam kemerdekaan. Mereka tak paham bahwa di masa perang segala bentuk ideologi adalah senjata yang dipilih dengan satu tujuan untuk menggapai kemerdekaan, untuk menghancurkan kolonialisme. Ketika mereka melabrak diskusi tentang pemikiranmu, mereka seakan hendak berkata bahwa kontribusimu harus dibuang jauh-jauh. Hanya karena satu hal. Karena engkau seorang komunis.

Mereka tak tahu kalau banyak ilmuwan yang amat menghormatimu. Muhammad Yamin menyebutmu Bapak Republik Indonesia yang dipersamakan dengan George Washington di Amerika atau Rizal di Filipina. Kemudian, Rudolf Mrazek menyebutmu sebagai manusia komplet. Ada juga ilmuwan Dr Alfian yang mengatakn bahwa kamu adalah pejuang revolusioner yang kesepian. Mereka menyebutmu hebat. Kamu seorang aktivis politik yang lincah, yang menghabiskan 20 tahun di dalam pembuangan di berbagai negara.

Bung Tan Malaka yang Kuhormati

Membicarakanmu adalah membicarakan benih awal tentang Indonesia. Dirimu telah mendedikasikan hidup di jalur perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia. Kalaupun belakangan tokoh yang menonjol adalah Soekarno, Hatta, dan Sjahrir, maka tetap saja tidak mengecilkan peranmu sebagai bapak republik, yang pada setiap kalimatmu terdapat pedang yang hendak merobek-robek jantung kolonialisme.

Bagiku, engkau adalah seorang filosof di tengah kecamuk peperangan. Aku tak habis-habisnya mengagumi kemampuanmu untuk menulis sebuah buku filsafat di tengah-tengah deru revolusi dan perjuangan. Karyamu Madilog menjadi buku awal yang hendak membongkar aspek mitologis pada cara berpikir masyarakat kita. Engkau telah memperkenalkan cara berpikir logis, yang sejatinya bisa menjadi obor penerang bagi gelapnya cara berpikir.

Jika mereka tak pernah membaca Madilog, barangkali mereka juga tak membaca karya-karya terbaikmu seperti Gerpolek, Menuju Republik Indonesia, Massa Aksi, ataupun Dari Penjara ke Penjara. Andaikan mereka baca dan tak bersepakat, bukankah akan sangat baik jika mereka juga melahirkan buku yang hendak menyanggah gagasanmu? Bukankah ide harus dibalas dengan ide? 

ilustrasi

Kau telah menulis dalam situasi keterbatasan. Jika mereka menulis, barangkali idenya akan lebih kaya karena mereka bisa memperdalam pengetahuan dengan cara membaca pustka di banyak perpustakaan besar, atau mengasahnya dengan sumber-sumber dari Google, perpustakaan amat besar yang mungkin tak pernah terbersit di pikiranmu. Sungguh amat sayang, mereka tak pernah siap dialog. Mereka tak siap untuk saling debat, kemudian menelusuri argumentasi masing-masing demi menemukan kebenaran.

Mereka berkata bahwa engkau seorang komunis. Katanya pula, para komunis punya sejarah pernah memberontak pada NKRI sehingga harus dilenyapkan. Dengan logika yang sama, aku ingin sekali bertanya pada mereka yang mengaku Islam itu. Bukankah sejarah negeri ini pernah pula mencatat sejumlah orang Islam yang kemudian memberontak pada negeri ini, yang salah satunya adalah Kartosoewirjo? Apakah kalian akan melenyapkan semua umat Islam hanya karena ada yang pernah memberontak? Bisakah kita menghakimi seseorang hanya karena perbuatan dari sedikit orang?

Bung Tan Malaka yang kuhormati

Mereka yang menolakmu adalah mereka yang tak pernah membaca sejarah bangsa ini. Mereka hanya pernah mendengar, tanpa pernah menelusuri dengan baik tentang kiprahmu, kemudian belajar untuk mengapresiasi hal-hal baik yang kau wariskan. Mereka yang membencimu adalah mereka yang hidup dalam prasangka akibat propaganda. Mereka hanya membaca selebaran, atau mungkin hanya mendengar ‘katanya-katanya,’ tanpa menelaah dengan jernih dan hati yang terbuka tentang siapa sosokmu.

Namun aku tak ingin menyalahkan mereka. Sikap buta sejarah itu jelas dipengaruhi sejumlah patahan realitas sosial kita yang kemudian memberikan kontribusi pada ketidaktahuan atas siapa-siapa yang menjadi pendiri republik ini.

Generasi kami tidak diajarkan sejarah yang berimbang. Para sejarawan hari ini piawai berbicara di berbagai konferensi ilmiah, namun gagap ketika harus mengajarkan pengetahuannya kepada masyarakat banyak. Ada banyak buku tentang dirimu yang ditulis oleh sejarawan, baik di dalam dan luar negeri, namun buku-buku itu tidak juga bisa mencerahkan dan mencerdaskan publik luas. Di saat bersamaan, pemerintah juga abai dan tidak merasa penting untuk menyerap kearifan sejarah. Pantas saja jika kami hanya tahu tentang sosok Sukarno dan Hatta, tapi tidak tahu seberapa jauh kiprah mereka dalam republik ini.

Masyarakat hari ini juga adalah warisan masa Orde Baru telah mengalami doktrinasi untuk membenci mereka yang berideologi berbeda. Apakah kau pernah mendengar nama Orde Baru? Kuberi satu informasi. Bung Karno dijatuhkan oleh rezim ini. Kaum komunis menjadi tertuduh. Mereka, yang sesungguhnya bagian dari masyarakat kita, dibantai hingga jutaan orang. Selama 32 tahun, masyarakat telah mengalami proses ‘cuci-otak’ untuk membenci segala hal yang menyangkut komunisme, tanpa mempertanyakan dengan kritis apakah gerangan sesuatu yang dibenci itu.

Generasi kami telah didoktrin untuk selalu berpikir seragam, sehingga ketika ada yang berpikir berbeda maka harus disingkirkan. Perbedaan adalah sesuatu yang dihindari. Mereka yang berbeda adalah mereka yang harus disingkirkan, bahkan melalui jalan kekerasan sekalipun.

Bung, anehnya, negara yang kuat, sebagaimana kau bayangkan dulu, hanyalah ilusi. Negara justtru hanya diam saja ketika banyak oknum yang mengatasnamakan agama, lalu bertindak semaunya. Negara diam saja ketika ada yang menebar teror atas nama masyarakat. Padahal, teror itu tak pernah dilandasi satu bacaan yang jernih atas apa yang terjadi. Teror itu bermula dari kepicikan, yang kemudian mengejawantah menjadi gerakan yang serba picik.

perjalanan Tan Malaka

Inilah zaman kami, zaman yang dipenuh para algojo kebenaran. Ada banyak orang yang merasa sedang membawa misi untuk menegakkan kebenaran, dan menyingkirkan mereka yang sesat. Mereka lalu menampikmu. Mereka tak menerima warisanmu untuk selalu bersikap kritis, membuka pikiran pada hal baru, serta menanam kuat-kuat rasa cinta tanah air yang lalu menjadi pijakan untuk meloncat tinggi di lngit-laangit peradaban.

Bung Tan Malaka. Tenanglah kau berbaring di alam sana. Kau telah meninggalkan negeri dan tanah ini sejak tahun 1949. Jika kelak kau bertemu Bung Karno, sampaikanlah padanya tentang nasib negeri yang diperjuangan selama puluhan tahun, diperjuangkan dari penjara ke penjara. Apakah kalian akan sama bersedih? Ataukah kalian akan sama-sama terpekur dan berbisik bahwa inilah takdir generasi kami?

Kisahkan padaku.



0 komentar:

Posting Komentar