ilustrasi |
BETAPA seringnya aku menyaksikan amarah.
Betapa seringnya aku melihat orang yang tiba-tiba murka, menyalahkan keadaan,
meledakkan amarah kepada orang lain, setelah itu menyalahkan diri sendiri. Rasa
amarah itu kemudian menjadi belati yang menyakiti diri sendiri.
Aku pun kerap dihinggapi rasa amarah.
Seringkali, pikiran dipenuhi rasa jengkel sehingga amarah meledak. Pada
saat-saat seperti ini, nalar jadi hilang. Rasio tiba-tiba saja lenyap. Kita
sering tunduk pada rasa amarah yang tiba-tiba saja mengambil kendali atas diri
kita.
Sering kupikir mengapa harus ada amarah.
Mengapa pula Tuhan harus menciptakan amarah, yang kemudian menguasai jiwa dan
pikiran manusia? Apakah amarah selalu negatif sehingga bisa merusak diri
seseorang?
Pengetahuan modern bisa menyebabkan
manusia melesat jauh hingga mencapai bulan. Akan tetapi pengetahuan itu tak
selalu bisa mengajarkan manusia bagaimana mengendalikan amarah. Pengetahuan
membuat kita cerdas, namun tak selalu bisa membuat kita untuk tenang serta
mengendalikan diri.
Dalam kisah-kisah pendekar, mereka yang
sakti mandraguna adalah mereka yang jarang memelihara amarah. Biasanya, mereka
yang sakti cenderung tenang, tak banyak memamerkan kesaktiannya. Kalaupun harus
berkelahi, maka biasanya mereka tak akan melakukannya ketika marah. Sebab
amarah bisa membuatnya kehilangan ketenangan dalam membaca gerakan lawan.
Pertarungan terbaik akan dimenangkan dalam keadaan tenang. Tanpa beban.
Aku tak tahu bagaimana mengendalikan
amarah. Seorang bijak pernah mengajariku cara mengandalikan amarah. “Ketika
kamu marah, segera tarik napas panjang, kemudian berdiam diri. Kendalikan semua
amarah melalui bernapas dengan teratur. Setelah itu, berpikirlah dengan tenang.
Pikirkan segala hal-hal baik yang menyenangkan hati. Yakinlah, saat itu kamu
akan mendapatkan ketenangan,” katanya.
Pesan ini serupa embun sejuk yang
membasahi pikiranku. Jika marah terkait dengan tidak stabilnya gelombang otak,
maka penyembuhannya adalah dengan membuatnya stabil. Pantasan orang tua
mengajarkan bahwa dalam keadaan amarah, segera berwudhu kemudian salat. Dalam
konteks ini, salat menjadi medium untuk meredam segala amarah. Melalui doa,
seseorang akan menenangkan diri, menemukan sisi paling sejuk dalam dirinya,
kemudian memasrahkan diri pada sang pencipta.
Dalam berbagai keyakinan, ada banyak cara
untuk mengendalikan amarah. Biksu Ajahn Brahm yang mengajarkan meditasi untuk
menstabilkan pikiran. Ketika marah hadir, ia akan menenangkan diri. Ia
menghadirkan embun ketenangan, yang serupa api kemudian memadamkan semua
amarah. Ia mengubah semua rasa geram dan kejengkelan menjadi rasa penerimaan
yang tinggi sekaligus membangun benteng keikhlasan untuk menerima apapun yang
terjadi. Pada titik ini, amarah akan menjelma menjadi keikhlasan.
Ada banyak cara untuk mengendalikan rasa
marah. Banyak di antaranya menganjurkan ketenangan serta tidak larut dalam
lautan amarah itu. Yang terpenting adalah bagaimana sesegera mungkin
menghadirkan keihlasan, yang kemudian menjadi embun dan memadamkan semua
amarah. Semua orang bisa menemukan cara-cara sendiri untuk mengatasi marah. Tak
selalu meditasi. Bahkan permenungan sekalipun bisa menjadi embun yang mengatasi
dahaga kemarahan.
Buat kalian yang membaca tulisan ini.
Apakah kalian pernah mengalami amarah? Bagaimanakah cara kalian mengendalikan
rasa amarah itu?
Kisahkan pengalaman itu di kolom komentar.
1 komentar:
Aku marah, tapi aku tetap tenang. Adakah ketenangan dalam kemarahan, atau ada perbedaan antara marah dan emosi yang meningkat?
Posting Komentar