Tulisan ini dibuat atas permintaan harian Tribun Timur demi memperingati ulang tahunnya yang ke-10. Sebagai mantan jurnalis Tribun, saya sangat bangga diminta untuk menulis. Silakan menyimak.
SETIAP momen ulang tahun seyogyanya
menjadi momen refleksi untuk melihat kembali sisi lain dari diri yang terus
berubah. Sebuah momen refleksi adalah momen untuk bercermin. Inilah saat tepat
untuk melihat ulang diri kita, menerima dengan ikhlas segala sesuatu yang
membekas di wajah kita, kemudian menata ulang masa depan melalui pijakan atas
masa kini.
Jika
hal yang sama diterapkan pada media sekelas Tribun Timur, apakah gerangan
refleksi yang bisa kita temukan? Tribun memang telah mengalami banyak transformasi.
Koran ini telah menjadi koran nomor satu di kawasan timur. Pendapatan iklan
telah meroket hingga menjadi salah satu koran papan atas.
Bahkan
beberapa awak koran ini telah menyebar ke berbagai jaringan koran lain, dan
menjadi pucuk pimpinan. Mereka menjadi duta Tribun yang menyebarkan jurnalisme
khas Tribun ke banyak penjuru. Di ranah Sulawesi Selatan, Tribun telah menjadi saksi
atas berbagai perubahan sosial dan politik. Pertanyaan yang kemudian mencuat,
apakah koran ini telah menggapai misi, sebagaimana dicanangkan ketika
didirikan?
Saya
masih mengenang suatu hari di tahun 2003. Selama lebih enam bulan, seanyak 50
orang jurnalis digembleng selama lebih enam bulan demi terbitnya Tribun Timur. Hari
itu, ideologi serta corak khas koran ini diperkenalkan. Bertindak sebagai guru
adalah jurnalis senior Kompas, Valens
Doy, serta Uki M Kurdi.
Sebagai
salah seorang jurnalis pada masa awal, saya masih mengenang kalimat Valens Doy
ketika mengajarkan konsep berita yang mikro, people oriented, serta entertain.
Tak hanya itu, Valens juga menitipkan dua pesan di sela-sela pelatihan. (1)
Tribun tidak hanya menjadi koran yang besar di level Sulawesi Selatan. Tapi ruang
geraknya harus bisa menjangkau seluruh wilayah Indonesia Timur. (2) Ketika
koran ini telah menjadi koran nomor satu, maka saatnya mengambil banyak peran
yang tak sekadar memberita, melainkan ikut akif dalam mendorong kehidupan
sosial yang berkeadaban.
Perlebar Ruang
Pesan
Valens itu sangatlah aktual untuk digemakan kembali hari ini. Ketika berbagai
koran daerah yang bernaung di bawah Kelompok Kompas Gramedia (KKG) diberikan
nama sesuai kota tempat koran itu bernaung, maka
koran yang terbit di Makassar ini justru diberi nama Tribun Timur. Artinya,
sejak pertama didirikan, koran ini diniatkan untuk menjangkau arena yang lebih
lebar. Tak hanya Sulawesi Selatan, melainkan seluruh kawasan di Indonesia
Timur.
Saya
melihat peran ini bisa dimainkan lebih tegas di masa mendatang. Sudah waktunya
membuat sayap koran ini mengepak lebih tinggi dan beredar hingga pelosok timur
lainnya. Koran ini mesti memolopori lahirnya koran yang bisa berbicara banyak
di level regional. Cakupan pemberitaannya tak lagi mengangkat Makassar dari
aspek emotional benefit, namun local wisdom kawasan timur yang semakin
bertaut karena adanya persamaan kepentingan.
Potensi
ini jelas terbuka lebar. Kawasan Sulawesi dan Indonesia timur telah mencatatkan
dirinya sebagai kawasan yang paling vibrant
(menyala) dengan trend ekonomi yang terus membaik, di saat kawasan Jawa mulai
stagnan alias tak bisa berkembang. Kita juga bisa sama saksikan bahwa di level
pemerintahan, para kepala daerah di Sulawesi sepakat untuk membentuk forum yang
menginterasikan aspek pembangunan di daerah, sekaligus membangun
interkoneksitas.
Lantas,
apa pula yang menghalangi Tribun Timur untuk segera membentuk banyak agen di
berbagai provinsi di kawasan timur, kemudian membangun sebuah korab besar yang
diharapkan bisa menjadi lokomotif bagi transformasi besar dalam bisnis
persuratkabaran di kawasan timur?
Gagasan
lain yang dikemukakan Valens adalah perlunya memosisikan diri sebagai medium
bagi publik. Ia membayangkan Tribun Timur tidak hanya sekdar merangkum
gagasan-gagasan, tapi juga sebagai ruang-ruang dialog warga kota. Nampaknya, ia
mengutip peran ideal pers dalam kancah demoraktisasi. Bahwa seyogyanya, media
menjadi arena tempat warga mendiskusikan berbagai masalah kota, lalu
membahasnya dengan berbagai stakeholder.
Pada titik ini, koran mesti memfasilitasi banyak dialog publik untuk peradaban
yang lebih baik.
Gagasan
ini mensyaratkan adanya satu proses pencerdasan sekaligus memberikan pencerahan
bagi publik. Demi menjangkau area yang lebih luas itu, koran ini mesti punya
kekuatan besar yang terrefleksi dalam pemberitaan serta lini redaksi yang kuat.
Makanya, filosofi dasar media ini mesti terus mengalami penguatan. Saya masih
mengingat jelas filosofi dasar dalam pemberitaan Tribun, yang dikembangkan berdasarkan tiga aspek
penting yakni (1) merangkum apa yang terjadi (what happened), (2) merekam makna dan membaginya kepada publik (what does it means), dan (3) memberikan
informasi pada publik apa yang harus dilakukan (what should I do).
Dalam
pandangan saya, jantung dari proses jurnalisme Tribun senantiasa menekankan
pada makna. Sebuah pemberitaan dianggap berhasil menyentuh sasaran ketika
terjadi resultan dua aspek yakni publik memahami makna dari setiap kejadian,
dan publik paham apa yang harus dilakukan sebagai warga. Pada titik ini, Tribun
senantiasa didorong untuk menemukan butir-butir makna di balik setiap kejadian,
memberikan pencerahan kepada warga agar mereka bisa melihat persoalan dengan
lebih terang, serta menggugah kesadaran publik untuk melakukan sesuatu.
Sejauh
ini, peran-peran ideal tersebut bisa dilakukan dengan baik. Hanya saja,
penajaman atas makna ini mesti terus dilakukan dengan memperkuat sumber daya
para jurnalis, menyuplai mereka dengan bacaan-bacaan yang berkualitas, serta
melakukan diskusi secara berkala. Saya juga sering menyayangkan tak adanya
ruang bagi rubrik seni dan budaya, yang sejatinya menjadi mata batin satu
komunitas. Dahulu, ruang itu sengaja belum diberikan sebab koran ini tengah
mencari bentuk dan membuka pasar. Namun ketika koran ini telah menjadi koran
nomor satu, apa pula yang menghalanginya untuk memberikan ruang sastra dan
budaya untuk merekam refleksi masyarakat atas dinamika zamannya?
Hari
ini, Tribun merayakan ulang tahun ke-10. Berbagai selebrasi serta ucapan
selamat memenuhi langit-langit kota Makassar. Sayang sekali, guru para jurnalis
Tribun yakni Valens Doy telah lama berpulang. Ia tak sempat menyaksikan
transformasi koran yang kini menjadi koran nomor satu. Namun setidaknya ia
telah meletakkan satu pelajaran berharga yang didapatkan di kelas pelatihan. Ia
telah mengajarkan tentang makna sebagai jantung dari semua kerja jurnalistik.
Dan semoga saja ajarannya itu terus membekas dalam setiap larik informasi yang
dipancarkan koran ini. Semoga.
0 komentar:
Posting Komentar