Nikmat Kopi Pangku di Kota Bogor


ilustrasi

PARA lelaki itu datang bersama belasan rekannya. Mereka adalah rombongan dari Mamasa, sebuah daerah yang amat eksotik di Sulawesi Barat, yang hendak menjalin relasi dengan satu pusat studi di Institut Pertanian Bogor (IPB). Secara kebetulan, aku ikut dalam pertemuan mereka dengan Rektor IPB dan ketua pusat studi. Kulihat mereka lebih banyak diam.

Pada mulanya, suasana agak kaku. Kami membahas hal-hal yang serius mengenai pembangunan dan keterisolasian. Para lelaki dari Mamasa itu mengaku amat terisolasi. Lama tempuh dari kota Makassar ke Mamasa adalah sembilan jam. Pembangunan tak banyak menyentuh wilayah yang kebanyakan didiami oleh etnik Mamasa, yang bersaudara dengan etnik Toraja itu. Sayangnya, dialog itu agak monoton. Barangkali hanya ada dua atau tiga orang yang bersemangat untuk bercerita. Lainnya hanya terdiam sembari mengangguk-angguk seakan mengerti.

Mereka lalu menghadiahkan beberapa bungkus kopi Mamasa yang terkenal itu. Mamasa memang amat kondang dengan kopinya yang amat nikmat. Seorang penikmat kopi mengatakan kopi Mamasa sangat khas dan tak ada samanya. Ketika seorang dari mereka sibuk membahas kopi, langsung saja kukisahkan tentang jenis kopi nikmat di Bogor yang tak ada di Mamasa. Hah?

Mereka penasaran. Kali ini aku sukses membuat mereka terpana dan penasaran. Dalam dunia diplomasi dan negosiasi, aku telah unggul selangkah. Aku lalu menyebut “Kopi Pangku” yang dengan mudahnya di temukan di kawasan Puncak. Mendengar kata kopi pangku, mereka lalu tersentak, kemudian tertawa terbahak-bahak. Mereka tetap penasaran. Kusebutkan bahwa ketika meminum kopi pangku, maka kopinya tak penting. “Yang bikin penasaran adalah sosok yang dipangku serta apa yang dilakukan di situ.”

Pembicaraan langsung cair. Kami tiba-tiba saja menemukan satu gelombang yang sama. Benar ungkapan seorang pakar komunikasi, bahwa ketika kita menemukan satu tema bersama yang sama-sama membangkitkan minat, maka pembicaraan akan menjadi sangat lancar. Kami bersama-sama merencanakan berbagai riset serta program yang semoga bisa melepas keterisolasian daerah itu.

Sejatinya aku tak paham apakah gerangan kopi pangku itu. Seorang sahabat bercerita bahwa di kawasan Puncak, Bogor, ada banyak warung-warung yang menyediakan kopi pangku. Disebut pangku karena para lelaki yang meminum kopi akan duduk sambil memangku seorang perempuan. Aku tak perlu menjelaskan lebih jauh, karena semua orang sudah tahu apa yang mereka lakukan. Biasanya, usai memangku akan dilanjutkan dengan sama-sama menghilang di balik tirai. Entah apa yang mereka lakukan di situ.

Beberapa praktisi pendidikan dan pemerhati moral telah mengungkapkan keprihatinan atas fenomena kopi pangku. Tapi mereka tak sanggup berkata apapun ketika dihadapkan dengan pertanyaan bagaimana mengatasi problem ekonomi yang tengah melanda para perempuan yang kerap dipangku tersebut. Tanpa pembenahan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat, maka fenomena kopi pangku akan terus marak, tanpa bisa dikendalikan.

Selagi asyik membahas kopi pangku itu, tiba-tiba saja seorang dari rombongan Mamasa itu bertanya, “Apakah kopi yang diminum saat memangku itu adalah kopi Mamasa?” Aku lalu terdiam sejenak kemudian tersenyum. Bagiku, apapun jenisnya, rasa kopi selalu nikmat. Namun, ada saja yang memberi label kopi dengan hal lain semisal pangku-memangku. Entah, apakah ada nikmat di situ. Terhadap pertanyaan itu, aku menjawab, “Nampaknya bapak harus membuktikan sendiri. Kapan mau ke sana?”

Kali ini kami semua tergelak.



1 komentar:

Anonim mengatakan...

Ooh itu rupanya kopi pangku,

Posting Komentar