Membaca The House of Hades


serial the heroes of olympus

AKU seorang pengemar fiksi, khususnya fiksi petualangan. Pada setiap kisah petualangan, kutemukan imajinasi yang menjadi kendaraanku untuk berkelana. Melalui imajinasi, jantungku berdetak mengikuti irama petualangan, menyusuri negeri-negeri terjauh, lalu kembali berpijak ke bumi, dan membawa banyak kisha tentang penjelajahan.

Setelah kisah Harry Potter tamat, aku mulai memfavoritkan kisah petualangan Percy Jackson. Dahulu, kuanggap Harry Potter adalah kisah terbai yang tak ada duanya. Kini, setelah membaca serial The Heroes of Olympus dari Percy Jackson, aku mulai merevisi anggapan tentang Harry Potter. Kuanggap kisah Percy lebih menantang, lebih mendebarkan, dan lebih membuatku terpaku sampai-sampai membaca kisah itu pada kesempatan pertama.

Kemarin, aku membeli buku The House of Hades yang merupakan bagian dari kisah The Heroes of Olympus. Kisah ini adalah kelanjutan dari The Lost Hero, The Son of Neptune, dan Mark of Athena. Pengarang buku ini, Rick Riordan, membuat buku yang berlatar mitologi Yunani dan Romawi. Aku akhirnya belajar ulang bahwa ada kemiripan antara dua mitologi ini, namun hadir dengan nama-nama yang berbeda.

Aku pencinta berat karya Rick Riordan yang selalu mengolah berbagai mitos dan legenda menjadi kisah yang mendebarkan. Ada kemiripan antara tokoh Harry Potter (yang diciptakan JK Rowling) dan karakter Percy. Keduanya sama-sama tumbuh seiring waktu. Hanya saja, petualangan Harry Potter hanya ada dalam tujuh buah buku, maka Percy lebih panjang. Setelah sebelumnya terbit lima seri petualangan Percy Jackson and The Olympians, maka kini ada lagi lagi The Heroes of Olympus yang sudah mencapai buku keempat. Kisahnya jadi lebih dinamis.

Setiap kali membaca, setiap kali pula aku merasa iri dengan kemampuan Rick Riordan untuk merawa semua dongeng dan kisah-kisah mitologi. Aku melihat bahwa bahan-bahan untuk menyusun kisahnya justru diambil dari khasanah mitos serta legenda yang kemudian dikemas ulang menjadi lebih menarik dan lebih bertenaga.

Yang sering kupikirkan adalah mengapa tak banyak yang suka fiksi petualangan di tanah air kita? Apakah kita tak paham kalimat Einstein bahwa imajinasi jauh lebih penting dari ilmu pengetahuan? Bahwa imajinasi ibarat sayap yang akan membawa kita untuk terbang dan melintasi semua mega-mega pengetahuan?


Kita memang tak menghargai imajinasi, sebagaimana bisa ditemukan dalam berbagai mitos, legenda, dan cerita rakyat. Padahal, bangsa-bangsa seperti Amerika Serikat dan Inggris justru menemukan karakter bangsa melalui kisah mitologis tersebut. Ternyata, kisah ini bisa pula menjadi kisah yang laris-manis jika dikemas menjadi bacaan yang menarik dan mengasyikkan bagi kalangan muda.

Pelajaran berharga dari serial Percy Jackson dan Harry Potter adalah segala dongeng dan cerita di sekitar kita bisa menjadi bahan mentah untuk dikembangkan menjadi cerita yang menarik. Kita hanya butuh satu kejelian untuk menangkap ide, lalu menjejalkannya dalam naskah cerita.

Sejak dahulu, aku merindukan adanya kisah semacam Harry Potter atau Percy Jackson yang bahan bakunya adalah semua dongeng-dongeng Nusantara. Dengan begitu banyaknya suku bangsa di tanah air, maka mestinya para penulis atau sineas kita tak akan pernah kehabisan ide sebab kebudayaan bisa menjadi mata air yang mengalirkan gagasan-gagasan.

Belakangan, ada upaya untuk mengolah semua dongeng kita  untuk menjadi konsumsi layar kaca. Sayangnya, kisahnya amat kedodoran dan terlampau mudah ditebak. Tak ada teka-teki atau puzzle yang membuat jantung pembaca senantiasa berdetak sehingga tak sabar untuk menyaksikan kelanjutan kisah ini.

Percy Jackson dalam film

Mungkin kita tak begitu percaya diri dengan kekuatan gagasan yang muncul dari khasanah budaya kita. Kita lebih sering berkiblat ke barat atau negara-negara Asia Timur sebagaimana Jepang dan Korea. Kisah-kisah dari banyak negara itu yang kemudian dikloning, dengan risiko besar akan gagal serta dicap tidak orisinil. Padahal, dengan kembali pada khasanah tradisi, maka kita akan menemukan sungai kisah-kisah yang tak pernah berkesudahan.

Yah, semoga saja ada penulis yang bisa mengolah semua kekayaan legenda tersebut menjadi kisah yang lebih bertenaga. Jika tak ada, aku akan memberanikan diri untuk menuliskannya. Meskipun untuk itu, aku mesti belajar banyak tentang bagaimana menulis fiksi petualangan.



0 komentar:

Posting Komentar