saat Presiden SBY dan Ibu Yani Yudhoyono tiba di Tana Toraja (foto: setkab.go.id) |
POLITIK kita ibarat panggung di mana
segala hal bisa dipertontonkan. Politik kita juga ibarat pasar di mana segala
hal bisa diperjualbelikan. Seiring dengan perjalanan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) dan rombongan ke banyak daerah di Sulawesi Selatan, publik
menyaksikan satu opera baru yakni obral murah gelar-gelar adat untuk sang
presiden. Bagaimanakah menjelaskan fenomena ini?
***
HARI itu, Kamis (20/2), sebuah panggung
besar disiapkan. Di hadapan ribuan pasang mata yang menyaksikan, kalimat-kalimat
dalam sastra Toraja diperdengarkan di Makale. Rencananya, sebuah gelar adat
diberikan kepada seseorang yang dianggap telah membawa kehormatan dan nama
harum bagi masyarakat adat Tana Toraja. Penerima gelar itu adalah Presiden RI Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY).
Gelar yang hendak diberikan adalah “Turiang Na Gasing Langi’, Bangkulla’ To
Palullungan, Santung To Lindo Na Bulan”, yang artinya yakni pemimpin yang bertalenta,
berkarakter memperoleh karunia dari Tuhan Semesta Alam, penuh kearifan, bagai bulan
di langit, memberi pengayoman, kesejukan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat
Indonesia.
Ketika sang presiden tiba di lokasi
pemberian gelar, suara suling Todolo diperdengarkan. Sejumlah gadis-gadis lalu
menampilkan Tarian Pa’gellu, yang biasanya ditampilkan ke hadapan tamu-tamu
kehormatan. Sang penerima gelar disambut dengan arak-arakan Lettoan. Tarian ini
menampilkan usungan hewan piaraan yang bermakna menjadikan harapan agar
keluarga diberkati Tuhan. Selanjutnya, kalimat sastra Toraja yakni Singgi
dibacakan.
Sang presiden lalu menerima Labo Pinai
(Parang khas Toraja) dan Piagam Singgi yang diberikan oleh Bupati Tana Toraja.
Sementara istri Presiden menerima Sarong (topi caping) yang diberikan sebagai
tanda penghormatan Maka lengkaplah proses pemberian gelar adat tersebut.
Opera politik yang berisi puja-puji ini
belum usai. Keesokan harinya, sang presiden dan rombongan, yang beranggotakan
sejumlah menteri itu, berangkat ke Palopo. Nampaknya, pihak pemerintah daerah
Palopo tak hendak kalah dengan rekannya di Toraja. Di Istana Luwu, pangung
besar disiapkan. Sang presiden akan duduk di pelaminan bersama istri, kemudian
menyaksikan banyak proses adat.
Ia akan menerima gelar adat dari Kedatuan
Luwu, yaitu Anakaji To Appamaneng RI Luwu.
Gelar ini memiliki arti pemimpin pemersatu dua kerajaan dan pembawa amanah kebesaran
Kerajaan Luwu. Sementara Ani Yudhoyono akan menerima gelar adat We Tappacina Wara-Wara'e, yaitu
Permaisuri Datu Luwu Anakaji asal Majapahit, yang bermukim dan membawa
perubahan di Tanah Luwu.
Di tanah air kita, pemberian gelar adat
menjadi hal yang lazim untuk diberikan kepada seorang presiden. Sebelum Toraja
dan Luwu, Presiden SBY telah pula menerima gelar-gelar adat dari banyak tempat
yakni masyarakat adat Batak, Banjar, Melayu, hingga banyak daerah lainnya.
Entah apa maksudnya, pemberian gelar adat itu selalu diberikan kepada pemimpin
tertinggi Indonesia sebagai penghargaan bahwa sososk itu telah berbuat banyak
bagi kemajuan daerah.
saat duduk di pelaminan untuk menerima gelar adat Luwu (foto: Bang ASA) |
Lantas, bagaiamanakah memahami ritual
pemberian penghargaan bagi presiden, Apa makna yang bisa disibak dan didedah
bersama-sama?
Pertama, pemberian penghargaan adat itu
seolah menegaskan bahwa pemerintah sangat memperhatikan masyarakat adat di
banyak daerah. Apakah demikian? Faktanya, masyarakat adat tidak pernah
benar-benar diakui eksistensinya. Sejak pemerintah NKRI berdiri, masyarakat dan
komunitas adat hanya menjadi penonton yang berdiri di pinggiran. Peran mereka
dipangkas habis. Mereka tak punya wewenang, kuasa, bahkan hak-hak atas tanah
yang mereka warisi dari nenek moyangnya. Mereka ibarat kerakap di atas batu
yang hidup segan dan mati tak mau. Di satu sisi hendak melestarikan budaya, di
sisi lain pemerintah justru hendak menenggelamkan mereka. Mereka dibisukan
sejarah. Mereka tak punya suara, bahkan di saat pemerintah pusta sibuk menjual
semua aset-aset wilayah ke tangan warga asing atau para konglomerat tambang.
Peran komunitas adat diturunkan menjadi
tontonan atas nama pariwisata. Mereka diminta menampilkan tarian bagi sang
pemimpin. Ritual adat direndahkan maknanya, yang tadinya berguna untuk memahami
makna semesta serta menyadari posisi manusia sebagai bagian dari keseimbangan alam,
kini menjadi ritual yang ditampilkan di hadapan wisatawa atau orang yang akan
menerima gelar adat. Tak ada lagi getar dan makna yang hadir dalam kalbu,
ketika ritual itu kemudian dipotret lalu ditampilkan di akun instagram oleh ibu
negara.
Kedua, ada logika yang hendak dibangun
bahwa negara, dalam hal ini presiden, telah berbuat banyak bagi masyarakat
daerah. Buktinya adalah masyarakat adat memberikan gelar-gelar penghormatan. Padahal,
tak banyak jejak pemerintah pusat atas pembangunan dan eksistensi masyarakat
adat. Infrastruktur di kawasan timur Indonesia amatlah parah. Sungguh ironis
ketika menyadari bahwa infrastruktur jalan di kawasan Toraja dan Luwu, yang
notabene memberikan gelar adat, justru paling parah, sehinga kesejahteraan
ekonomi warganya jalan di tempat.
Pemberian gelar adat itu seolah menegaskan
bahwa pemerintah berkontribusi besar pada pelestarian budaya daerah. Padahal,
pemerintah justru tak punya visi untuk menjaga eksistensi kebudayaan. Hampir
setiap hari kita mendengar ada bahasa lokal dan tradisi yang punah. Di tengah
masyarakat yang mendamba pda budaya asing dan budaya global, budaya daerah kian
terabaikan sebab tak pernah dijadikan sebagai elan vital dalam mengembangkan
ekonomi.
gelar adat Banjar untuk SBY, setahun silam |
Ketiga, pemberian gelar adat itu semakin
menunjukkan betapa narsisnya pemerintah kita hari ini. Tak ada artinya
mengoleksi demikian banyak gelar adat dan bintang kehormatan kalau di sana-sini
terdapat kemiskinan dan keterbelakangan. Apalah guna menyaksikan ritual
pemberian gelar di satu daerah yang warganya banyak terkena gizi buruk, serta masih
banyak yang tak sanggup mengakses pelayanan kesehatan dasar. Rasanya, ada
banyak prioritas lain ketimbang menerima perlakuan sebagai warga kehormatan,
yang kemudian duduk di atas singgasana, di tengah wilayah yang warganya masih
menggantungkan hidup pada sawah tadah hujan.
Kebudayaan kita berkembang ke arah yang
sedemikian narsis dan kehilangan substansi. Kita suka menggelar ritual, tapi
lupa menanyakan tentang makna. Ketika seseorang menerima gelar adat, kita tak
pernah merumuskan apa kriteria serta prasyarat pemberian gelar itu. Publik tak
diberi kesempatan untuk merumuskan apakah gerangan kontribusi yang telah
diberikan. Gelar adat itu menjadi hampa makna, sesuatu yang mudah diberikan,
dan setelah itu mudah dilupakan begitu saja. Lantas, apakah gelar itu masih
tetap akan diberikan ketika indikator kerja-kerja seseorang buruk di mata
publik?
Perangkat sistem adat yang memiliki denyut
nadi sendiri telah diporak-porandakan oleh kepentingan politik. Adat dan budaa
menjadi tunduk pada ranah politik. Demi melayani syahwat politik, adat mesti
mempersembahkan sesuatu yang kemudian membahagiakan sang kepala negara. Meskipun,
tak jelas benar apa kriteria yang membuat seseorang dianggap layak menerima
gelar adat.
Keempat, jangan-jangan pemberian gelar
adat itu adalah olok-olok yang diberikan rakyat kepada pemerintah pusat.
Buktinya, seusai menerima gelar adat di Toraja, sang presiden lalu menjanjikan
perbaikan infrastruktur pariwisata, khususnya perbaikan jalan. Pertanyaan
kritis yang kemudian muncul, mengapa pemerintah justru hendak memperbaiki semua
infrastruktur jalan seusai menerima gelar adat? Bisakah kita mengatakan bahwa
pemberian gelar adat itu amat efektif untuk ‘membahagiakan’ pemerintah yang
kemudian segera turun tangan untuk menjalankan tugasnya? Entahlah.
Inilah zaman hari ini. Kita tengah berada di
zaman yang kehilangan makna. Gelar adat pun tak lagi sakral. Ketika hari ini si
A datang, maka ia akan menerima gelar. Ketika besok si B yang datang, maka
lagi-lagi akan ada pemberian gelar. Tentu saja, seusai pemberian gelar akan ada
proposal yang diajukan, dana mengucur, serta banyak tawa di lingkup pemerintah
daerah, kontraktor, dan investor.
Sementara
masyarakat adat hanya bisa gigit jari sembari mengenang kejayaan nenek
moyangnya.
0 komentar:
Posting Komentar