karikatur Obama from Java |
MEDIA
Inggris, Guardian, memuat tulisan analis politik Edward L Fox tentang Obama,
Selasa (5/2) lalu. Berbeda dengan analisis politik lainnya, Fox menulis tentang
sisi lain Presiden Amerika Serikat Barrack Obama. Kolumnis terkenal ini
mengatakan bahwa karakter Obama tidak dipengaruhi oleh Hawaii, Chicago, atau
Boston, tempat-tempat di mana Obama tumbuh. Bahkan, karakter itu tidak juga
dipengaruhi oleh Kenya, tempat asal ayahnya. Karakter Obama kuat dipengaruhi
oleh kebudayaan Jawa, Indonesia. What?
Tulisan
Fox memang sangat menarik, khususnya buat kita warga Indonesia. Ia memulai
analisisnya dengan menggambarkan suasana debat antara Presiden Obama versus
Mitt Romney, pada kampanye pemilihan Presiden Amerika Serikat. Saat itu, Fox
memperhatikan, bagaimana Obama menunjuk Mitt Romney dengan menggunakan ibu
jari, bukan dengan telunjuk. Cara ini dianggap tidak biasa, namun bagi pengkaji
budaya Indonesia, khususnya Jawa, menunjuk dengan jari adalah simbol
penghormatan. Reporter BBC menggambarkan kejadian itu sebagai berikut:
"Yang tampil dalam tiga
debat presiden adalah Romney, Obama, dan ibu
jari Obama Pada debat itu, Presiden Obama sering menunjuk dengan ibu jari untuk menekankan point penting. Gerakan
ini tak lazim dalam komunikasi normal. Mungkin, gerakan ini dilatih Obama untuk
membuatnya lebih powerful. Sebab menunjuk dengan telunjuk bisa ditafsirkan
kasar dan terlampau agresif.....” (selengkapnya bisa dibaca DI SINI)
Kata
Fox, gerakan itu tak mungkin dipelajari khusus oleh orang nomor satu di Amerika
tersebut. “Disadari atau tidak, ia telah
mengungkapkan masa kecilnya di Indonesia, yang kental dipengaruhi Jawa, di mana
menunjuk dengan telunjuk adalah sesuatu yang dianggap tidak sopan. Melihat
dirinya menunjuk dnegan ibu jari, kian menguatkan sesuatu yang sudah lama saya
duga sekian lama. Boleh jadi, Obama adalah keturunan Jawa pertama yang jadi
Presiden Amerika,” katanya.
tulisan Obama from Java di Guardian |
Siapakah
Edward L Fox? Menurut Guardian, ia aalah penulis dan jurnalis. Buku terbarunya
adalah novel berjudul River Spirits: An
Amazonian Fantasy yang terbit tahun 2012. Selain menulis untuk bberapa
media, ia juga seorang blogger produktif yang menulis beragam topik. Yang
menarik, saat melongok blognya, saya melihat gambar karikatur Obama, yang
dibuat Richard Wilkinson, sedang mengenakan pakaian khas ala Sultan Yogyakarta.
Dalam foto itu, ia sedang menengadah dan tersenyum.
Apakah
tulisan Fox ini mengejutkan? Bagi saya, pernyataan ini tidak seberapa
mengejutkan sebab sebagai warga Indonesia, saya tahu kalau Obama pernah tinggal
di Jakarta selama beberapa tahun. Tapi bagi warga Amerika sendiri, pernyataan
ini justru mencengangkan. Tak semua tahu bahwa ia pernah di Indonesia. Banyak
di antara warga Amerika yang senang membahas apapun tentang Obama. Kita mungkin
masih ingat bahwa pengusaha Donald Trump sendiri meyakini bahwa presidennya
tidak lahir di Hawaii, melainkan di Kenya, Afrika.
Di
kota kecil Athens, Ohio, saya banyak berjumpa mahasiswa Afrika yang demikian
menggandrungi pria kulit hitam yang pertama jadi presiden di Amerika itu.
Seorang sahabat bernama Chikondi yang berasal dari Mali, menuturkan bahwa saat
dirinya pulang melakukan riset ke Afrika, semua orang bertanya tentang Obama.
Ada semacam kebanggaan tersendiri baginya saat menyadari bahwa sang presiden
adalah seorang keturunan Afrika. Bahkan di Kenya, tempat asal ayah Obama,
kemenangan pria yang berpasangan dengan Joe Biden itu disambut dengan gegap
gempita.
Tapi,
benarkah Obama adalah keturunan Kenya di Afrika? Secara biologis, mungkian iya.
Tapi tidak secara kultural. Fox melihat pengaruh Jawa yang lebih kental,
ketimbang pengaruh Hawaii, Chicago, atau Boston. Katanya, pengaruh itu muncul
sebab sang presiden cukup lama tinggal di Jakarta, yang banyak didiami oleh
etnis Jawa, kemudian ayah tirinya seorang Jawa, saudara tirinya terlahir
sebagai Jawa, bahkan ibunya adalah antropolog yang risetnya tentang Jawa. Bagaimana halnya dengan keturunan Afrika?
Di
tahun 2011 beredar buku The Roots of
Obama’s Rage (yang ditulis Dinesh Souza. Buku ini agak kontroversial sebab
menyebutkan bahwa kunci memahami Obama sebagai lelaki dan sebagai presiden
adalah pada latar belakangnya sebagai seorang Kenya. Ayahnya adalah ekonom pada
awal kemerdekaan Kenya. Sebagaimana dicatat D’Souza, Ia mewarisi mindset
berpikir ayahnya yang anti-kolonial. Inilah yang memotivasinya secara politik
untuk melihat dunia.
Yang
menarik, Fox menganalisis bahwa warisan Afrika itu sangatlah sedikit. Buktinya,
dalam buku otobiografi yang berjudul Dreams from My Father (1995), ternyata
terungkap kalau Obama ke Kenya untuk
mencari asal-usulnya. Pencarian akar Afrika itu sangat penting baginya dalam
proses penemuan diri, proses yang menyempurnakan identitas kulturalnya sebagai
seorang Afro-Amerika. Pilihan untuk kembali ke komunitas kulit hitam di
Chicago, menjadi awal baginya untuk memulai karier politik.
Proses
penemuan diri inilah yang membedakan Obama dengan ibunya Ann Dunham, yang
melakukan kerja-kerja riset di Jawa. Ketika Obama menulis buku keduanya The
Audacity of Hope (2006), ia menulis, “Banyak
warga Amerika yang tidak bisa menentukan letak Indonesia di peta.”
Namun,
jika ditelaah dengan seksama, ayahnya justru kembali ke Kenya ketika ia masih
bayi. Ibunya, seorang wanita luar biasa, yang kemudian memberikan pengaruh kuat
bagi karakternya. Ibunya, seorang antropolog yang telah mendedikasikan hidupnya
untuk membesarkan dua anak, serta melakukan riset tentang pandai besi di Jawa. Ibunya,
seorang wanita hebat yang bukan saja mengalirkan darah untuknya, namun juga
telah meniupkan visi bagi anaknya untuk bertumbuh dan mengakar ke bumi.
Meskipun
tulisan Fox belum menawarkan satu perspektif yang baru, khususnya mengupas
tentang sejauh mana pengaruh itu masuk ke gedung putih, namun setidaknya ia
telah membuka sisi-sisi lain dari sang presiden yang tidak banyak diketahui
warga internasional. Ia telah membantu kita semua untuk memperkenalkan
kebudayaan Indonesia, serta membisikkan pada dunia tentang kearifan tradisional
kita yang secara perlahan mulai terkikis di kalangan anak bangsa.(*)
Athens, Ohio, 6
Februari 2013
0 komentar:
Posting Komentar