DI
tengah konflik dan silang pendapat mengenai klaim penulis Andrea Hirata yang
menyebut karyanya “Laskar Pelangi” sebagai karya sastra anak bangsa yang paling
mendunia dalam kurun 100 tahun, saya mencatat satu hal paling menarik dan
membahagiakan. Saya melihat bahwa semua orang tiba-tiba saja menyebut satu nama
besar yakni Pramoedya Ananta Toer.
Bagi
saya, Pramoedya adalah puncak tertinggi yang harus dikalahkan demi mengklaim
diri sebagai pencapaian tertinggi dalam sastra Indonesia. Pramoedya, pria kurus
dan perokok itu, adalah sosok yang menunjukkan bahwa sastra memiliki kekuatan
hebat untuk mengurai sejarah, memberi jiwa dan nyawa bagi kisah tentang sebuah
bangsa yang tengah berproses, serta menjadi kata-kata memiliki daya gedor
terhadap cara berpikir kolonialis.
Yang
sering bikin saya merinding adalah karya-karya terbaik Pramoedya justru lahir
dari penjara. Di tengah penjara yang terletak di Pulau Buru, ia paham kalau
karyanya memiliki risiko untuk tidak sampai ke publik. Karyanya bisa
dimusnahkan begitu saja oleh tangan-tangan kekar kekuasaan. Tapi ia tetap tak
ingin mematahkan penanya. Mungkin ia paham bahwa kata-kata yang ditulis dengan
penuh kejernihan serta refleksi yang kuat tak akan pernah menjadi sampah. Kata-kata
itu akan menjadi api yang kemudian membakar kesadaran.
Pramoedya
meninggalkan jejak yang amat dalam. Karyanya kemudian mulai mendunia. Karyanya
menjadi rujukan bagi setiap kelas sejarah di seluruh dunia yang sedang membahas
tentang Asia Tenggara. Kata-katanya yang khas dan penuh tenaga itu menjadi
motivasi yang menggerakkan kesadaran banyak orang. Namun, apakah ia pernah
berbangga dengan karyanya? Apakah ia pernah menghitung seberapa best-seller-kah
karya-kayanya?
Pramoedya
adalah penulis yang tak pernah menghitung seberapa jauh karyanya menyebar.
Jelas sekali kalau ia menulis bukan untuk memperkaya diri. Di penjara yang
pengap itu, ia menulis sebagai catatan bagi seluruh anak negeri yang kemudian
menjadi persembahan berharga agar semua anak negeri paham tentang bangsanya
sendiri.
***
BEBERAPA
tahun setelah Pramoedya berpulang, Indonesia kedatangan penulis baru. Ia adalah
Andrea Hirata. Karyanya “Laskar Pelangi” langsung fenomenal. Karya itu telah
diterjemahkan ke banyak bahasa, lalu dibuatkan film yang kemudian laris-manis.
Konon, menurut klain pengarangnya, karya itu adalah karya Indonesia pertama
dalam kurun 100 tahun yang kemudian mendunia.
Seorang
blogger bernama Damar lalu meradang. Ia memprotes dengan menyebut penulis lain
seperti Pramoedya, Romo YB Mangunwijaya, dan NH Dini. Menurutnya, para
pengarang ini telah menorehkan sesuatu yang lebih dahulu mendunia. Pramoedya
pernah menjadi kandidat kuat pemenang nobel sastra. NH Dini pernah pula
difavoritkan meraih nominasi nobel. Sedang Mangunwijaya adalah penulis yang
juga karyanya tersebar di seluruh penjuru dunia.
Tahu
apa jawaban Andrea atas kritik itu? Ia berkata, “Indonesia butuh kritik sastra yang kompeten.” Ia tak menjelaskan
apa maksud kata kompeten yang dipilihnya. Yang pasti, ia kemudian mengajukan
gugatan ke meja hijau. Ia siap berperkara di pengadilan dengan tuduhan
pencemaran nama baik. Sebuah kritik yang konstruktif dijawabnya dengan
tantangan untuk berperkara. Mengapa tak menyelesaikan perdebatan itu dengan
tulisan?
Zaman
memang berbeda. Kita tak lagi menyaksikan betapa serunya debat sastra
sebagaimana pernah dialami Ahmad Tohari dan F Rahardi di majalah Horison. Atau
debat antara Pramoedya Ananta Toer versus Hamka terkait novel Tenggelamnya
Kapal Van der Wijk. Atau debat sastra kontekstual yang disulut Arif Budiman dan
direkam dengan sangat baik oleh Ariel Heryanto. Di zaman itu, para sastrawan adalah
para ksatria yang memegang kekang atas kata sehingga berlari kencang dan
bertubrukan.
Di
zaman kini, si penulis Andrea itu malah hendak melaporkan pengkritiknya ke
pengadilan. Padahal, sang pengkritik itu hendak menunjukkan bahwa klaim selama
100 tahun tak ada sastrawan Indonesia yang ke level dunia adalah omong kosong
belaka. Buktinya, kita bisa berdiri tegak di ranah sastra dunia berkat tapak
jejak Pramoedya Ananta Toer dan sastrawan lainnya yang menghadirkan sebersit
rasa bangga di hati kita.
Sastrawan
–benarkah ia sastrawan?- zaman kini
adalah mereka yang tak pernah serius membiakkan kata. Predikat best-seller
seolah predikat sakti yang ingin dikejar. Si pengarang itu hanya berpikir
mendunia dan keberatan dengan pihak yang meragukan klaimnya. Ia tak setia
dengan perdebatan kata. Mereka tak mau memasuki arena atau gelanggang untuk
saling berargumentasi. Dengan memilih jalur hukum, ia seolah mengabaikan debat
pengetahuan, yang selalu diwarnai oleh silat kata.
Kita
tengah dipertontokan sebuah opera yang tak mendidik. Sebagai publik, kita sama
berharap ada satu diskusi serta asah pengetahuan yang nantinya akan memperkaya
gelora dan samudera kata-kata. Sebagai public, kita tak dicerdaskan dengan
dialog-dialog yang membebaskan. Kita sedang menyaksikan satu kepongahan dari
seseorang yang mengaku dirinya adalah penulis. Lewat kepongahan itu, kita
akhirnya bisa terus belajar.
Tadinya,
saya belum menjadi penggemar berat Pramoedya. Setahun silam, saya mengambil
kelas sejarah Asia Tenggara yang diasuh Prof William Frederick. Ia
merekomendasikan mahasiswanya untuk membaca beberapa karya sastra. Saat
membahas sejarah Indonesia, salah satu begawan sejarah Asia Tenggara itu lalu
merekomendasikan bacaan Pramoedya Ananta Toer. Menapa? “Sebab Pram bekerja dengan data serta riset yang kuat. Ia tak sekadar
menulis sastra. Ia menulis sejarah. Ia membangkitkan kesadaran tentang bangsa.
Amat beda dengan pengarang sekarang yang hanya memikirkan best-seller serta
duit dari hasil penjualan novel,” kata William Frederick.
Pernahkah
Pramoedya mengklaim karyanya mendunia? Tak pernah. Ia rendah hati sebagaimana
tokoh Minke dalam novelnya. Suatu hari, ia ditemui sutradara kenamaan Amerika
yang hendak memfilmkan novelnya Bumi Manusia (This Earth of Human Kind). Ia
langsung menolak. Tahu apa alasannya? “Saya
hanya bersedia jika karya saya difilmkan oleh anak bangsa. Maaf!”
Athens, 22 Februari
2013
Catatan:
Mudah-mudahan tulisan ini tidak ikut diperkarakan
15 komentar:
Jadi malu deh belom pernah baca karya sastra Indonesia klasik...
Ahhh Pramoedya >.< Penyesalan terbesar saya tidak pernah bertemu dengan beliau, mendapatkan tanda tanganya atu sekedar menjabat tangannya...
jangan malu dong. saatnya kita baca. hehehe
sama. sy jg brpikir begitu dwi.
membaca pram adalah membaca sejarah Indonesia...sy pernah membaca ttg wawancara Andrea Hirata di tempo yang 'sadar diri' tak mau disebut sastrawan tapi hanya penulis...
salam hangat
membaca Pram adalah membaca sejarah Indonesia...Andrea Hirata dalam sebuah wawancara di tempo online 'sadar diri' tak mau disebut sastrawan tapi penulis. mencerahkan membaca kembali catatan kanda YD
salam hangat
hallo kanda patta. dalam wawancara terbaru di tempo, ketika karyanya dikritik, dia bilang, "Kita butuh kritikus sastra yang kompeten." Lihat di sini: http://www.tempo.co/read/news/2013/02/15/219461465/Andrea-Indonesia-Butuh-Kritikus-yang-Kompeten
skripsi sy dulu mengangkat karya Pram yg berjudul Arok Dedes, semenjak itu, sulit -jika bisa dikatakan tidak ada- bagi sy mencari penulis yg mampu menandingi kekuatan riset dan data kesejarahan yg dimiliki Pram, plus kemampuannya untuk menggugah rasa kepenasaran pembaca. Sayang, ketika sudah membulatkan tekad untuk menemui Pram disela-sela pengerjaan skripsi itu, beliau sudah terlebih dahulu berpulang... Andrea Hirata? cukup bagi sy geleng2 kepala melihat sepak terjangnya akhir2 ini...
sayang sekali karena saya juga gak sempat bertemu langsung dengan beliau.
Saya selalu suka dengan kalimat yang saya ambil dari buku "Bumi Manusia" karya Pram ini: "Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai."
Kata-kata itu kemudian menjadi sangat tepat menggambarkan sosok yang katanya "sastrawan bestseller" itu. Sayang sekali, ia lebih memilih meja hijau dibandingkan dengan menulis tulisan balasan. Dari situ saya tahu, ia tidak terlalu mencintai kata-kata.
benar sekali mbak. sy menyayangkan krn ia lebih memilih meja hijau ketimbang memasuki belantara kata.
salah satu yang luar biasa dari karya pram adalah sebuah cerita yang "berproses" tanpa pernah ada "titik hilang" dalam setiap novelnya....sehingga kita dapat mengerti secara utuh "maksud" dari setiap novel-novelnya
Karya bliau sdh beberp dbaca, dn diulng dbca, kreen abis
Saya baru tahu ada seorang penulis sastra seperti Pram saat seorang teman mengangkat isu klaim Andrea sebagai penulis terbaik, bukunya sangat jarang ada di rak buku sastra perpustakaan2 yang pernah saya kunjung, merasa penasaran saya beli novelnya 2 buah, Bukan Pasarmalam dan Sekali Peristiwa di Banten Selatan, kemudian beli lagi Bumi Manusia. Pram berbicara mengenai sejarah dalam karyanya, beliau membuat saya mencintai apa yang saya benci sebelumnya "sejarah". Saya tidak hanya suka tapi dibukakan hati dan pikiran oleh karyanya.
salam hangat
Sayang sekali, seorang sastrawan lebih terhormat ketika memilih pena sebagai senjata
Post a Comment