SERING
orang salah sangka terhadap politik. Dipikirnya syarat menjadi politisi itu
hanyalah kebaikan. Dipikirnya cukup rajin sembahyang, selalu berderma,
memperbaiki amal, dan selalu jujur hingga dikagumi orang lain adalah hal-hal
yang melejitkan seseorang ke dunia politik. Padahal, politik tidak sesederhana
itu.
Di
banyak tempat di Indonesia, mereka yang hendak menjadi politisi hanya
memerlukan tebar pesona kiri kanan. Banyak yang mengira kalau hal penting
adalah retorika serta dukungan publik. Ketika seseorang tersebut menjadi
pemimpin atau anggota legislatif, ia tak berbuat banyak. Sebabnya sepele. Ia
tak tahu hendak melakukan apa.
Dunia
politik bukanlah sekadar bagaimana memenangkan hati orang banyak dan memasuki
parlemen. Dunia politik juga berurusan dengan visi-visi besar tentang ke arah
mana satu bangsa hendak bergerak, atau gagasan tentang masa depan sebagaimana
yang diidealkan. Lebih dari itu, politik juga berurusan dengan kecakapan
teknis, seperti bagaimana membaca anggaran, bagaimana memahami mekanisme tugas
legislatif dan pemerintahan, serta bagaimana melakukan kontrol publik atas satu
kebijakan.
Sebagai
contoh, ada satu partai politik yang mengklaim dirinya sebagai anti-barat.
Kadernya selalu mengumandangkan kecaman pada barat, yang katanya menguasai
sumber-sumber daya alam Indonesia. Makian terhadap barat menjadi jualan partai
ini. Lucunya, ketika pemerintah mengajukan Undang-Undang Penanaman Modal,
partai ini hanya bisa diam seribu bahasa. Padahal, undang-undang ini menjadi
jalan baru bagi negara barat untuk mencaplok sumber daya. Ke manakah suara-suara
anti barat itu? Lucu saja, sebab di satu sisi bersikap anti-Amerika, namun di
sisi lain, justru mempersilakan perusahaan Amerika untuk beroperasi hingga
jangka waktu 90 tahun, sesuai dalil undang-undang itu.
Atau
kita ambil contoh lain. Di Madura, sejumlah warga Muslim syi’ah tiba-tiba saja
dihakimi massa. Mereka mengungsi hingga berharap banyak pada tangan-tangan
negara dan legislatif untuk membela mereka. Nah, ke manakah kader-kader partai
yang selalu menyuarakan suara umat itu? Jika mereka berpikir bahwa kemanusiaan
adalah sesuatu yang universal serta dilindungi, mengapa pula mereka masih
berdebat tentang mazhab, tanpa melakukan satu tindakan nyata untuk melindungi
manusia lain yang terzalimi di sana?
Terhadap
contoh pertama, saya melihat karena kurangnya pengetahuan. Tak semua anggota
legislatif paham tentang bahasa undang-undang. Tak semua paham tentang sistem
budgeting serta dampak dari penerapan satu sistem undang-undang. Tak semua bisa
membuat pemetaan persoalan, lalu merumuskan celah-celah dari sebuah kebijakan,
demi mengantisipasinya.
Pengalaman
dakwah tak cukup kuat untuk memahami bahasa hukum serta pemetaan aspek sosial,
historis serta budaya. Seorang politisi mesti paham hukum, paham dasar-dasar
ilmu sosial, serta punya kemampuan bagus untuk membaca sebuah legal draft, juga
bisa mengkomunikasikannya dengan baik dnegan banyak stakeholder, termasuk
rakyat banyak. Tanpa itu, jangan harap akan jadi politisi hebat.
Bagaimana
dengan contoh kedua? Sebab banyak politisi yang belum bisa keluar dari
sekat-sekat kelompok. Banyak yang hanya memikirkan dirinya serta komunitasnya.
Mereka belum bisa melihat aspek kemanusiaan yang ada pada diri setiap orang.
Yang dipikirkan hanya jamaah. Kemanusiaan dilihat sempit sebagai mereka yang
memiliki ideologi sama, baju sama, atau mengucapkan hal yang sama. Sementara
masyarakat luas lainnya justru diabaikan.
Ini
hanyalah contoh-contoh sederhana. Di lapangan, jauh lebih banyak orang-orang yang
memanfaatkan posisi di legislatif hanya sebagai jalan masuk untuk mengelola
proyek-proyek di pemerintahan. Atau malah, banyak yang masuk ke dunia politik
sebagai alternatif lapangan kerja. Daripada sibuk sana-sini melamar kerja,
mending tebar pesona sana sini, terus masuk ke dunia politik. Di kampung saya,
ada seorang anggota legislative yang mengundurkan diri hanya karena lulus jadi
PNS. Lantas, apakah tujuannya masuk politik? Apakah demi melamar pekerjaan?
Pertanyaan
berikutnya, dengan berbagai kenyataan ini, bisakah kita berharap banyak pada para
politisi hari ini? Tentu saja harapan harus dilambungkan tinggi-tinggi. Namun, apa boleh buat. Nampaknya kita harus kerja keras dan membanting tulang demi lahirnya sistem yang lebih berkeadilan dan bermanfaat bagi banyak orang. Kita masih harus menjelmakan politik sebagai jalan terang untuk menyapa nurani orang banyak.
Athens, 2 Februari 2013
1 komentar:
'afwan mas, dalilnya mana ya?
Posting Komentar