Pengetahuan Lokal dalam Menghadapi Perubahan Iklim
INI tahun 1990. Pria itu menyeka peluh yang bercucuran di dahinya. La Kodi, lelaki tua yang
tinggal di pesisir utara Desa Kulisusu, Pulau Buton, sedang duduk di dekat koli-koli,
perahu kecil khas Buton yang serupa kano. Tiba-tiba saja, ia melihat awan hitam
yang memenuhi tepian langit di ufuk sana. Wajahnya sesaat dilanda kekecewaan,
namun kemudian cerah.
gambar nelayan di pesisir Buton Utara |
Hari itu, ia kembali tak bisa
melaut. Di musim barat, angin bertiup amat kencang. Hujan dan gelombang laut seakan
tak henti-henti di perairan pesisir Pulau Buton. Jika memaksakan melaut, maka bisa-bisa ia
akan tinggal nama. Telah banyak rekan sesama nelayan yang hilang di lautan.
Selama beberapa hari tak melaut, apakah ia diliputi keresahan untuk menghidupi
keluarganya?
Nampaknya tidak. Sebagaimana
halnya nelayan Buton lainnya, ia telah terbiasa menghadapi badai yang hingga
berhari-hari. Baginya, alam memiliki tabiat sendiri yang seringkali tak bisa
ditebaknya. Kalender kucika[1]
atau penanggalan kuno tentang melaut yang diwariskan nenek moyang sudah
mulai tak bisa memprediksi apa yang terjadi di lautan. Ia mesti siap sedia jika
tiba-tiba saja badai bisa berhari-hari. Biasanya, ia akan menyesuaikan waktu
tangkap ke areal-areal tertentu. Ia tak berharap akan menangkap ikan siba (sering
disebut tuna atau cakalang). Setidaknya ia bisa mendapatkan beberapa jenis
ikan-ikan kecil untuk dibawa pulang.
Biasanya, seusai menangkap ikan, ia
akan datang ke sekitar pohon-pohon bakau yang pernah ditanamnya bersama
beberapa nelayan lainnya. Di dekat bakau itu, mereka memasang sebuah bubu atau
perangkap untuk menangkap kepiting bakau dan berbagai jenis udang windu. Bagi
La Kodi, kepiting dan udang adalah dua komoditas yang harganya cukup mahal.
Kepiting bakau banyak disukai oleh orang kota sehingga harganya cukup mahal.
Seorang saudaranya yakni Wa Lini bekerja sebagai penangkap kepiting bakau.
Lewat aktivitas itu, Wa Lini bisa menyekolahkan anaknya hingga ke Kota
Makassar.
Di kampung kecil itu, semua orang
selalu siap menghadapi situasi alam yang tak menentu. La Kodi tahu bahwa cuaca
alam sering berubah. Alam juga sering kehabisan sumber daya ketika dikuras
secara terus-menerus. Inilah sebab mengapa ia dan nelayan Buton lainnya sering
mengadakan ritual tuturangina andala,
yakni ritual memberi persembahan pada lautan di waktu tertentu. Dengan cara
ini, lautan akan bermurah hati untuk memberikan hasilnya kepada nelayan.
La Kodi paham benar bahwa ia
harus memenuhi nafkah istrinya Wa Ludu serta sepuluh orang anaknya. Ia tak
pernah patah arang. Ia punya banyak cara untuk mengatasi alam yang berubah dan
situasi ketika dirinya tak bisa melaut. Ia tak ingin kalah oleh alam. Ia ingin
mengalir, memahami alam, lalu menyiapkan berbagai cara-cara untuk bertahan
hidup.
ritual adat tuturangiana andala untuk memberikan persembahan kepada lautan (foto: fotokita.net) |
Usai melihat cuaca di tepi laut,
lelaki kurus yang lebih sering tak mengenakan baju itu, kembali ke rumah. Rumahnya
adalah sejenis rumah panggung yang terbuat dari kayu. Di bagian sebelah
belakang, istrinya, Wa Ludu, telah menyiapkan makanan berupa kasoami,
makanan yang terbuat dari perasan ubi kayu, yang kemudian dipanaskan dengan uap
air. Kasoami adalah jenis makanan khas yang tahan hingga beberapa hari. Sejak dulu,
para nelayan Buton membawa kasoami sebagai bekal untuk melaut.
Di rumah kecil itu, La Kodi dan
Wa Ludu menyimpan bahan makanan di dipan kecil di dapur. Ketika bahan itu
habis, ia akan memanjat para-para, bagian loteng rumah, sebuah ruang
kecil di bawah atap. Di situ, ia menyimpan banyak wikau (ubi kayu) yang
digunakan sebagai bahan membuat kasoami. Ada juga jagung yang tahan disimpan
hingga bertahun-tahun. Biasanya, jagung akan dimasak begitu saja yakni kambose,
atau sering dicampur dengan kapur demi membuat kapusu. Sesekali, jagung
itu dicampur dengan kacang merah yang juga bahannya banyak disimpan di bawah
atap. Selain ubi kayu, jagung, dan kacang merah, di situ bisa pula ditemukan
banyak kawole (ikan kering)
Bahan makanan itu disimpan selama
bertahun-tahun dan sering digunakan ketika persediaan makanan di dapur telah
habis. Bahkan, beberapa bahan makanan itu adalah warisan dari orangtua La Kodi
yang dahulu mendiami rumah itu.
Di tengah badai laut serta ombak
besar, La Kodi akan menemani istrinya Wa Ludu ke ladang kecil yang terletak
sekitar sepuluh kilometer dari kampung mereka. Ladang itu terletak di wita
memea (tanah merah), satu areal ladang tempat warga kampung itu
bercocok-tanam. Tanah Pulau Buton bukanlah jenis tanah yang subur dan cocok
ditanami. Inilah sebab mengapa mereka memilih menanam di pulau kecil yang
kemudian dinamakan Tanah Merah. Tanahnya gembur sehingga cocok ditanami ubi
kayu, jagung, serta jenis padi.
Ladang itu tak dilengkapi
pengairan yang memadai. Ladang itu semata-mata hanya mengandalkan hujan yang turun pada bulan-bulan
tertentu. Biasanya, ketika badai mengamuk di lautan sana, hujan akan turun
selama beberapa hari. Ketika La Kodi tak bisa melaut, ia akan kembali ke ladang
dan membantu istrinya memanen ubi kayu. Pada saat tertentu, ia juga memanen
jambu mente, yang kemudian dikeringkan, lalu dijual melalui distributor jambu
di Kota Baubau, yang jaraknya sekitar satu setengah hari berperahu.
***
INI tahun 2013. Kenangan-kenangan
tentang kakek saya La Kodi di pesisir Pulau Buton sedang berseliweran. Dari
tanah Athens. Ohio, Amerika Serikat, saya membaca beberapa riset tentang
nelayan dan perubahan iklim di berbagai negara Afrika dan Amerika Latin. Dunia
sedang mengkhawatirkan iklim global yang kini semakin sulit diprediksi. Di
banyak negara, petani dan nelayan menjadi pihak yang menjerit karena berubahnya
pola tangkap ikan bagi nelayan, serta pola menanam bagi para petani.
Di beberapa negara, perubahan
iklim menjadi bencana bagi masyarakat. Pada tahun 2000 - 2004, sekitar 262 juta
orang yang terkena bencana iklim (climate disaster). Dari jumlah tersebut,
sebanyak 98 persen dari mereka adalah penduduk dunia ketiga. Yang juga
mengkhawatirkan adalah adanya fakta tentang 334 juta orang yang sangat rentan
terhadap badai tropis. Diperkirakan akan terdapat sekitar 60 – 90 juta hektar
lahan akan terkena kekeringan di Afrika dan menyebabkan kerugian hingga sekitar
26 miliar dollar pada tahun 2060.[2]
Bagi nelayan, perubahan iklim
adalah masalah yang harus dihadapi. Akibat tak bisa melaut, mereka kehilangan
mata pencaharian sehingga kesulitan memenuhi kebutuhannya. Dengan teknologi
penangkapan yang masih tradisional, para nelayan itu sedang menyabung nyawa di
lautan. Mereka tak sedang bersiap menghadapi alam yang sedang berubah.
Beberapa lembaga internasional
ikut membantu untuk menyebarluaskan dampak perubahan iklim bagi masyarakat.
Salah satu di antaranya adalah Oxfam yang merupakan konfederasi internasional dari
tujuh belas organisasi yang bekerja bersama di 92 negara sebagai bagian dari
sebuah gerakan global untuk perubahan, membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan
akibat kemiskinan. Oxfam ikut berkontribusi pada upaya untuk menciptakan sebuah
dunia yang berkeadilan, di mana semua orang bisa menciptakan surganya
sendiri-sendiri yakni situasi ketika manusia mencapai taraf bahagia berdasarkan
kriteria masing-masing.
Bersama lembaga lain dan
akademisi, Oxfam menjadi bagian dari faktor eksternal yang kemudian membawa
pengaruh bagi upaya masyarakat untuk menghadapi perubahan iklim. Namun, aspek
yang paling penting adalah kapasitas internal masyarakat, yakni pengetahuan lokal,
pengelolaan sumber daya alam, teknologi yang dimiliki nelayan, serta modal
sosial (social capital) yang mencakup
solidaritas serta rasa percaya di kalangan anggota masyarakat.
Pada titik inilah saya mengenang kakek
saya La Kodi. Ia tak pernah belajar di bangku akademis. Tapi ia telah
mempraktikkan strategi-strategi untuk menghadapi perubahan iklim dan degradasi
lingkungan dengan cara koping, adaptasi, dan mitigasi. Lewat koping, ia telah
menyesuaikan waktu melaut, wilayah tangkap, penyesuaian ikan tangkapan, pulang
kampung, serta diversifikasi kerja. Ketika badai menghantam, ia akan berladang,
atau menjual kepiting dan udang.
Ia juga beradaptasi dengan
menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan. Ia tak ingin menggunakan bom,
sebab cara itu akan merusak kelestarian lingkungan di kawasan tertentu. Ia
paham benar bahwa sekali menggunakan bom, maka satu kawasan akan hancur lebur
sehingga ikan tak lagi bersarang di situ.
Ia juga menjalankan strategi
mitigasi yakni menanami bakau (mangrove) demi memaksimalkan budidaya kepiting
dan udang. Melalui mitigasi yakni penanaman bakau itu, ia bisa memastikan bahwa
kepiting dan udang tetap akan berumah di bakau-bakau itu sehingga kelak bisa
dipanen pada saat tertentu. Mitigasi juga bisa dilihat pada upaya untuk menyiapkan
lumbung atau persediaan bahan makanan demi mengantisipasi ketika perubahan
iklim terjadi.
Pengetahuan La Kodi memang hanya
terbatas pada pengetahuan lokal yang diwariskan dari satu generasi ke generasi
lainnya. Namun, pengetahuan itu menjadi mercusuar yang menuntun dirinya untuk
menemukan cara-cara bertahan dan menyiasati keadaan. Pengetahuan lokal itu
menjelma sebagai kearifan lokal yang kemudian menjaga dirinya dan komunitasnya
dari bencana kelaparan. Ia bisa memahami dinamika alam yang selalu berubah,
lalu menyesuaikan dirinya dalam semesta tersebut.
Mungkin inilah penjelas mengapa di
belahan bumi lainnya, banyak nelayan yang kelaparan karena tak bisa melaut, para
nelayan kecil di Pulau Buton justru bisa bertahan menghadapi badai sehebat
apapun. Nelayan kecil seperti La Kodi adalah sosok yang berani menantang badai
di lautan. Ia tidak menantang badai dengan tetap melaut. Ia mencari strategi
untuk memaksimalkan sumber daya alam yang ada. Ia memilih untuk bersahabat
dengan badai, dan menemukan cara lain untuk mencukupi kebutuhannya.
Kita, manusia modern, sering
luput dalam melihat kapasitas masyarakat yang luar biasa dalam menghadapi
berbagai situasi sulit, termasuk perubahan iklim. Melalui kearifan lokal itu,
para nelayan membangun daya tahan, memperkuat jejaring pengetahuan, serta
mempererat solidaritas bersama. Para nelayan itu mengajarkan bahwa alam harus
dipahami sebagaimana adanya. Para nelayan itu mengajarkan bahwa tugas manusia bukan untuk mengalahkan alam,
melainkan mengalir bersamanya.(*)
Athens, 24 februari 2013
Tulisan ini diikutkan pada lomba
menulis blog
tentang ’Masyarakat dan Perubahan
Iklim’
yang diadakan oleh Oxfam
14 komentar:
Selamat, Mas Yusran. Tulisan ini menang lomba blog. :D
selamat, sebagai juara pertama :)
makasih mas. sy masih pada taraf belajar.
makasih atas komennya
sangat suka tulisan kak Yusran, kearifan lokal tak lekang oleh jaman
makasih..
Bagus sekali tulisannya, pantaslah menang karena mencerahkan. Salut buat mas Yusran
salam
Omjay
makasih omjay. makasih atas apresiasinya...
Hi mas Yusran, terima kasih saya belajar cara menulis yang baik dari membaca tulisan ini. Selamat terpilih sebagai juara 1 :D
Salam
William Lautama
makasih atas komennya bang. kita bisa belajar sama2.
Saya juga banyak belajar dari blog ini. Salam hangat dari Abu dhabi
Tulisan yang cukup sakti dan mampu memperdaya setiap pembacanya.
salam hangat
perfectly well said..slamat ya mas yusran
Posting Komentar