Bisakah Kita Berharap pada Partai Islam?



DI tanah air, ada kasus korupsi yang cukup menghentak. Yang diduga sebagai pelaku korupsi itu adalah presiden dari sebuah partai agama. Publik menghujat. Publik bersahut-sahutan menungkapkan kecewa melalui jejaring sosial. Ada kecewa. Ada sedih yang dilepas ke udara.

Mereka yang menghujat bukan hendak menghakimi partai itu. Mereka hendak meneriakkan sebuah harapan yang patah. Mereka hendak menunjukkan rasa sayangnya, serta perasaan sedih karena nilai-nilai agama yang indah itu, tiba-tiba saja tunduk pada kepentingan sebuah organisasi bernama partai politik.

Memang, boleh jadi, sang tertuduh adalah korban yang tak bersalah. Kita bisa saja berdalih bahwa lembaga anti-korupsi itu untuk pertamakalinya salah menetapkan status tersangka pada seseorang. Namun, melihat reputasi lembaga itu, di mana belum ada sejarah satupun yang lolos dari sangkaanya, maka kekhawatiran publik menjadi sah. Mengapa harus sedih dengan kenyataan ini?

Seorang presiden partai adalah seorang terbaik yang terpilih untuk memimpin umat. Ia terpilih untuk menjadi gembala dari jutaan umat yang setia satu komando di bawahnya. Seorang presiden diharapkan bisa menularkan kebaikan-kebaikan yang kemudian dirasakan semua orang. Ia mestinya jadi Al-Amin, sosok yang terpercaya. Jika benar sang terbaik itu telah melakukan korupsi, apakah kita masih bisa menanam sebuah harapan pada partai itu?

Politik memang ibarat sebuah lintasan lari marathon di mana semua partai dan politisi adalah individu yang saling berpacu. Mereka yang biasanya mencapai kematangan adalah mereka yang setia di jalur lambat, namun secara konsisten tetap melaju. Mereka yang matang adalah mereka yang membangun integritas, merasa cukup dengan apa yang ada, kemudian membangun kharisma dan kekuatan di situ.

Sementara mereka yang melaju kencang, akan siap sedia untuk kehilangan energi di tengah jalan. Memang, sosok ini akan cepat melesat. Tapi ia akan terengah-engah, kemudian akan kehilangan tenaga, lalu kalah. Ada pula yang jalan memintas, demi menggapai ujung, lalu mencari energi baru di jalan pintas itu. Ada pula yang memakai doping demi mempercepat lari.

Lantas, di manakah peran nilai-nilai religius dalam politik? Bisakah kita berpolitik, namun tetap beragama? Bisakah kita menjelmakan indahnya ajaran Rasul ke dalam dunia politik yang penuh onak dan duri?

Setiap kali mendengar kata religius, saya tiba-tiba saja mengingat Gandhi. Ketika ia memakai pakaian yang hanya selembar kain, ia sedang menunjukkan penghayatannya pada integritas serta nilai-nilai keutamaan dalam hidup. Mungkin ia hendak berkata bahwa dalam politik, keberanian untuk memilih hidup sederhana adalah modal awal untuk membangun integritas serta jalan terang. Ia hendak membangun konsistensi serta pernyataan bahwa politik yang diidamkannya adalah jalan terang untuk masyarakat banyak. Ia tak butuh uang. Ia ingin menunjukkan bahwa nilai-nilai indah dalam ajaran agama bisa diaktualkan lewat nilai kesederhanaan, kekuatan hati, serta keteguhan untuk menolak segala pemberian uang.

Saya pribadi melihat bahwa integritas seperti Gandhi adalah berlian yang sukar dicari tandingannya. Mungkin sosok kurus itu sadar bahwa hati manusia adalah sebuah ruang luas yang bisa dijelmakan sebagai kekuatan. Namun ketika integritas itu terbangun, maka manusia bisa menjadi air bah yang menjebol. Lewat kejujuran, ia membangun kekuatan. Lewat kesederhanaan, ia membangun kepercayaan.


Lantas, apakah kita bisa menemukan sosok yang bisa dipercaya di partai berlandas agama di sini? Entahlah. Sewaku masih bertugas di DPR RI, saya mengenal seorang petinggi partai itu. Ketika bertemu, kalimat-kalimat ucapan khas Arab akan keluar dari bibirnya. Tasbih tak pernah lepas dari tangannya. Namun, rumahnya dipenuhi para calo yang datang untuk mengurus anggaran.

Posisinya sebagai anggota dewan memungkinkannya untuk memainkan anggaran hingga ke daerah-daerah. Ia nampak baik. Bahkan, di satu daerah ia membangun satu yayasan yang tugasnya membantu anak miskin. Dari manakah dananya? Mereka yang pernah bermain anggaran tahu persis dari mana duit untuk dana sosial. Lagian, jumlahnya hanya cuma beberapa persen dari total pendapatan yang demikian besar. Tapi saya tak ingin ikut berprasangka buruk.

Mungkin, sang politisi itu tengah menikmati surga dunia. Rumahnya serupa istana. Lantainya marmer. Malah, ia punya istri lebih dari satu. Ketika bertemu orang lain, ia akan menyapa dengan sapaan khas Timur Tengah, mengajak salat, dan setelah itu sama-sama berdoa.

Tapi, saya sering miris saat melihatnya. Saya membayangkan umat yang tengah diamuk massa di Madura sana. Saya membayangkan umat yang bergelut dengan kemiskinan di kolong jembatan yang sering dilewati mobil merek Alphard-nya. Saya membayangkan seorang umat yang tak bisa mencari sesuap nasi karena dilaran aparat. Atau umat yang tak punya rumah lalu tidur di masjid, kemudian diusir di tengah malam karena masjid mau ditutup dan dikunci.

Pernah, saya mendengar sang politisi itu mengaji. Suaranya fasih. Anehnya, saya tak pernah tersentuh. Hati saya biasa saja. Namun, suatu hari, ketika saya melakukan riset di satu pemukiman kumuh, saya mendengar sayup-sayup ada anak kecil yang mengaji. Di tengah hujan rintik-rintik serta jalanan yang dipenuhi banjir, batin saya tiba-tiba dibasahi sesuatu. Saya menemukan getaran aneh yang demikian hidup, berdenyut, dan membuat saya terisak-isak.

Maafkan saya yang sedang ngawur. Bisakah kita membawa agama ke ranah politik hari ini?


Athens, 31 Januari 2013

4 komentar:

Annur Shah mengatakan...

tulisan ini mengena sekali.

pemaranannya sangat pas. Gak terkesan menyalahkan atau menghakimi. Saya sependapatlah. So, semoga mereka yang masih berpegang teguh pada mereka yg berpolitik bisa ditunjukkan jalan yang benar.

Yusran Darmawan mengatakan...

makasih atas komennya.

Ayu Welirang mengatakan...

Pak, saya mau tanya pernyataan terakhir itu apakah benar, "Bisakah kita membawa agama ke ranah politik hari ini?" Bukankah seharusnya "Bisakah kita tak perlu membawa agama ke ranah politik hari ini?" Karena menurut saya, agama dalam politik saat ini sekedar jadi candu atau jadi suatu bentuk propaganda dan politisasi. Bukankah kalau dibawa masuk lebih jauh, agama akan dijadikan benda yang bisa diperjual-belikan dalam politik? Bukankah nantinya akan jadi politik atas nama agama?

Maafkan pertanyaan saya yang membingungkan. :D

Yusran Darmawan mengatakan...

makasih atas komennya ayu. sy pun mempertanyakan itu. hehehe

Posting Komentar