BEBERAPA
tahun silam, saat saya bertugas sebagai jurnalis di gedung DPR RI, saya
mengenal Anas Urbaningrum. Sosoknya muda, cerdas, serta sangat santun dalam
berbicara. Suatu hari, Anas hadir di press room DPR demi memberikan keterangan
pers. Seusai acara, saya langsung menghampirinya. Kami ngobrol singkat. Saat
hendak pergi, ia menggenggam tangan saya lalu berkata, “Apa kamu bisa sering-sering ke ruangan saya?”
Saya
mengenal Anas tak hanya sebagai politisi. Saya mengenalnya sebagai senior di
satu organisasi mahasiswa Islam. Meskipun berposisi sebagai senior, ia tidak
angkuh. Ia tahu kalau angkatan saya jauh di bawahnya, tapi ia tetap memosisikan
saya sebagai sahabat. Ia amat suka menyapa. Ia sering mengajak diskusi di
ruangannya.
Pernah,
ia mengajak ke rumahnya dan membicarakan beberapa hal terkait lembaga strategis
yang hendak dibentuknya. Tapi saat itu saya tak begitu tertarik untuk berkiprah
di politik. Saya hanya berharap agar Anas bisa menjaga bintang terangnya
sehinga kelak menjadi bagian sejarah bangsa ini. Saat itu, saya yakin benar
kalau Anas kelak akan membuat sejarah baru bagi bangsa ini.
Selanjutnya,
Anas benar-benar mencatat sejarah sebagai ketua Partai Demokrat. Ia bisa
menganvaskan Alifian Mallarangeng, seorang yang dipersiapkan oleh kubu Cikeas.
Mungkin, inilah awal mula Anas memasuki gelanggang politik yang penuh tipu
muslihat. Setelah itu, dirinya mulai berhadapan dengan tangan-tangan kuasa yang
ingin menjngkalkannya.
Hebatnya,
ia tak patah arang. Malah, ia bisa mengonsolidasikan kekuatan akar rumput
sehingga solid di tangannya. Di saat elite partai lain sibuk pencitraan, ia
‘berkubang lumpur’ ke banyak daerah demi membesarkan partai. Ia merekrut
sahabat-sahabatnya untuk menjaga soliditas partai, sehingga kelak menjadi
kaki-kaki yang menguatkan langkahnya.
Dalam
dunia politik, ia petarung dan pekerja hebat. Sekian lama, ia sanggup menahan segala
ancaman di partai politik tersebut. Kekuatannya di daerah terjaga dengan baik.
Malah, ia mulai mengancam Presiden SBY. Memang, ancamannya tak secara langsung.
Namun, beberapa sahabat bilang kalau Anas memegang banyak kartu as, yang kelak bisa
dilepaskan. Jika ia ‘diamputasi’, maka ia punya serangan balik. Saya yakin itu.
Anas
mulai percaya diri. Mungkin awal masalahnya adalah ketika ia dianggap tak loyal
pada barisan tua di Cikeas. Ia membangun kerajaannya sendiri. Partai Demokrat
benar-benar solid di tangannya. Maklum saja, Presiden SBY tak begitu serius
membesarkan parta itu setelah terpilih sebagai presiden untuk periode kedua.
Dikarenakan Anas mendedikasikan dirinya untuk partai, wajar saja jika namanya
membekas di hati semua kader.
Setahun
silam, saya membaca berita tentangnya. Nazaruddin, mantan orang dekatnya sering
menyebut-nyebut namanya. Saat itu saya mengira bahwa Anas akan segera kiamat.
Ternyata, pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) malah mementahkan semua
klaim Nazaruddin. Anas beroleh legitimasi hukum yang kuat bahwa drinya tak
salah. Tuduhan Nazar banyak yang ngawur.
Hari
ini, kembali saya baca berita tentang Presiden SBY yang mengambilalih kendali
Partai Demokrat. Ternyata, ketika presiden berdoa di tanah suci Mekkah, ia tak
sedang mendoakan seluruh rakyat. Ia memikirkan partainya, ketika hampir semua
golongan tua bersatu, lalu meminta presiden untuk melengserkan Anas.
Negeri
ini memang tak habis-habisnya menyimpan keanehan. Ketika Anas belum divonis
tersangka, gerakan untuk melengserkannya kian kuat. Idealnya, biarkan hukum
jalan terus demi melihat sejauh mana kesalahan Anas. Jika ia benar tersangka,
maka proses untuk melengserkannya bisa dilakukan. Bagaimana halnya jika ia tak
bersalah? Bagaimana halnya kalau semuanya adalah konspirasi untuk
menjatuhkannya?
Yah,
Anas sedang dalam tekanan besar. Saya hanya menyesalkan posisinya sebagai tokoh
muda yang kemudian layu sebelum berkembang. Tapi politik kita memang penuh
kejutan. Jika sekiranya ia ternyata tak bersalah, maka langkahnya akan sangat
mulus untuk melewati semua prahara politik. Ia akan melesat dan membuat banyak
keajaiban-keajaiban baru dan mengejutkan banyak “Sangkuni”, sosok yang
disebutnya licik dan ingin menjatuhkan orang lain.
Yang
pasti, jalan masih panjang. Ibarat novel, saya seakan tak sabar untuk
menanti-nanti apakah gerangan ending atau akhir dari episode politik di negeri
yang kian aneh ini. Semoga saja hasilnya akan segera ketahuan.(*)
Athens, 8 Februari 2013
0 komentar:
Posting Komentar