PEMUDA
itu telah lama menanti di puncak Gunung Siontapina. Ia telah lama mengasah
dirinya hingga menjadi seorang pendekar. Sejak berlatih kanuragan kepada La Ode
Bosa, seorang guru para petarung, ia meyakini bahwa kekuatannya sudah mencapai
taraf para sapati dan hulubalang di Kesultanan Buton. Matanya telah terlatih
untuk melihat setiap kilatan senjata dan keris.
Jangankan
keris, ia bisa melihat dengan jelas pisau sumpit yang dilepaskan dari kejauhan.
Bahkan peluru meriam pun bisa ditangkapnya dengan satu tangan. Berkat
petualangan saat berkelana di Pulau Kaledupa, ia yakin kalau dirinya telah
menguasai ilmu tinju yang membuatnya sanggup menghancurkan bebatuan. Ia seorang
sakti. Ia seorang perkasa.
Hari
ini, ia bersiap untuk menantang seorang bernama La Kamaru yang dikenal sebagai
pendekar tanpa tanding. Mereka yang berhasil mengalahkan La Kamaru adalah
mereka yang mencapai titik tertinggi dalam dunia pertarungan. Sudah tak
terhitung pendekar yang berusaha hendak mengalahkan La Kamaru. Suah tak
terbilang mereka yang hendak menemukan kesempurnaan dalam pertempuran. Maut
hanyalah sebuah akibat. Dan La Kamaru tetap tak terkalahkan.
Pemuda
itu telah menyiapkan diri. Ia sudah menebar tantangan di mana-mana. Ia
berkelana sambil membawa pedang. Ia juga membawa keris sakti yang didapatkannya
dari seorang sakti di Gunung Kabaena. Di setiap desa, ia akan membunuh sambil
menggurat pesan tantangan kepada La Kamaru. Ia telah menuliskannya dengan
darah.
Tak
dinyana, ketika singgah ke satu desa, ia menemukan sebuah kertas bergurat pesan
untuk bertarung di Gunung Siontapina. Mulanya ia biasa saja. Undangan bertarung
adalah hal biasa baginya. Tapi undangan ini beda. Di bawah guratan pesan yang
ditulis dalam huruf Jawi, ia melihat ada nama La Kamaru. Rupanya, si sakti itu yang
mencarinya demi mengakhiri pembunuhan yang dilakukannya. Ia membatin, “Inilah waktunya untuk mencapai level
tertinggi di level persilatan. Inilah waktunya menjadi yang terhebat.”
***
LAMA
nian ia menunggu di atas gunung ini. Ia yakin kalau ia tak salah dalam membaca
pesan La Kamaru. Tapi, menapa ia belum tiba? Tiba-tiba dilihatnya, seorang tua
yang kurus kering dengan kain sarung serta baju yang sudah usang. Mungkin
orangtua itu memiliki kebun di kaki gunung. Orang tua itu berjalan
tertatih-tatih sambil bertopang pada sebatang tongkat.
“Hai tua Bangka! Apa kamu tahu seorang sakti
bernama La Kamaru?”
Orang
tua itu tak menjawab. Ia terus berjalan dengan langkah pelan. Ia mengulang
pertanyaannya hingga tiga kali, namun tetap tak dijawab. Pemuda itu kehilangan
kesabaran. Ia adalah seorang pendekar sakti. Kenapa pula si tua Bangka itu tak
mengindahkannya? Sambi menoleh ke arah lain, ia lalu melepaskan pisau belati
untuk membuat orang tua itu terjengkang. Wuss….!!!
Dipikirnya
orang tua itu akan terkapar bersimbah darah. Beberapa detik kemudian, ia
menoleh. Dilihatnya orangtua itu tetap berjalan seolah tak terpengaruh apapun.
Ke manakah pisau belati yang dilepaskannya? Ah, mungkin tadi ia meleset. Sekali
lagi, dicabutnya belati lalu dilempar dengan mengerahkan tenaga dalam. Wuss…!!!
Ia
nyaris tak percaya pada apa yang disaksikannya. Orang tua itu hanya melirik
sekilas ke belati yang dilepaskannya, dan tiba-tiba belati itu luruh ke tanah. Hah?
Apakah orangtua ini seorang sakti?
Kali
ini ia tak akan memberikan ampun. Ia menghunus pedang dan kerisnya secara
bersamaan. Matanya telah terlatih untuk mengenali titik berbahaya di tubuh
manusia. Dalam sekali serang, ia akan bisa membuat pria tua itu terkapar dan
nyawanya akan langsung terbang ke langit. Ia sudah melakukannya berkali-kali.
Jurus ini tak pernah terkalahkan di berbagai penjuru pulau. Ciat..!!! Ia
melesat bagai angin.
Dalam
kecepatan yang demikian mengagumkan, si orang tua itu tiba-tiba menghilang dari
pandangan. Ketika pedang anak muda itu melesat, tiba-tiba saja sebuah tongkat
kecil yang dipegang orangtua itu menghantam pedang dan keris itu hingga patah. Dalam keadaan
terkejut karena tak melihat gerakan orang tua itu, tiba-tiba itu seluruh
persendian anak muda itu mati rasa sebab ditotok dengan jari yang telah diisi
denga tenaga dalam. Anak itu muda itu tak bisa tergerak. Ia serupa patung kayu
yang dipahat di kaki gunung itu. Sementara orang tua itu telah lenyap bagai kilat.
Kali
ini ia benar-benar kalah. Tenaganya tak ada apa-apanya dibandingkan lelaki tua
yang tak sedikitpun menunjukkan bahwa dirinya adalah pendekar. Ia ditaklukan
seseorang biasa, seorang petani desa yang bahkan saat berjalan pun
tertatih-tatih. Pedang dan keris saktinya malah patah dihantam oleh tongkat kecil yang
dibawa orang tua itu. Siapakah gerangan si tua itu? Apakah ia si sakti bernama
La Kamaru?
***
BUTUH
setengah hari baginya untuk melepaskan diri dari totokan. Sejak bertempur, ia
tak pernah jelas melihat sosok orang tua itu. Pengetahuannya tentang dunia
pertarungan telah diruntuhkan oleh satu gerak dari seorang tua yang tak jelas
bernama. Ia sungguh malu dengan kenyataan ini. Ketika hendak beranjak dalam keadaan perih di persendiannya, ia
melihat sebaris tulisan terpahat di batu.
“Anak muda. Mereka yang sakti bukanlah
mereka yang ke mana-mana membawa pedang. Mereka yang sakti adalah mereka yang
terlihat biasa. Mereka yang pengetahuannya seluas samudera, namun merendahkan
diri seperti mutiara di dasar laut. Mereka yang hebat bukanlah mereka yang ke
mana-mana untuk menantang orang lain untuk menunjukkan bahwa dirinya hebat.
Seorang hebat tak perlu membawa pedang, sebab alam semesta akan melindunginya.
Ketika ia terpaksa bertarung, maka ranting kecil atau tongkat, atau dedaunan,
bisa menjadi pedang baginya. Mereka yang hebat adalah mereka yang mengenali
dirinya, lalu mengenali dunia sekitarnya, lalu meleburkan dirinya pada
semesta.”
Anak
muda itu tak bisa berkata-kata. Gunung Siontapina itu lalu menjadi saksi atas
punahnya kesombongan di tangan seorang yang tak bernama. Gunung itu mencatat
sebuah tragedi ketika keangkuhan dikalahkan oleh sebuah kerendahan hati. Hidup
memang adalah sebuah perjalanan demi menemukan kesejatian. Hidup adalah tangga-tangga menuju kesempurnaan.
Anak
muda itu disadarkan terus-menerus betapa dirinya masih amat jauh dari
kematangan. Ketika meninggalkan gunung itu, ia lalu mengubur pedang dan kerisnya
di situ, lalu bergerak menuju ke arah matahari. Entah akan tiba di mana.(*)
Athens, 3 Februari 2013
1 komentar:
terimakasih atas infonya gan.mantap ceritanya gan
Posting Komentar