Ledakan Intelektual di Pulau Kecil


BERAPA jumlah sarjana dan magister di Pulau Buton? Mulanya saya mengira jumlahnya sedikit. Ternyata saya keliru besar. Jumlah sarjana sudah ribuan orang. Sementara jumlah magister, mungkin sudah lebih 100 orang.

Ini kesimpulan yang agak terburu-buru, namun saya meyakini kebenarannya. Jumlah pendaftar pegawai negeri sipil (PNS) di Kota Bau-Bau sangatlah banyak hingga ribuan orang. Padahal, persyaratan untuk seleksi PNS adalah minimal bergelar sarjana. Bahkan, untuk formasi magister, jumlah pendaftarnya hingga puluhan orang. Sementara jumlah yang diterima adalah bilangan jari. Cuma sekitar 10 orang.

Anda jangan berpikir bahwa mereka dari perguruan tinggi kacangan. Tidak. Saya banyak mengenal kawan yang merupakan alumnus perguruan tinggi bergengsi di Jawa. Dan tiba-tiba saja, mereka semua ingin kembali ke daerah dan bersaing memperebutkan kursi pegawai negeri sipil (PNS). Dan sebagaimana tadi telah saya katakan, jumlah mereka sangat banyak.

Menyaksikan fenomena ini, saya agak merinding membayangkan apa yang terjadi di masa depan. Mungkin, sekitar 10 tahun lagi, jumlah yang ada saat ini akan meningkat hingga sepuluh kali lipat. Logikanya, jika setiap tahun kampus-kampus mewisuda para sarjana baru dan magister baru, maka jumlah itu akan membengkak pada satu titik. Jika jumlah lowongan PNS tidak banyak, dan -anggaplah-- hanya mampu menampung 5 persen dari jumlah mereka setiap tahun, bayangkanlah sendiri apa yang terjadi pada tahun-tahun mendatang. Akan terdapat ribuan pengangguran intelektual yang akan menjadi bom waktu bagi permasalahan sosial di masyarakat.

Mungkin ini adalah buah dari kampanye bersekolah pada masa Orde Baru. Dahulu, pendidikan dianggap sebagai satu-satunya jalan untuk meningkatkan derajat keluarga. Makanya, sekolah-sekolah berpromosi agar anak-anak yang tinggal di sekitarnya bisa bersekolah. Saya masih ingat, dulunya di sampul-sampul buku pelajaran sekolah dasar selalu tertera kalimat "Ajaklah teman-temanmu usia 7-12 tahun untuk sekolah."

Pada masa ini, sekolah dianggap sebagai satu-satunya tangga kesuksesan. Maka bersekolahlah semua anak-anak. Apalagi, orang tua termakan bujuk rayu pemerintah dan kerap mengingatkan anaknya untuk sekolah tinggi-tinggi. Di Pulau Buton, dekade tahun 1980-an dan 1990-an adalah masa-masa di mana seorang anak yang baru saja lulus SMA melambungkan cita-cita untuk sekolah tinggi ke kota-kota besar. Saat lulus SMA mereka berkelana jauh ke kota-kota untuk mencari pendidikan yang lebih tinggi. Ini masa yang romantis. Saya masih ingat begitu padatnya Pelabuhan Murhum Bau-Bau, jelang seleksi tes perguruan tinggi.

Setelah sang anak lulus sarjana, maka mereka mendaki lagi di sekolah yang lebih tinggi yaitu magister. Selanjutnya berbondong-bondonglah mereka kembali ke kampung halaman demi mendapatkan pekerjaan. Memang, banyak juga yang memilih untuk bertahan di rantau, namun saya yakin masih jauh lebih banyak yang memilih kembali ke kampung halaman dengan beragam alasan. Banyak di antaranya yang ikut seleksi PNS. Tapi, jumlah lowongan hanya sekitar 5 persen.

Ke mana yang lain? Mereka berkontribusi pada meledaknya jumlah pengangguran intelektual. Mereka memenuhi kembali kampung-kampung dengan membawa keangkuhan pengetahuan. Banyak yang hanya bisa membual, tanpa berbuat apa-apa. Hanya menunggu tes PNS atau berkolusi agar lulus. Mereka menunggu-nunggu berkah dari langit.

Tapi, tidak semua demikian. Banyak juga yang kreatif dan berbuat sesuatu. Mereka menjadi aktivis, pekerja LSM, serta pengusaha yang kemudian makin meramaikan dinamika di kampung halaman. Mereka menjadi elemen penggerak demokratisasi. Maka makin ramailah dinamika di kampung halaman, dengan hadirnya generasi cerdas, suka berpolitik. Maka makin ramailah kampung halaman dengan intrik politik yang dibawa orang-orang kota. Wah.....!!



0 komentar:

Posting Komentar