Tak Perlu Jadi Orang Denmark untuk Bahagia


TANPA sadar, mungkin kita sudah jadi budak modernisasi. Kita sibuk mengejar kekayaan dan kemasyhuran, dan di saat bersamaan, kita kehilangan saat-saat indah bersama keluarga atau orang-orang yang mencintai kita. Kita kehilangan momen-momen penting untuk bersama-sama dan memaknai hari-hari dengan bahagia bersama semua orang terdekat kita.

Hari ini, ada tulisan karya Hendrawan Nadesul yang menyentuh saya di harian Kompas, Sabtu (12/12). Ia menjelaskan survei Adrian White dari Universitas Leinchester tentang bangsa-bangsa yang bahagia di dunia. Ternyata, bangsa yang paling kaya bukanlah bangsa yang paling bahagia. Bangsa paling bahagia adalah bangsa Denmark. Mau tahu apa alasannya? Simak kutipan berikut:

Rasa bersyukur. Orang Denmark gampang bersyukur, menikmati hidup tanpa perlu berkelimpahan, hidup secukupnya (contentment), serta merasa tak perlu diperbudak kesuksesan. Kenapa Denmark bisa begitu? Di Denmark pendidikan dan kesehatan gratis, hari tua terjamin, ditunjang filosofi hidup tak perlu ngoyo. Lain dari itu tingkat pengharapan (ekspektasi) orang Denmark rendah. Kesuksesan kecil saja sudah bikin mereka bahagia. Apabila gagal, mereka pun masih berbesar hati untuk bangkit lagi.

Tulisan ini sangatlah inspiratif. Ternyata, uang bukanlah segala-galanya yang memberikan kebahagiaan bagi siapapun. Kita melihat kemegahan bangsa-bangsa dari seberapa banyak pencakar langit yang dibangun. Ternyata itu tidak memberikan kebahagiaan. Manusia membutuhkan sesuatu yang lebih dari itu. Kita butuh sesuatu yang membahagiakan. Ini memang hal yang sederhana. Mungkin, kita sedari kecil sudah pernah diberi tahu bahwa uang bukanlah segala-galanya. Tapi betapa tidak mudahnya menerjemahkan pahaman tersebut dalam dunia sosial kita. Selanjutnya kita terjebak arus mereka yang sibuk mengejar uang dan kekuasaan. Kita jadi tidak menghargai waktu dan hal-hal kecil yang ada di sekitar kita. Sesuatu yang remeh-temeh, namun membahagiakan.

Sejak bangsa-bangsa memasuki modernisasi, semuanya mengejar kesenangan dan kemewahan. Pada masa silam, bangsa-bangsa bersaing demi menunjukkan dominasi kekuasannya sebagaimana kisah pertarungan bangsa Troya dan bangsa Sparta. Pada masa kini, bangsa seperti Jepang dan Amerika saling membuktikan bahwa dirinyalah yang paling berkuasa. Sayangnya, itu tidak menjadi ukuran kebahagiaan warganya.

Kata Nadesul, survei Adrian White membuktikan, bangsa yang didikte oleh keinginan dan ambisi tinggi tidak lebih berbahagia dari bangsa yang mendahulukan rasa bersyukur dan hidup secukupnya. “Hal itu karena betul tak ada batas tertinggi buat kepuasan. Sayang hanya seperempat responden dunia yang meniscayai itu. Dengan mengukur satisfaction with life index, kebahagiaan bangsa Jepang hanya di urutan ke-90 dunia. Negara kecil dan tak terlalu kaya, seperti Bahama, Swedia, Malta, Kosta Rika, dan Butan, termasuk 20 besar dunia dalam kebahagiaan bangsanya. Hidup juga perlu enjoy,” katanya.

Survei kebahagiaan yang memakai data WHO, UNESCO, CIA, dan New Economic Foundation tersebut diukur dari kepuasan subyektif bangsa terhadap kesehatan, pendidikan, dan kekayaan relatif, selain tingkat pengharapan terhadap hidup. Makin rendah ekspektasi suatu bangsa, makin gampang tumbuh rasa bersyukurnya dan terangkat rasa bahagianya. Sebaliknya, makin tinggi ekspektasi bangsa, makin sering tidak puas dan menjadi kurang bahagia.

Kita melihat bagaimana orang Jepang berjalan kaki seperti dikejar hantu. Mereka rata-rata gila kerja dan tinggi ekspektasi dalam hidupnya. Begitu juga orang Korsel, China, dan Thailand, yang derajat kebahagiaannya masing-masing di urutan ke-102, ke-82, dan ke-76 saja. Tingkat pengejaran prestasi tanpa henti bangsa berbanding terbalik dengan tingkat perolehan kebahagiaan hidup.

Membaca tulisan Nadesul ini saya terhenyak. Kebanyakan dari kita menjadikan uang sebagai hal penting. Banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya agar kelak sang anak bisa menjadi mesin pencetak uang. Ketika anak itu gagal menjadi orang kaya, maka orangtua tiba-tiba merasa gagal dalam kehidupan. Akhirnya sang anak merasa bersalah dan kemudian bunuh diri. Uang adalah simbol kekuasaan. Uang seolah mendikte semua orang untuk bekerja keras dan belajar lebih giat. Uang memisahkan manusia dari manusia lainnya dan saling mengabaikan hubungan-gubungan manusiawi yang bisa dirajut. Kita kehilangan banyak waktu luang untuk mengejar uang.

Uang juga telah mendikte pendidikan kita untuk mencetak lulusan sebanyak-banyaknya agar bekerja secepat-cepatnya. Pendidikan kita memperlakukan mahasiswa seperti robot yang bekerja demi mencetak uang. Pendidikan kita tidak memanusiakan. Tidak mengajarkan kita untuk mencintai sesama kita. Tidak memberikan rasa bahagia pada diri kita. Pendidikan menjadi pecut atas keserakahan kita untuk segera lulus dan mendapatkan uang sebanyak-banyaknya.

Yang hebat dari bangsa Denmark karena mereka melihat kesuksesan hidup sangat penting, bukan faktor uang. Mereka menikmati hidup bersama semua anggota keluarga dan teman-teman dekatnya.

Bagi saya, kebahagiaan ala bangsa Denmark itu bisa pula ditemukan dalam masyarakat kita. Banyak masyarakat desa kita yang masih memelihara indahnya hubungan-hubungan kekeluargaan. Tapi, seberapa kuatkah nilai-nilai itu bisa bertahan tatkala setiap hari kita berhadapan dengan sinetron-sinetron yang menampilkan gaya hidup mewah? Pemerintah kita yang sibuk menyingkirkan warga desa dengan rupa-rupa alasan. Kemudian para aktivis LSM yang menganggap masyarakat desa sebagai obyek yang akan mendatangkan uang.

Tapi kita harus tetap optimis. Saya myekini bahwa nilai-nilai itu masih berdenyut di sebagian masyarakat kita. Untuk itu, kita berharap agar nilai-nilai dan kearifan tradisional itu bisa lestari. Toh, nilai-nilai itulah byang membahagiakan kita. Anda tak perlu mengejar prestasi setinggi-tingginya. Cukup menjadi orang biasa, dan bahagialah dengan sesama keluarga. Inilah pelajaran berharga yang saya temukan dari tulisan ini.(*)

0 komentar:

Posting Komentar