Tafsir Ulang Lokalitas


SAYA cukup menikmati saat-saat tinggal di daerah. Di sini, di rumah orang tua, segalanya serba tersedia. Jika lapar, tinggal ambil makanan ke dapur. Sementara di Makassar, setiap bangun pagi pikiran akan bekerja keras demi mendapatkan uang dan sesuap nasi. Di sini, semuanya ada. Tanpa harus memikirkan mau makan apa.

Dulunya saya pikir setiap pulang kampung, saya akan terisolasi dari informasi. Di sini memang tidak ada koran atau majalah. Tidak ada juga tempat penyewaan atau rental film. Pulang kampung identik dengan kesiapan kita untuk menjauh dari semua perangkat teknologi informasi. Kita menjalani hidup dengan tenang, tanpa diganggu dengan berbagai isu dunia ataupun isu nasional.

Itu dulu. Sekarang beda. Meskipun cuma ada koran lokal, namun saya bisa mengaktifkan internet dari rumah. Maka mata saya mulai menjelajah dunia, menyusuri informasi dari media-media besar. Saya bisa terkejut saat membaca apa yang terjadi di Kopenhagen, Denmark, saat konferensi tentang perubahan iklim. Bayangkan, dari kota sekecil ini saya bisa mengakses Denmark yang jauh di seberang lautan.

Saya rasa, sudah waktunya kita meninjau ulang apa yang disebut kota-desa, serta kemodernan dan keterisolasian. Dahulu, kota identik dengan arus informasi yang tinggi, sementara kampung identik dengan keterisolasian. Tapi di sini, saya merasa kategorisasi itu sudah saatnya dipertanyakan. Di kota sekecil ini saya bisa tetap bergaul dengan warga global. Saya bisa tetap memicingkan mata saat menyaksikan penampilan Beyonce Knowles melalui situs Youtube (lihat gambar di atas. Seksi khan?)

Kita hidup pada era di mana batasan dan teritori fisik sudah mulai kabur. Dalam artian, anda bisa berada di manapun, tapi akan terkoneksi dengan siapapun yang berada di manapun. Batasan geografis jadi tidak penting. Sudah tak masalah anda tinggal di hutan belantara, namun selagi anda masih terkoneksi dengan internet dan teknologi lainnya, anda tetap bisa saling menyapa dengan sesamanya.

Saya teringat antropolog asal India bernama Arjun Appadurai. Ia menyebut situasi sekarang dengan kata 'deteritorialisasi,' situasi ketika semua teritori (batasan) fisik melebur. Kata Appadurai, batas kota-desa, atau pusat-pinggiran, sudah saatnya ditinjau ulang. Ia mendefinisikan ulang lokalitas dengan sebutan struktur perasaan (the structure of feeling). Meskipun anda berjauhan secara fisik, sepanjang anda bisa saling kontak, bisa saling menghubungi dan saling mengetahui keberadaan masing-masing setiap hari melalui teknologi komunikasi, maka anda dihubungkan dalam satu lokalitas. Sebaliknya, meski anda berada dalam satu kota atau bertetangga, jika tidak saling sapa, maka tidak bisa disebut sebagai lokalitas yang sama. Batasannya adalah sejauh mana hati anda terhubung dan bisa saling sapa, sekalipun melalui teknologi.

So, saya tidak sedang terisolasi di sini. Saya sedang menelisik dunia dan tercengang-cengang saat menyadari betapa sempitnya ruang yang pernah saya jelajahi. Di sini, saya bisa terkoneksi dengan banyak orang, menjaga kembali rajutan kenangan, saling bertukar kata dan persembahan, serta tetap membangun struktur atau fondasi perasaan yang pernah sama-sama kita ikrarkan. Di sini, di kota kecil ini, saya sedang mengidentifikasi diri saya sebagai warga dunia.(*)



1 komentar:

Arsal Amiruddin mengatakan...

Satu fenomena d kampungku k'yus. Dahulu, usai melaut dan menjual hasilnya, nelayan akan pulang ke rumahnya, beristirahat. Sekarang, nelayan2 jauh lebih necis dibanding pelajarnya. Usai melaut, dgn laptop di tangan, segera merapat di "Warkop Punggawa", warung kopi yang berada tepat di depan TPI (Tempat Pelelangan Ikan) di Malili.

Jadinya, bukan lagi mereka yg tersisih dalam keseharian, tetapi pelajar2 tak bekerja dan tanpa penghasilan yang kembali menjadi asing karena tidak punya akun d situs jejaring sosial yg lagi ngetren.

Kasihannya diriku...!!

Posting Komentar