Memilih Jadi Indiana Jones

SAYA memutuskan untuk banting stir dari cita-cita saya untuk menjadi akademisi. Lama merenungkannya, saya tiba pada keputusan untuk memilih menekuni profesi lain. Meski demikian, keinginan saya yang menyala-nyala untuk menekuni jalur ilmu pengetahuan tidak akan saya padamkan begitu saja. Saya akan menitinya, namun melalui jembatan yang lain. Mungkin kelak, saya akan merencanakan publikasi yang banyak, tidak hanya merambah pada satu bidang saja. Saya memilih menjadi intelektual bebas yang lepas bagai merpati.

Saya tidak sedang kecewa. Pengalaman saya menyaksikan bagaimana kiprah para akademisi di Universitas Hasanuddin kian membulatkan tekad saya. Pada akhirnya, saya mulai melihat mereka dengan titik pandang berbeda. Memang, para akademisi nampak mulia dalam dunianya. Mereka seolah menjadi penjaga gawang nilai yang menyediakan lentera bagi mereka yang tertatih di tengah kebodohan atau ketidaktahuan. Namun, berapa banyakkah mereka yang menyandang tugas suci itu? Jumlah mereka hanya dihitung jari, lebih banyak para petualang politik, atau mereka yang memilih jalur itu demi tetap menjaga kerja lambung. Atau agar asap dapur tetap mengepul.

Pengalaman saya selama delapan bulan menjadi asisten pengajar, cukuplah memberikan saya pengetahuan apa yang terjadi di balik dunia ini. Saya agak miris melihat rekruitmen tenaga akademisi yang sedemikian rupa. Setiap kali hendak jadi akademisi, pertanyaan pertama adalah siapa yang akan menjadi backing dan mengamankan posisi kita. Memang, ada banyak tes yang harus dilewati. Namun, seperti kata teman Supa Atha’na, “Tes yang banyak itu sengaja didesain untuk menggolkan orang tertentu yang memang sudah disiapkan. Tes itu untuk menahan laju mereka yang berkualitas, tapi punya potensi perlawanan pada sistem,” katanya.

Saya setuju dengan Supa. Betul, ada jalan yang panjang untuk melewati test akademik itu. Tapi saya tidak yakin dengan hasilnya. Saya mengenal banyak dosen muda. Saya cukup mengenal kapasitas mereka. Baik di jalur akademik ataupun praktisi, mereka bukanlah siapa-siapa. Malah, mereka tidak menghasilkan apa-apa, selain kebanggaan semu tentang posisi sosialnya. Mereka hanyalah para pembual yang punya koneksi bagus untuk melewati ajang rekruitmen. Makanya, saya tidak terlalu optimis melihat masa depan universitas ini. Terlampau banyak alumnus terbaik yang apada akhirnya memilih banting stir demi memelihara idealisme dan menantang derasnya gelombang dunia di luar kampus.

Saya memilih untuk tidak bersama para pembual berkoneksi itu. Betapa bodohnya saya jika harus menjilat kiri kanan demi satu posisi. Saya ingin dipandang berdasarkan penguasaan saya atas sesuatu. Saya ingin dinilai bukan karena siapa di belakang saya, melainkan sejauh mana penjelajahan saya di langit intelektualitas, sejauh mana capaian atau karya yang saya hasilkan, atau seberapa banyak tulisan yang saya publikasikan baik di media massa maupun di satu jurnal ilmiah. Saya ingin dinilai karena saya pernah menjadi cumlaude di satu universitas terbaik di negeri ini, pada satu program ilmu murni (pure science) yang penuh dengan penjelajahan filosofis. Saya tidak mau dipandang dari linear tidaknya program studi yang saya tekuni. Pandangan yang menunjukkan kepicikan berpikir dan tiadanya pahaman yang memadai tentang filsafat ilmu pengetahuan. Saya ingin dinilai berdasarkan tanggung jawab sosial yang saya emban: memberikan pencerdasan bagi sesama melalui hal-hal kecil yang bisa saya lakukan dengan langkah sederhana, pada kerja-kerja sosial dan api idealisme yang saya pelihara saat menjadi jurnalis dan pekerja sosial.

Ketika saya memutuskan untuk meninggalkan kampus, maka saya sudah memikirkan semuanya. Saya tidak mau sebodoh seorang asisten pengajar di kampus Unhas, yang mengabdi selama 12 tahun, namun tidak kunjung diangkat sebagai pengajar tetap. Saya tidak sebodoh itu dan meletakkan masa depan saya pada segelintir orang yang angkuh dan harus dijilat agar memandang kita. Saya ingin menentukan jejak langkah sendiri, bukan kepada segelintir orang itu. Saya adalah subyek yang aktif dan hendak menggurat sejarah dengan tangan saya sendiri. Untuk itu saya menolak smeua praktik penghambaan demi satu posisi sosial.

Pada akhirnya, saya memilih banting stir untuk menggapai cita-cita kecil saya yakni menjadi Dr Indiana Jones. Saya ingin fokus menjadi Indiana Jones, pengelana yang berpindah-pindah dari satu koordinat ke koordinat yang lain. Saya ingin bertualang, tidak sebagai akademisi, namun sebagai profesi yang lain. Saya tidak pernah takut tinggal di satu kota kecil. Sebagai antropolog seperti Indiana, petualangan saya adalah menggapai kampung-kampung yang jauh dari peradaban, berkenalan dengan banyak manusia yang tidak banyak tercatat dalam sejarah, bersentuhan dengan mereka yang dibisukan oleh situasi.

Mungkin saya akan meninggalkan banyak kawan di kota. Mungkin pula saya akan meninggalkan berkarat-karat kenangan dan kenyamanan yang pernah saya bangun. Tapi, seperti halnya Indiana, hasrat petualangan yang berkobar-kobar akan membawa saya untuk hidup di negeri yang jauh, pada tempat-tempat eksotis yang tidak banyak diketahui oleh para manusia kota. Demikian pilihan saya. Menjadi Indiana Jones.(*)

0 komentar:

Posting Komentar