HARI ini kembali saya rapat program dengan teman-teman di Lembaga Studi Informasi Media (Elsim). Kami membahas rencana kerjasama dengan satu lembaga internasional yakni World Wildlife Fund (WWF). Kemarin, saya sudah ketemu dengan Mas Koko, project officer WWF untuk sama membahas apa yang hendak dilakukan. Selama setahun, Elsim akan menerima bantuan sebesar Rp 300 juta, untuk mengelola program kampanye lingkungan secara bersama. Posisi saya sendiri sebagai penggembira yang memberikan sumbang saran. Saya juga diminta mengelola beberapa kegiatan.
Menurut saya, jumlah bantuan tersebut sangat kecil jika dibandingkan dengan rencana besar program yang hendak dibuat. Duit Rp 300 juta jelas tidak memadai untuk rencana menggerakkan kesadaran publik tentang pentingnya satu isu. Entah kenapa, sudah jarang lembaga internasional yang mengucurkan dana besar untuk kegiatan. Dua bulan yang lalu, saya juga ikut menandatangani MoU antara Toyota Foundation dengan Pusat Kegiatan Penelitian (PKP) Unhas untuk riset dan advokasi tradisi La Galigo.
Dananya tidak seberapa besar yakni Rp 300 juta untuk dua tahun kegiatan pendampingan dan pemberdayaan. Saya sering bertanya-tanya, mengapa dana yang dikucurkan buat LSM kian tahun kian sedikit. Ini jelas sangat berbeda dengan situasi pada masa sebelum dan pasca-reformasi. Pada masa itu, ada begitu banyak uang yang dikucurkan kepada lembaga swadaya masyarakat (LSM). Tiba-tiba saja, para penggiat LSM langsung kaya raya dan serasa mendapat durian runtuh.
Makanya, menjadi fenomena yang tidak mengherankan kalau pada masa itu, LSM menjadi garda depan perubahan sosial. Hampir tiap hari ada saja LSM yang memberikan gagasan baru bagi upaya penemuan langkah-langkah bagi bangsa ini ke depan. Menurut saya, para penggiat LSM harus kaya. Bukan dalam artian mereka hidup mewah, namun mereka sanggup memenuhi semua kebutuhannya. Mereka juga manusia kok. Mereka harus bisa membebaskan dirinya dari masalah kemiskinan, sebelum melakukan pemberdayaan kepada orang miskin. Mereka tak boleh terjebak dengan persoalan yang semestinya harus diselesaikannya.
Sayangnya, situasi saat ini amat jauh berbeda. Kondisi LSM seperti Elsim bagaikan ’hidup segan mati tak mau.’ Banyak aktivis LSM di Sulawesi Selatan yang ’banting setir’ menjadi petualang politik atau tim sukses pada berbagai perhelatan politik baik di tingkat provinsi, maupun di daerah-daerah. Dana bantuan program dari berbagai lembaga internasional kian sedikit. Malah, dana itu tak cukiup untuk sebuah program besar dengan hasil terukur sebagaimana yang dituntut oleh para pendonor.
Dalam keadaan seperti ini, apakah yang bisa dilakukan? Saya tidak tahu. Saya selalu percaya bahwa banyak aktivis LSM yang masih idealis demi menggapai visi besar untuk pemberdayaan masyarakat. Tapi, seberapa banyakkah mereka yang seidealis itu dan tidak memikirkan apakah asap dapur mengepul ataukah tidak? Dalam amatan saya, kebanyakan aktivitas LSM justru sibuk putar otak untuk menyiasati keadaan. Makanya, kondisi di dunia LSM tidak semeriah dulu.
Tapi, kadang-kadang saya melihat ada soalan juga di dunia LSM. Barangkali, ada sejumlah LSM yang punya akses langsung pada lembaga donor semacam World Bank. Mereka kemaruk dan menguasai dana sendirian, tanpa hendak berbagi dengan lembaga lainnya. Mereka kaya sendirian dan tak mau membagi jaringan.
Inilah dunia LSM di Sulsel. Mereka mesti pandai-pandai bernegosiasi dengan para pendonor yang pelit dan banyak maunya, juga persaingan dengan sesama LSM yang kadang kemaruk. Lantas, di manakah posisi para aktivis LSM yang idealis? Marilah kita sama-sama menjawabnya.(*)
0 komentar:
Posting Komentar