MENJADI pegawai negeri sipil (PNS) di daerah ibarat meraih impian yang paling tinggi. Di daerah-daerah, tak banyak pekerjaan yang hebat-hebat sebagaimana di kota. Tidak banyak kantor swasta yang bisa menggaji layak para bawahannya. Tak banyak BUMN yang gaji karyawannnya tinggi-tinggi dan memungkinkan untuk hidup mewah. Di daerah-daerah hanya ada satu profesi yang prestisius yakni menjadi PNS. Pantas saja jika banyak yang siap menggelontorkan uang hingga Rp 60 juta demi mendapatkan status sebagai PNS.
Ke manakah dana disetorkan? Ini sudah menjadi rahasia publik. Terdapat banyak jalan ke mana dana itu hendak disetorkan. Tampaknya, ada semacam kerjasama yang menguntungkan antara aparat pemda dengan mereka yang menginginkan jalan pintas. Di negeri ini, terlalu banyak orang serakah yang mengincar banyak duit demi memperkaya diri sendiri. Makanya, selagi tes PNS masih diadakan di daerah, maka akan selalu ada jalan pintas, tanpa melihat bagaimana kebutuhan daerah di masa mendatang. Lagian, ini bukan cuma terjadi di daerah. Bahkan di kota-kota atau pusat sekalipun, praktik seperti ini sudah jadi rahasia umum. Malah, di dunia akademis sekalipun, praktik ini terjadi. Saya sudah mengalaminya sendiri. Tapi akan saya kisahkan dalam tulisan lain.
Meski bayarannya mahal, tetap saja banyak yang bersedia membayar. Orang-orang berpikir, mendingan bayar seharga Rp 65 juta, tapi setelah itu masa depan sudah di tangan. Menjadi PNS adalah kesuksesan meraih masa depan yang cerah. Rata-rata orang daerah berpikir bahwa PNS bukan hanya identik dengan baju seragam yang mentereng, namun juga gaji tinggi, mobil dinas pelat merah, serta waktu luang yang cukup besar untuk menikmati hidup bersama keluarga.
Ini berbeda dengan para pegawai BUMN atau kantor pertambangan lain yang kaya-raya, tapi hari-harinya adalah kerja keras, tanpa banyak waktu kosong untuk berleha-leha bersama keluarga. Makanya, profesi PNS amat prestisius bagi banyak orang di daerah.
Saya menyaksikan langsung bagaimana proses seleksi PNS di daerah. Selama beberapa hari ini, hampir semua kabupaten di Sulawesi Tenggara mulai menerima pendaftaran PNS. Rata-rata menyetor berkas pendaftarannya di kantor pos di daerah masing-masing. Makanya, selama beberapa hari ini, kantor pos padat dengan ribuan manusia yang hendak mengadu nasib.
Saya menyaksikan ribuan orang yang berdesakan di kantor Pos di Kota Bau-Bau. Saking padatnya antrian, sampai-sampai Jalan Murhum --tempat kantor tersebut-- harus ditutup demi melayani para pencari kerja tersebut. Ada pengharapan besar pada wajah mereka yang sedang antri tersebut. Saya sendiri bertanya-tanya, apakah ribuan antrian ini, serta karut-marutnya pelaksanaan tes PNS adalah pertanda bahwa negeri ini sudah gagal menyediakan pekerjaan yang baik bagi warganya sendiri? Mereka paham bahwa akan ada permainan di balik tes itu, tapi mereka tetap saja ngotot menjalani tes dan menguji sejauh mana peluangnya untuk mengalahkan nasib. Atau mungkinkah mereka yang datang itu, rata-rata sudah punya backing di luaran sana?
Tiba-tiba saja saya membayangkan bagaimana daerah ini ke depan. Masih adakah masa depan gemilang ketika seleksi PNS menjadi ajang permainan uang dan kekuasaan? Bisakah kita berharap banyak bahwa proses ini akan melahirkan para PNS yang terbaik untuk memberikan pelayanan publik bagi warga daerah? Ataukah seleksi ini hanya untuk mengumpulkan pundi-pundi keuangan, tanpa bermaksud menambah pasokan personel bermutu bagi institusi di daerah?
Maafkan kawan, saya hanya menjadi penyaksi yang bersuara parau atas fenomena ini. Saya tak tahu apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya.
0 komentar:
Posting Komentar