Masjid Raksasa, Satu Jamaahnya


PEMERINTAH Provinsi (Pemprov) Sulsel akan membangun masjid raksasa dengan 99 tiang. Di lokasi yang direncanakan akan menjadi kawasan Center Point of Indonesia (CPI), akan dibangun masjid besar yang diyakini akan kian mengukuhkan imej Sulsel sebagai Serambi Madinah.

"Pembangunan Masjid tersebut akan semakin mengukuhkan Sulsel sebagai bumi serambi Madinah. Sementara 99 tiang Masjid bersumber dari Asmaul Husna atau jumlah nama-nama Allah," ujar Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo dalam rapat paripurna DPRD Sulsel, sebagaimana dikutip Kompas.com, Senin (14/12).

Ada beberapa hal menarik yang tiba-tiba membuatku gatal berkomentar. Pertama, apa pentingnya mengklaim diri sebagai serambi Madinah? Mengapa tidak membiarkan saja masyarakat yang memberi klaim tersebut karena melihat bahwa di bumi Sulsel, Islam sudah lama membumi dan menyatu dengan napas masyarakatnya. Pandangan yang mengklaim diri sendiri sebagai Serambi Madinah adalah pandangan yang menyiratkan keangkuhan tanpa melihat realitasnya di masyarakat.

Orang Sulsel hanya bangga dengan sejarahnya sebagai pemeluk Islam yang taat. Namun, apakah benar sejarah mencatat demikian? Saya jadi ragu. Saya pernah membaca catatan penjelajah asing yang singgah ke Pelabuhan Makassar pada abad ke-17. Ia mencatat tentang Gowa sebagai negeri yang memeluk Islam, namun tidak taat. Saat penjelajah itu memasuki kota Makassar, ia menyaksikan Sang Sultan sedang menyabung ayam. Ini belum termasuk catatan tentang bagaimana intrik di istana serta sejumlah praktik yang jauh dari Islam. Lantas, apa dasarnya menyebut diri sebagai Serambi Madinah?

Mungkin ini ada hubungannya dengan keberadaan Qahhar Mudzakkar yang pernah memproklamirkan negara Islam. Tapi, apa artinya klaim tersebut di saat Islam ditegakkan dengan berdarah-darah. Mereka yang bukan Islam banyak dibunuh, para pendeta bissu mengalami kekerasan, serta teror pada penduduk hingga menimbulkan kenangan yang traumatik. Sejarah Sulsel tak banyak mencatat keemasan tentang pembumian syariat Islam. Kalaupun ada, maka mungkin itu bisa ditemukan pada sosok Syekh Yusuf yang mendunia. Tapi harus dicatat, Syekh Yusuf sudah lama meninggalkan Makassar. Ia melengkapi catatan tentang mereka yang sufi dan terasing dari negerinya. Kesimpulan saya, klaim 'Serambi Madinah' itu tidak berdasar dan terlalu mengada-ngada.

Kedua, ngapain membangun masjid sebesar itu kalau jamaahnya hanya beberapa gelintir? Di Kota Makassar saja sudah bertebaran banyak masjid besar dengan konstruksi yang mentereng. Namun, jangan tanya berapa jamaahnya. Jamaah hanya membeludak hanya saat salat Jumat. Sementara pada salat wajib, jumlah jamaahnya tidak sampai satu saf. Di saat banyak masjid bertebaran hingga seribu, namun jamaahnya hanya itu-itu saja. Toh, banyaknya masjid tetap saja tidak menjelaskan sejauh mana kedalaman masyarakatnya memahami Islam. Semuanya akan berpulang pada sejauh mana semangat Islam yang indah itu bisa melebur dalam kehidupan masyarakatnya. Bukan dari seberapa banyak masjid dalam satu kota. Lagian, ketimbang membikin masjid-masjid besar, kenapa pemerintah tidak menjalankan program untuk membumikan ajaran Islam itu sehingga menjadi darah yang mengaliri jantung kehidupan masyarakat. Upaya-upaya yang bisa menjelmakan Islam sehingga menjadi berita gembira dan rahmat bagi banyak orang.

Ketiga, di satu sisi apa yang dilakukan Pemprov Sulsel seolah-olah religius dan sangat mencintai agama Islam. Namun di sisi lain, ini mencerminkan pandangan yang picik mengenai Islam. Islam diciutkan hanya bermakna material semata. Islam dilihat sebagai benda. Seolah ketika membangun masjid raksasa, maka Islam akan makmur dan jaya. Seolah ketika masjid raksasa berdiri, maka akan memberikan kebanggaan bagi umat dan semua problem masyarakat selesai. Padahal, bukan di situ letak substansinya. Ngapain membangun masjid sebesar itu ketika di sekitarnya terlampau banyak pengemis yang memenuhi jalan-jalan di Kota Makassar dan menadahkan tangan hanya demi sesuap nasi. Tantangan terbesar bagi kita semua adalah bagaimana membumikan Islam menjadi makna yang menjadi sukma bagi tindakan semua masyarakat. Bukannya membangun masjid besar yang raksasa.

Malah, tindakan membangun masjid besar tersebut mencerminkan pandangan yang menjadikan Islam sebagai komoditas politik untuk meningkatkan imej sebagai pemimpin yang religius. Islam direduksi hanya sebagai alat kekuasaan, sesuatu yang bisa menaikkan citra sang penguasa. Inilah zaman virtual ketika agama kehilangan rasa. Hanya menjadi sesuatu yang megah, namun tidak terasa sebagai jiwa yang menenangkan.(*)

0 komentar:

Posting Komentar