Lama menanti, Ruroini Kenshin: The Final tayang juga di Netflix. Sejak jauh hari, saya sudah menandai tanggal. Saya sudah menyukai kisah Samurai X ini sejak masih dalam format kartun yang dulu tayang di televisi swasta, bertahun-tahun lalu.
Kenshin Himura adalah samurai pengembara yang tengah berjuang untuk melupakan semua trauma masa lalu. Dahulu, dia adalah seorang battosai atau pembantai samurai yang hendak memberontak pada kekaisaran.
Dia loyalis kaisar yang bertarung dan menebas banyak pendekar setelah itu mengasingkan diri di satu desa. Dia menjadi warga biasa, yang setiap harinya menjadi baby-sitter dua anak kecil, serta menjadi pelayan di dojo milik Kaoru Kamiya. Kenshin menjauh dari hiruk-pikuk dan perubahan yang sedang melanda Jepang di era Meiji.
Namun dia tak benar-benar bisa menghilang. Dia selalu dikejar masa lalunya, khususnya orang-orang yang ingin menjadi the greatest warrior, serta mereka yang dendam dengannya.
Kisah Samurai X merekam semua dinamika itu dengan apik. Kisahnya mengingatkan saya pada Upheaval yang ditulis Jared Diamond mengenai kebangkitan dari satu bangsa, serta betapa mahalnya biaya sosial yang harus dipikul.
Bahwa dalam sebuah disrupsi, mereka yang di pihak nyaman akan merasa dirugikan sehingga bergejolak. Ketangguhan suatu bangsa terletak pada kemampuan merespon perubahan, serta menanamkan perubahan itu ke darah masyarakatnya.
Jika hari ini kita melihat Jepang yang modern, tetapi tetap menghadirkan tradisionalitasnya, maka itu adalah hasil dari gejolak dan prahara yang terjadi di era Meiji, pada masa di mana Kenshin harus mengangkat pedang.
Kisah ini mulanya tampil dalam format animasi atau manga ini, mulai difilmkan pada tahun 2012 dengan judul Ruroini Kenshin. Tahun 2014, dua film lain diluncurkan yakni Kyoto Inferno dan Legend Ends.
Saya pikir sejak tiga film itu, tak ada lagi Kenshin. Puji Tuhan, ternyata tahun 2021, Kenshin hadir lagi dalam dua film yakni The Final (tayang di Netflix sejak Jumat lalu) dan The Beginning.
Di Jepang, The Final telah tayang sejak April 2021 dan menjadi box office. Selama tiga hari penayangan perdana, The Final meraup pendapatan 745 juta yen atau USD 6,9 juta. Film ini juga akan diputar di Shanghai International Film Festival (SIFF) ke-24
Saya amat gembira dan bahagia saat menyaksikan film ini. Ada nostalgia dan rindu menyaksikan serial yang dulu tampil dalam format animasi ini.
Ada hal yang tetap dan hal yang berubah. Jajaran pemainnya masih sama. Namun, saya melihat pemeran Kenshin agak menua. Karakternya pun dibuat lebih dingin. Sejak awal, film ini menyajikan kemuraman, kesedihan. Sepanjang film, nyaris tak terlihat senyum di wajah Kenshin. Padahal musuh besarnya Sishio telah tewas.
Sebagai seorang mantan battosai, nama lain bagi samurai pembantai samurai di era Meiji, Kenshin akan selalu dicari banyak pendendam. Bukan hanya dicari mereka yang ingin mengalahkan dirinya agar menjadi sosok terhebat, tapi juga mereka yang keluarganya pernah dibantai Kenshin.
Kali ini, dia dicari saudara iparnya, Enishi Yukishiro. Pria ini menyaksikan tewasnya Tomoe Yukishiro, mantan istri Kenshin yang tewas di ujung pedang Kenshin. Dia memelihara dendam selama bertahun-tahun. Dia mengumpulkan pendekar sakti lalu membuat barisan dengan satu misi yakni membunuh battosai Kenshin.
Barisan pendekar ini mengingatkan saya pada Juppongatana, barisan pendekar yang dipimpin Makoto Shishio, musuh besar Kenshin. Saya sih melihat pasukan Shishio masih lebih sakti dan mengerikan.
Di antara pasukan Sishio, nama yang terpatri di benak saya adalah Seta Sojiro, pria berwajah bayi yang pernah mengalahkan Kenshin, sehingga memaksanya pergi berguru kembali demi memperdalam ilmu berpedangnya. Dalam The Final, Seta Sojiro muncul kembali. Kali ini dia hadir untuk membantu Kenshin dalam menghadapi pasukan Enishi.
Klimaksnya adalah pertarungan Kenshin melawan Enishi, setelah sebelumnya Kenshin mengalahkan ratusan orang. Saya pikir duel mereka adalah salah satu duel terbaik. Sembari bertarung, mereka berdialog tentang apa makna kehilangan, balas dendam, hingga bagaimana berdamai dengan masa lalu. Saya melihat karakter Kenshin kian dewasa dan matang.
Dari sisi cerita, tak ada yang mengejutkan. Semuanya datar-datar saja. Namun sinematografinya keren. Saya suka adegan saat salju turun perlahan, yang sedetik kemudian api menyambar. Adegan laga yang dikemas serupa tarian dan orkestra. Kenshin menghadapi ratusan orang dengan cara menebas dan berlari. Dia mengayun, menghantamkan pedang, lalu meluncur di lantai.
Cara bertarungnya tidak sama dengan IP Man yang mendatangi lawan lalu duel hingga tewas. Kenshin bertarung dengan menggunakan akalnya, Ada saat dia saling lompat dan menebas, ada saat dia berlari lalu melompat ke dinding, melesat, lalu turun dengan hantaman pedang. Keren.
Satu hal yang saya sayangkan, karakter Kenshin di film berbeda dengan versi animasi. Di film, Kenshin selalu dingin saat bertarung, serta saat berinteraksi. Dia hanya punya satu warna. Tapi di versi animasi, karakter Kenshin lebih berwarna-warni. Dia bisa tampil konyol, bodoh, dan menjadi pengasuh dua anak kecil. Namun saat musuhnya datang, dia berubah menjadi sangat dingin.
Namun, baik animasi dan film sama-sama memotret tentang zaman yang sedang berubah. Jepang yang tadinya tertutup menjadi lebih terbuka. Di era Meiji, semua hal direformasi. Bukan saja tata pemerintahan, tapi juga ada tatanan sosial baru, di mana kelompok bangsawan yang tadinya berkuasa berubah menjadi warga biasa.
Banyak bangsawan dan samurai yang tidak bisa menerima kenyataan itu, sehingga memilih membangkang pada pemerintahan. Kenshin hadir di jajaran kekaisaran yang bertugas untuk menghadapi semua pemberontakan.
Dia bekerja bersama kekaisaran, tetapi dia menolak jadi bagian dari mereka yang mendapatkan status dan kemapanan. Dia memilih tinggal di desa, menjadi pelayan di sebuah dojo yang dipimpin Kaoru Kamiya. Dia menjadi warga biasa, yang berjuang untuk melupakan semua trauma dan kengerian yang dihadirkannya semasa jadi pembantai.
Namun Kenshin tak benar-benar menghilang. Dia nasionalis sejati yang akan hadir saat bangsanya dirundung perpecahan. Dia menghunus pedang sakabato atau pedang yang bilahnya tumpul demi tidak membunuh orang lain. Dia melumpuhkan, tapi tidak membunuh.
Dia tahu kapan masuk arena dan kapan meninggalkan arena. Saat rakyat terancam dan orang-orang memekik ketakutan, dia datang sebagai pahlawan. Saat tenang dan damai, dia pun melebur bersama warga. Dia seorang pendekar organik yang hidup di tengah massa rakyat, lalu sesekali maju ke permukaan.
Dia pendekar sejati.
BACA JUGA:
Belajar Hidup Melalui Samurai X
Duel Terdahsyat Kenshin Himura
3 komentar:
kereen
Kan yg konyol udah ditampilin di film pertama masðŸ¤
film yg bagus..suma duel head to headnya kurang banyak di banding yg sebelumnya
Posting Komentar