Kiat Membangun Laskar Media Sosial di Era Politik 4.0




Apakah Anda seorang politisi yang sedang butuh cara untuk menjangkau banyak kaum milenial yang sering berkeliaran di media sosial? Apakah Anda seorang calon presiden atau kepala daerah yang butuh strategi agar semua postingan bisa viral lalu disukai generasi milenial? 

Jika ya, bacalah artikel ini dengan seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. 

***

SUATU hari di tahun 2014, seorang kawan mengajak saya untuk mengelola satu fanpage di Facebook bertemakan cinta. Pada dasarnya saya bukan orang yang suka memosting tema-tema cinta. Tapi, melihat jumlah follower aktif dari fanpage itu yang mencapai jutaan, saya tertarik. Saya penasaran ingin tahu apa manfaatnya.

Yang dilakukan sederhana. Kami hanya konsisten memosting kalimat-kalimat cinta yang kemudian langsung mengena di hati generasi milenial. Secara sukarela, para anggota  yang kemudian secara sukarela menyebarkannya secara viral. Dalam sehari, saya bisa menyiapkan tiga kalimat indah, rayuan, ataupun kisah-kisah inspiratif yang disebarkan hingga ribuan kali dalam sehari.

Sebulan jelang pemilihan presiden, pihak Facebook menutup fanpage itu dengan berbagai pertimbangan. Saya tidak tahu persis apa pertimbangannya. Saat itu, beberapa rekan sesama admin kemudian tersebar. Beberapa admin langsung laris manis di kalangan para politisi ataupun pengguna jasa social media marketer. Seorang di antaranya diajak menjadi salah satu tenaga ahli dan pengelola media sosial dari salah seorang calon presiden yang menjadi penantang Jokowi. Saya sendiri memilih jadi seorang pengangguran yang amat suka diajak ngopi.

Salah seorang kawan lain bekerja di DPR untuk seorang politisi muda terkenal yang mengelola akun di media sosial hingga punya follower aktif yang banyak. Jurus yang dipakai di fanpage bertema cinta itu digunakan. Sang politisi cepat sekali diterima generasi milenial. Setiap hari dia berinteraksi dan saling sapa melalui media sosial. 

Bahkan, ketika berkunjung ke daerah pemilihan (dapil), dia mengumumkan ajakan untuk bertemu di satu tempat dengan follower-nya. Sungguh mengejutkan ketika yang hadir sangat banyak. Jauh melampaui ekspektasinya. Ternyata media sosial bisa menjadi sarana yang sangat ampuh untuk mengumpulkan orang-orang, memviralkan ide-ide dan gagasan positif, lalu menjadi senjata untuk melakukan transformasi sosial.

Di situ, saya menyadari betapa besar potensi mengelola fanpage yang anggotanya ratusan ribu hingga jutaan. Ternyata, mengelola fanpage bisa menjadi kekuatan bagi seorang politisi untuk menyentuh banyak kalangan, lalu mengelola mereka menjadi barisan relawan yang secara sukarela mengampanyekan seseorang ke mana-mana. Sepanjang konten bisa dikelola dengan baik, maka konten itu bisa tersebar dengan amat cepat, yang sering kali tak terduga.

Ternyata, media sosial bisa menjadi senjata.

***

INDONESIA akan segera menggelar panggung pemilu legislatif dan pemilihan presiden. Di banding sebelumnya, pemilu kali ini terasa berbeda. Benar kata Jusuf Kalla, kampanye pemilu dan pilpres tak lagi identik dengan pengerahan massa dalam jumlah banyak yang bisa memacetkan lalu lintas. Tapi kampanye bisa dilakukan dengan cara memanfaatkan semua saluran dan teknologi yang bisa menjangkau banyak orang.

Dalam amatan saya, di era yang disebut para pengamat sebagai era 4.0 yang ditandai dengan dunia digital dan era internet of things, cara pandang terhadap politik juga mengalami pergeseran.

Pertama, di era 4.0, kerja-kerja pemasaran politik harus diarahkan pada bagaimana menguatkan jejaring relawan, sehingga politik menjadi kerja-kerja bersama yang melibatkan banyak pihak. Politik seyogyanya dikelola menjadi misi bersama yang harus digapai demi memperjuangkan berbagai agenda-agenda penting untuk bangsa.

Di negara seperti Amerika Serikat (AS), kerja-kerja politik dilakukan dengan merekrut relawan yang memiliki visi dan misi yang sama. Di negeri kita, kerja relawan adalah kerja tim sukses yang targetnya hanya bagaimana mengumpulkan massa, tanpa menyiapkan landasan kuat sehingga kegiatan politik menjadi lebih berdaya.

Kedua, politik di era 4.0 akan fokus pada keseimbangan antara kerja-kerja offline dan kerja-kerja online. Yang dimaksud offline adalah kegiatan politik melalui temu kader, kunjungan, kampanye, dialog, anjangsana, pelatihan, ataupun aksi spanduk dan baliho. Sedang kerja online adalah memaksimalkan semua jaringan media sosial sehingga pesan dan visi-misi diketahui semua khalayak.

Politik di era 4.0 adalah bagaimana menggunakan jaringan media sosial yang efektif dan efisien. Hipotesis yang dibangun adalah semakin banyak likers, maka semakin tinggi elektabilitas. Mengapa? Sebab generasi milenial adalah generasi yang sukar dikendalikan dalam skema politik yang penuh mobilisasi. Generasi ini adalah generasi apolitis yang harus didekati dengan cara-cara unik. Mereka harus diyakinkan, dibujuk, diberikan fakta, sehingga secara sadar mau menjadi relawan yang membantu seorang politisi.

Ketiga, politik di era 4.0 akan memberikan penguatan pada bagaimana membangun infrastruktur teknologi dalam mengelola semua isu dan jaringan relawan. Politik dikelola dengan cara profesional dan berbasis teknologi. Suara publik bisa dipantau melalui percakapan media sosial. Pemilihan isu kampanye bisa ditemukan melalui analisis atas keyword atau kata-kata kunci yang sedang marak di internet pada satu lokasi. Seorang politisi bisa bicara lebih efektif seba sebelumnya punya pemetaan detail tentang apa saja yang dilakukan dan dibicarakan di dunia maya.

Tak hanya itu, para calon pemilih bisa dideteksi melalui teknologi informasi. Algoritma Facebook dan Google bisa dengan mudahnya mempertemukan kita dengan pemilih di satu lokasi, sehingga memudahkan kita yang hendak menyebarkan pesan secara viral agar dilihat oleh calon konstituen kita. Kita pun bisa dengan mudah mengevaluasi semua isu yang diviralkan, melihat kembali sejauh mana jangkauan, seberapa disukai publik, setelah itu menyusun perencanaan matang bagaimana “menggempur” media sosial dengan isu-isu tertentu.

***

Kata kunci yang harus dipegang untuk memenangkan pertarungan di era politik 4.0 adalah kuasai generasi milenial. Sebab beberapa lembaga sudah melansir fakta bahwa pemilih akan didominasi oleh generasi milenial yang berusia pada rentang 15-39 tahun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, jumlah generasi milenial pada tahun 2019 adalah 48 persen, yang kesemuanya adalah wajib pilih.

Melihat potensi suara yang begitu besar, beberapa partai dan kandidat yang akan bertarung dalam kontestasi pemilu sudah mulai dengan serius melirik dan menarget generasi milenial. Hampir semua politisi, partai politik, dan organisasi politik berusaha memikat generasi milenial dengan cara memasuki rimba media sosial, tempat generasi ini berinteraksi.

Namun, banyak politisi yang justru merasa gagap ketika memasuki dunia ini. Banyak politisi ataupun calon presiden berdandan ala generasi milenial, mengenakan celana jeans, rambut dengan model kekinian, lalu tersenyum sembari mengalungkan sejadah di pundaknya. Ada juga calon presiden yang ikut dalam rombongan motor vespa, atau menaiki motor keren tanpa spion, juga menggelar kompetisi game online di satu kota.



Banyak politisi yang justru mengira bahwa ketokohan di dunia nyata pasti akan berdampak di dunia maya. Ini keliru besar. Sebab dunia maya adalah dunia yang egaliter dan tanpa hierarki. Tak ada orang hebat di situ. Semuanya dalam posisi setara dan berinteraksi. Bahkan seorang mantan ibu negara bisa didebat dan ditentang oleh seorang warga biasa.

Maka seorang politisi tenar amat terkejut saat dirinya hanya diikuti segelintir orang. Dia pun harus pandai membangun komunikasi yang egaliter, bukan searah sebagaimana sering dipraktikkannya di ruang-ruang sosial. Demi memikat generasi milenial, seorang politisi mesti menempatkan dirinya sebagai warga biasa, yang berinteraksi tanpa ada sekat, kemudian memosisikan semua orang sebagai sahabat atau mitra dekat.

Prinsip-prinsip ini memang sederhana. Tapi akan begitu sulit dipraktikkan oleh mereka yang selama ini terbiasa ditinggikan oleh orang lain. Di dunia maya, Anda harus menjadi diri sendiri dan menanggalkan pola komunikasi yang berharap sanjungan atau kesopanan di atas rata-rata. Anda harus siap untuk didebat seorang anak kemarin sore, tanpa harus kehilangan harga diri Anda sebagai seorang politisi.

Pengelolaan media sosial ini menjadi penting. Sebab media sosial bukan lagi arena yang dipandang sebelah mata. Media sosial menjadi gerbang untuk memahami dinamika isu dan percakapan masyarakat. Media sosial juga bisa menjadi ruang untuk menyebarkan satu ide yang kemudian didiskusikan warga, sehingga berkembang menjadi luas.

*** 

Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan untuk mengelola media sosial dengan efektif? Apakah yang diperlukan agar kita punya armada media sosial yang baik dan bisa memikat hati semua calon konstituen sehingga bersedia untuk menjadi relawan dan membantu kerja-kerja politik?

Saya akan memberikan beberapa kiat praktis.

Pertama, jika tak punya waktu untuk mengelola sendiri, maka bangunlah satu tim media sosial yang tangguh. Kerja-kerja tim adalah bagaimana meningkatkan jumlah follower dan jangkauan media sosial yang beranggotakan orang-orang atau pemilih di satu kawasan. Namun tim ini harus menyadari bahwa kampanye di media sosial bukan dengan cara memasarkan tanda gambar dan foto seseorang secara terus-menerus.

Kerja tim ini lebih pada soft campaign atau mengelola postingan yang punya value dan bisa mencerahkan publik. Yang hendak diubah adalah top of mind publik bahwa seseorang punya kriteria atau ciri sebagai politisi yang bisa dipercaya. Akun seorang politisi yang baik tidaklah menjadi wadah untuk melempar hujatan dan makian, sebab tidak semua orang nyaman dengan itu. Namun selalu memberikan pencerahan, membuka wawasan, serta persuasif dalam meyakinkan orang-orang. 

Belajar pada tim media sosial saat pilkada DKI lalu, skema kerja tim bisa mengarah pada tiga hal. (1) Pusat komando yang merupakan pangkalan data dan informasi, kemudian disebarkan ke semua jejaring cyber army yang tersebar di semua titik, (2)  Tim Social Media Army memiliki pasukan lapangan yang tugasnya adalah mempercepat tersebarnya informasi, (3) Tim Defensif bertugas untuk menyusun klarifikasi dan bantahan di media social, (4) Tim Supportif bertindak sebagai litbang yang mengumpulkan data, fakta, dan riset.

Soal skema kerja biasanya fleksibel dan tergantung pada kebutuhan.

Kedua, Setelah tim terbentuk, buatlah satu pengelolaan konten yang berkualitas. Sebab konten yang berkualitas akan menentukan seberapa banyak orang akan menyukai postingan tersebut. Tim ini secara reguler membuat postingan, serta berpartisipasi dalam diskusi publik di media sosial melalui upaya memberikan komentar, kuliah daring (kultweet), diskusi, sharing informasi



Prinsipnya, satu informasi bisa diarahkan ke berbagai kanal media sosial. Tinggal disesuaikan dengan karakter media sosial itu. Misalnya pengguna Twitter menyukai postingan yang sederhana dan langsung pada sasaran. Sementara Facebook suka dengan postingan yang provokatif, tapi bisa mencerahkan.

Tim pembuat konten kreatif ini tidak hanya beranggotakan pembuat konten yang kreatif, tapi juga beberapa orang yang menguasai IT, yang bisa bantu memetakan apa saja perbincangan publik, lalu merekomendasikan apa saja postingan yang bisa dibuat. Tim IT juga bertugas untuk memviralkan setiap informasi, serta bisa memahami cara kerja dan algoritma Facebook dan Google, serta media sosial lainnya. Tim ini juga harus dilengkapi dengan seorang graphic designer yang tugasnya mengemas postingan jadi menarik sehingga dipahami publik pada berbagai lapis usia.

Ketiga, memperluas jejaring dengan para relawan. Tim harus menyusun tim-tim kecil yang bekerja di setiap komunitas, menyusun kerja-kerja pemberdayaan relawan, serta sering melakukan upgrading dengan semua relawan media sosial. Polanya adalah membuat banyak “peternakan” akun, yang tujuannya adalah membuat satu pesan tersebar secara cepat di banyak komunitas.

Ciri generasi milenial adalah prosumer. Mereka tak ingin sekadar menjadi konsumer, melainkan ingin dilibatkan sebagai produsen yang merancang informasi dan menyebarkannya ke mana-mana. Yang harus dilakukan adalah membangun kerangka pikir yang sama, menyesuaikan ritme kerja dan tema-tema yang akan diposting, serta sesekali membuat ledakan informasi secara serentak sehingga publik medsos akan heboh dan mulai mempertimbangkan pilihan politik pada seorang politisi.

*** 

MENGELOLA media sosial untuk generasi milenial memang gampang-gampang sulit. Gampang sebab Anda hanya mengikuti sejumlah protokol yang sudah dibuat. Sulit karena harus konsisten dan selalu belajar dan meng-update informasi. Makanya, pengelolaan media sosial mirip dengan pengelolaan redaksi media massa. Bedanya, media sosial harus selalu melakukan evaluasi, serta memiliki target dan rencana yang lebih cepat proses eksekusinya.

Jika langkah-langkah itu diterapkan, maka hasilnya akan menakjubkan. Citra seseorang terbentuk. Jaringan relawan yang siap bekerja tanpa bayaran akan tersebar di semua lokasi, serta banyaknya pertemanan yang bisa membuahkan hasil-hasil yang produktif bagi seseorang. Yang terpenting, politik bisa dikelola dalam relasi yang sejajar dan saling membutuhkan.

Konstituen bisa membumikan idealismenya dengan cara mempercayakan pada satu politisi. Di sisi lain, politisi akan bekerja untuk memahami keinginan konstituennya dan secara terukur bisa melihat sejauh mana kiprahnya dalam bekerja untuk orang banyak.



0 komentar:

Posting Komentar