Di Balik Catatan Harian


Di satu gedung tinggi di kawasan SCBD, Jakarta, saya bertemu ibu itu. Dia seorang pengusaha. Suaminya pejabat tinggi di satu kementerian.

Dia memperlihatkan lembar2 lusuh dan ditulis tangan. Rupanya itu adalah catatan harian yang ditulis anaknya di satu pesantren di Jawa Barat. Ibu itu mewajibkan anaknya untuk menulis catatan harian yang serupa surat. Di situ ada celoteh khas seorang anak yang menyapa ibunya dengan penuh cinta.

Tadinya itu hanya sebatas rutinitas. Namun, kian lama menulis catatan harian menjadi aktivitas yang sangat positif. Lewat menulis, anak itu melatih logika, mengasah kreativitas, juga mengembangkan imajinasi.

Saya mengamati catatan itu dengan hati mekar. Saya ingat Hernowo, petinggi Mizan, yang menganjurkan orang2 untuk membuat coretan2. Dengan mencoret sesuatu di lembaran kertas, maka otak kiri dan otak kanan bisa bekerja secara simultan. Kata Imam Ali: "ikatlah ilmu dengan menuliskannya."

"Apa bisa kita terbitkan catatan ini?" tanya ibu itu. Tentu saja. Justru catatan anak itu akan menjadi satu prasasti ingatan. Catatan itu akan menjadi monumen kenangan, menjadi jejak dan penanda tentang proses bertumbuh dan bertunas. Catatan itu menjadi titik awal dari proses berkelana di rimba pengetahuan, hingga kelak menemukan kearifan sebagai matahari penuntun jalan.

"Saya ingin menjadikannya hadiah ulang tahun," dia kembali berkata. Saya mengangguk. Ini akan jadi hadiah terindah. Hadiah sepeda, nintendo, dan jalan2 ke luar negeri akan punah seiring waktu. Tapi aksara akan selalu abadi. Kelak menjadi mesin waktu yang membawa seorang anak untuk menemukan cinta ibunya. 

Ya, ada cinta di situ. Ada cinta yang mengalir di setiap kata, ada pula cinta pada keikhlasan ibu itu membingkai perjalanan anaknya. Jika bukan karena cinta, lembar lusuh itu akan musnah, seiring dengan ingatan yang sangat terbatas. 

Kelak, anak itu akan menjadi ilmuwan besar, penulis besar, atau menjadi sosok impiannya. Namun catatan itu akan selalu jadi tempat nostalgia yang indah, sekaligus penanda kalau kaki-kakinya pernah tertatih, namun dia terus bergerak untuk menggapai mimpinya.

"Yos, apa kamu bisa jadi editornya? Bisakah?"

Nah, saya suka pertanyaan ini.


1 komentar:

Fendi mengatakan...

Belajar bayaran dan pahala untuk pekerjaan jadi editor itu, bang. DM Dong ! 😅

Posting Komentar