poster film Ruroini Kenshin 2: Kyoto Inferno |
DIRINYA adalah seorang samurai tak
terkalahkan yang kemudian mengundurkan diri dari hiruk-pikuk pertarungan.
Dirinya memilih tinggal di sebuah desa dan menjadi pengasuh anak-anak. Demi
sumpah untuk tak membunuh siapapun, ia menyandang pedang tumpul jenis sakabato, yang tepiannya tak bisa
menembus tubuh. Tiba-tiba saja, panggilan suci untuk membela kemanusiaan datang
menyapa. Sanggupkah ia kembali mengayunkan pedang?
Lelaki itu adalah Kenshin Himura. Kisahnya
bisa disaksikan pada film Ruroini Kenshin
2: Tokyo Inferno. Sebelum difilmkan, kisahnya sangat populer pada versi
kartun dan komik berjudul Samurai X yang
ditulis Nobuhiro Watsuki. Saya adalah penggemar setia yang menyaksikan satu
demi satu episode petualangan samurai berbaju merah, berambut
panjang, serta ada tanda goresan X di pipinya.
Dahulu ia seorang batosai, samurai yang membantai para samurai pemberontak. Ia
membela Kaisar Meiji yang menghapus hak-hak istimewa para samurai. Ketika para
samurai mengangkat pedang dan melawan kaisar, Kenshin berdiri pada posisi
paling depan. Ia menjadi pembantai. Ketika revolusi usai, ia lalu memilih
menyepi di desa kecil dan mengasuh anak-anak.
Saya menyenangi kisahnya yang menyepi dari
rimba persilatan. Ia tak mau berkelahi. Namun ke manapun ia menyepi, ia selalu
dicari. Banyak yang ingin membunuhnya. Ada yang bermotif dendam, namun jauh
lebih banyak yang ingin mendapat cap sebagai pendekar tak terkalahkan. Di
antaranya adalah musuh Kenhsin yakni Aoshi Shinomori.
Sebagai penggemar berat serial komik
Samurai X, film Ruroini Kenshin 2 ini cukup memuaskan. Setelah menontonnya,
saya terkesima. Gambarannya sesuai dengan serial kartun. Seingat saya, dari
sekian banyak episode Samurai X, kisah Kyoto Inferno ini adalah kisah paling berliku-liku
dan mendebarkan. Sang musuh adalah Makoto Shishio, yang dahulu menjadi murid
Kenshin. Dendam terlanjur membakar diri Shisio. Ia mengumpulkan para jagoan,
lalu hendak membakar kota dan menggulingkan kaisar yang berkuasa.
Kenshin merasa terpanggil untuk
mengalahkan Shisio. Apalagi, sepak-terjang anak buah Shishio amatlah mencekam.
Mereka menghancurkan desa-desa, membunuh banyak orang, serta melenyapkan banyak
pihak yang berseberangan. Kota Kyoto menjadi saksi kembalinya Kenshin sebagai
pendekar yang menghadapi banyak jagoan-jagoan hebat.
Kenshin Himura dalam versi kartun |
Sayang, film ini banyak menyederhanakan
apa yang tersaji di kartun dan komiknya. Seingat saya, masing-masing anak buah
Shishio memiliki keistimewaan tersendiri. Beberapa di antaranya membuat Kenshin
kepayahan dan nyaris tewas. Namun pertarungan demi pertarungan itu justru kian
mengasah Kenshin untuk selalu belajar dan lebih bijak dalam melihat persoalan.
Ia menjadi lebih filosofis, dan melihat pertarungan hanya sebagai arena untuk
mengadu gagasan, sembari bermain-main di antara satu argumentasi ke argumentasi
lainnya.
Sepanjang film, ada dua adegan perkelahian
yang saya sukai. Pertama adalah ketika Kenshin menghadapi Seta Sojiro. Gaya
bertarung Sojiro amatlah aneh dan tidak lazim. Biasanya, Kenshin sangat memperhatikan
mimik dan ekspresi seseorang. Ketika ada ketakutan, maka itu adalah pertanda
kekalahan. Tapi lawan yang satu ini justru berbeda. Ekspresinya selalu penuh
senyum. Wajahnya jenaka dan kekanak-kanakan. Ia menganggap berkelahi dengan
pedang hanya sebagai arena bermain. Pada duel pertama, Kenshin kalah. Pedangnya
patah.
Pertarungan kedua adalah saat Kenshin
menghadapi pendekar yang memakai dua pedang samurai saat bersamaan. Pendekar
itu sebelumnya menculik anak seorang pembuat pedang hebat. Dalam keadaan emosi
terpancing, Kenshin memakai pedang hebat pemberian sang putra pembuat pedang
yang anaknya diculik. ia mengeluarkan jurus andalannya Hiten Mitsurugi Ryu. Lawannya tersungkur. Ia tak tewas sebab pedang
Kenshin adalah pedang jenis sakabato.
Kembali, ada filosofi bahwa di abad modern, saatnya para samurai tak perlu
memakai pedang tajam.
Apapun itu saya cukup puas dengan film Ruroini Kenshin 2: Tokyo Inferno.
Sayang, kisahnya tak tuntas. Selain itu, sosok Kenshin justru agak dingin. Ia
tidak sehangat dan sekonyol versi kartunnya. Saya juga kehilangan humor-humor
ala Kenshin, serta sikap konyol sahabatnya, Kaoru dan Sagara Sanosuke. Tapi
saya justru menyukai pilihan sutradara untuk membagi film menjadi dua. Sebab
dalam kisah kartunnya, pertarungan melawan Makoto Shishio menjadi pertarungan
puncak setelah sebelumnya Kenshin mengalahkan banyak jagoan yang bekerja di
bawah kendali Shishio.
sosok-sosok yang muncul dalam film |
Beberapa hal yang saya kagumi pada
Kenshin. Pertama, pada titik tertentu, seorang berpengetahuan harus melebur di
tengah masyarakat. Pengetahuannya tak perlu menjadi benteng yang membuat
dirinya merasa hebat dan eksklusif. Seorang hebat adalah seseornag yang bisa
bermain-main dengan siapapun, menjadi sasaran olok-olok dari anak kecil, serta
menjadi warga biasa.
Kedua, seseorang hebat harus meletakkan
kecintaan pada rakyat biasa sebagai sumbu utama kehidupannya. Ia harus
menjadikan pengetahuannya sebagai setitik api yang bisa mengatasi kegelapan. Ia
hadir membawa kebaikan, menghadirkan terang bagi rakyat kebanyakan, serta menjadi
air yang menyuburkan lahan kehidupan. Seorang berpengetahuan harus memberikan
harapan, sesuatu yang menjadikan seseorang hidup dengan lebih bersemangat,
serta menemukan visi terang melihat masa depan.
Mungkin inilah tanggung jawab mereka yang
berpengetahuan. Di masa modern, para samurai tak perlu membawa pedang.
Barangkali mereka akan membawa pengetahuan sebagai senjata paling hebat. Mereka
belajar sampai pada level tertinggi, lalu membumikan pengetahuannya sebagaimana
kata Paolo Freire, education as a
powerful weapon. Itulah para samurai di jaman kini.
Bogor, 14 Desember 2014
BACA JUGA:
0 komentar:
Posting Komentar