Di suatu panas yang terik, anak muda itu menemui saya di satu kafe. Dia seorang penulis. Namun dia masih mencari cara bagaimana menjadikan kegiatan itu menghasilkan. Dia mengajukan pertanyaan yang membuat saya terdiam.
“Mengapa Abang tidak pasang iklan di blog? Mengapa mau saja menulis gratisan, tanpa dibayar? Apakah menulis blog bisa menghasilkan?”
Saya menjawab singkat. Jika ingin jadi meraup dollar di internet, maka gunakan rumus dari Google. Gratiskan semua layanan.
Dia tak puas. Dia bertanya lagi, duitnya dari mana? Dia semakin penasaran.
Anak muda itu mewakili pandangan banyak orang yang melihat semua kegiatan harus menghasilkan. Tanpa duit, maka semua upaya dianggap sia-sia. Padahal di era internet, semua aktivitas digital mengarah ke gratis.
BACA: Dari Big Data, Artificial Intelligence, dan Kediktatoran Digital
Google adalah salah satu perusahaan yang memulai revolusi itu. Semua aktivitas di Google, mulai dari jasa email, search engine, google photo, cloud server, hingga google drive sengaja digratiskan. Hebatnya, meski menggratiskan layanan, Google menjadi salah satu perusahaan paling kaya di dunia.
Gratis menjadi mantra yang dipakai semua aktivitas digital. Inilah eranya Free-Economy (ekonomi gratisan). Di Youtube, kita bisa melihat banyak akademisi, peneliti, artis, hingga pesulap yang berbagi konten secara gratis.
Lihat saja Facebook, yang penggunanya hingga miliaran di seluruh dunia, namun menggratiskan layanannya, termasuk WhatsApp dan Instagram. Kita nyaman ber-facebook karena tidak perlu bayar. Selagi ada sinyal, maka kita bisa beraktivitas.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar kalimat: “There ain't no such thing as a free lunch.” Sering disingkat jadi “No Free Lunch.” Istilah itu pertama kali muncul di bar-bar New Orleans, Amerika Serikat, pada tahun 1872. Istilah ini juga pouler di San Francisco pada era gold rush.
Makan siang gratis menjadi strategi agar orang-orang memenuhi bar, lalu memesan makan siang gratis, kemudian ikut memesan minuman. Pihak bar mendapatkan untung dari harga minuman. Memang benar, tidak ada yang gratis sebab ada subsidi silang di situ.
BACA: Sepuluh Alasan untuk Menulis Blog
Hal yang sama berlaku di era kekinian. Dalam buku Free: The Future of A Radical Price, yang ditulis Chris Anderson, terdapat penjelasan rinci dari mana Google, Facebook, Wikipedia, dan semua start-up teknologi mendapatkan uang. Prinsipnya adalah raup keuntungan jutaan dolar dengan memberikan gratis kepada konsumen.
Menurut Chris Anderson, pendapatan tidak harus diperolah langsung dalam sebuah transaksi. Pendapatan bisa didapatkan dari jalur tak langsung yang justru mendapatkan keuntungan berlimpah.
Strategi Google adalah distribusi maksimum. Semua layanan digratiskan agar penggunaannya kian meluas.
Semakin banyak pengguna Google dan juga Facebook, maka dua perusahaan itu akan semakin diuntungkan. Sebab semua tindakan kita di internet akan direkam dengan baik menjadi big data. Dengan kata lain, Google dan Facebook butuh asupan informasi dari pihak lain untuk diindeks, diorganisir, dan dikemas untuk menjadi uang.
Ketika pengguna internet semakin meluas, lalu ada ketergantungan pada Google, mulailah pelan-pelan ada yang berbayar.
Dalam dunia digital, ada istilah Freemium. Maksudnya, layanan digratiskan. Tapi jika ingin lebih maka konsumen harus siap membayar. Saya ingat sewaktu lagi suka-sukanya bermain game Mortal Kombat. Saking seringnya kalah karena senjata terbatas, saya tidak sadar telah menggesek kartu kredit untuk membeli senjata di permainan itu. Tujuannya agar bisa menang. Saya masuk dalam jebakan pembuat game agar mereka semakin kaya.
Saya juga punya pengalaman bertransaksi rutin di Google. Dulu, saya pengguna email gratisan dari Google. Saya juga menyimpan semua file di Google Cloud. Saya tak perlu khawatir kalau computer rusak atau bepergian dan tidak bawa laptop. Semua file tersimpan rapi di awan (cloud).
Belakangan, saya merasa kapasitas penyimpanan semakin tidak cukup. Sebab kapasitas Cloud yang gratis hanya 15 GB. Saya pun membayar 30 dollar per tahun untuk membayar cloud dengan kapasitas 100 GB. Saya juga masih membayar 10 dollar per bulan untuk domain di blogger.
Kata Chris Anderson, ada 5 persen dari semua pengguna Google yang seperti saya, yang membayar rutin untuk membayar semua layanan. Saat semua orang punya ketergantungan pada Google untuk mencari informasi, pelan-pelan Google menerapkan bayaran bagi penyedia informasi untuk bisa tampil di halaman depan.
Melalui Google Adwords, perusahaan itu menjadi biro iklan raksasa terbesar di dunia. Seluruh dunia butuh bantuan Google untuk menyebarkan konten. Perlahan, Google meraup untung dari hanya lima persen pengguna internet. Itu cukup untuk menjadikan Google sebagai salah satu perusahaan terkaya.
***
Saya menatap anak muda di hadapan saya. Mengikuti strategi Google, saya memintanya untuk sebanyak mungkin berbagi informasi di media sosial. Saya berikan contoh bagaimana akademisi, pesohor, para profesor kelas dunia berbagi konten secara gratis di platform media sosial.
Mereka ingin memperkuat personal branding sehingga bisa mendapatkan manfaat lain di luar dari aktivitas digital yang gratisan.
BACA: Jadi Penulis Makmur di Era Digital
Tulis sebanyak mungkin dan sebagus mungkin, kemudian sebarkan secara gratis melalui media sosial. Buat tulisan itu viral sehingga menyebar sampai titik terjauh. Semakin jauh tulisan itu menyebar, maka semakin populer dirinya, sehingga menjadi top of mind di pikiran banyak orang. Jadikan web atau blog sebagai etalase agar orang melihat kapasitas dan kemampuan.
Saat branding itu kuat, tanpa promosi sekalipun, orang akan membutuhkan jasanya terkait pekerjaan tulis-menulis. Orang akan menghubungi, tanpa perlu bertanya apa seseorang bisa mengerjakannya.
Google memberikan pelajaran betapa pentingnya menggunakan dunia maya untuk mendapatkan keuntungan berlimpah. Bahwa follower aktif harus dikelola dengan baik sehingga menjadi potensi ekonomi yang bisa digerakkan.
Tak perlu alergi dengan gratisan. Lihat grup musik Radiohead yang menggratiskan semua lagunya di internet. Dampaknya adalah semua tiket konsernya selalu habis terjual, merchandise makin laris, undangan konser terus berdatangan. Sponsor terus antre. Media pun rajin meliput kegiatan mereka.
Tengok pula media-media online yang menggratiskan semua layanan. Dua hal yang dikejar oleh media online yakni lalu lintas kunjungan atau julah visitors, dan interaksi. Semua media online mengincar skor Alexa, kepunyaan Google, agar mempengaruhi lobi pada pengiklan. Malah, media itu memasang Google Adsense agar meraup pendapatan dari Google.
Kita sedang berada di era Free-Economy, saat semua selebriti, pengamat sosial, hingga akademisi membuka kanal Youtube dan membuat konten gratisan. Bahkan semua politisi membuka kanal medsos untuk membagikan semua kegiatan dan pemikirannya. Semuanya gratis.
Namun benarkah gratis? Kata Chris Anderson, tak ada yang benar-benar gratis. Orang-orang mengeluarkan biaya untuk internet. Saat singgah ke satu blog, jumlah visitor bisa dimonetasi atau diuangkan, serta bisa berdampak pada kian tingginya digital currency dari pemilik blog. Uangnya memang tidak terlihat, tapi ada pengaruh yang bisa dikelola dan kelak akan menjadi sumber penghasilan.
BACA: Tujuh Kiat Konten Serius Jadi Viral
Tak semua menanti kucuran dollar dari Youtube. Jauh lebih banyak yang mengincar pendapatan dari semakin kuatnya personal branding berkat gagasan yang dibagikan.
“Terus, apa Abang sudah bisa mendapatkan manfaat dari layanan gratis itu?”
Saya tersenyum.
12 komentar:
Senyum membawa berkah, semoga kami juga bisa ikuti jejak ta kanda. Aamiin ��
Keren si Abang penulis,...mogabterus eksis dan akan bnyak anak bangsa yang akan terinfeksi virus menulisnya bang Yus...
Selalu keren tulisan ta kak. Berkah selalu ilmu-ilmu nya kak. 😊
Tulisan yang sangat bermanfaat Pak🙏
Keren bang..
Tulisan gratis yang sangat bernilai. Terima kasih bnag sudha berbgai gratis.
keren betul kak
Sungguh, mencerahkan. Saya kini kian mengerti. Siap terapin ke blog ane.. Tks bang.
Banyak ilmu yg didapat secara gratis dari tulisan2 kita kanda... Semoga sehat selalu
Terimakasih kakak.
Senyumnya abangku yang ganteng ini juga bagian dari personal branding..😊😊😊👍👍👍
Hal inilah yang sering tidak disadari oleh sebagian besar orang.
1. Tidak mau bekerja jika tidak langsung menghasilkan.
2. Mau kerja asal ada jaminan akan menghasilkan.
Tidak ada yang salah, tapi karena 2 hal tersebut banyak yang menghabiskan waktunya untuk menunggu. Padahal waktu kita sangat terbatas.
Saya sangat berharap tulisan ini banyak dishare dan dibaca, khususnya yang masih sekolah :)
Izin share 🙏🙏
CC Blogger Luwu Utara (Anaktoraja.com)
Posting Komentar