Parende Kepala Ikan


Ibu itu menyilakan saya duduk. Di warung berdinding bambu di Pasar Wameo, Baubau, dia menghidangkan sepiring ikan parende kepala ikan. Saya melihat kuah panas dengan asap membumbung. Aroma rempah-rempah tercium. Ludah saya serupa minyak panas yang mendesis di kuali dan siap menelan ikan.

Yang saya nikmati di Kota Baubau adalah berbagai olahan kuliner seafood yang rasanya orisinal, tak bisa ditemukan di tempat lain. Ada khazanah kekayaan budaya dalam mengemas rasa yang unik di semua daerah.

Saya ingat dua aktivis NGO di Jakarta yang pernah ke Baubau dan mendiskusikan parende, sejenis sop ikan yang khas. Mereka pernah mencicipi parende, dan menemukan semacam kode rasa unik yang melekat di lidah. Kata mereka, nikmatnya tidak bisa ditemukan di daerah lain.

Mereka pernah meminta resep parende itu lalu meraciknya sendiri. Tapi tetap saja rasanya tidak sama. Seorang di antaranya berpendapat, perbedaan rasa itu ada pada jenis bahan yang digunakan. “Di Buton, parende diolah dengan belimbing yang rasanya berbeda. Di Jakarta, tak ada yang menjual belimbing itu,” katanya.

Belimbing yang dimaksud adalah belimbing wuluh atau belimbing hijau. Di Buton, sering disebut tangkurera. Semasa kecil, belimbing itu tumbuh liar di perkampungan. Semasa kanak-kanak, saya suka memetik belimbing itu lalu mengunyahnya. Rasanya masam. Sangat masam. Kok dulu saya bisa suka yaa? 

Seorang kawan di kampus IPB bercerita, satu bibit tanaman bisa menghasilkan rasa berbeda jika ditanam di dua lokasi berbeda. Ada pengaruh jenis tanah, curah hujan, serta unsur-unsur hara. 

Saya ingat dulu Istri mengirimkan bibit ubi cilembu di Bogor untuk ditanam di kampung halamannya di Bone, Sulsel. Ketika dipanen, rasanya beda. Ternyata ubi cilembu akan mengeluarkan semua rasa manisnya saat ditanam di Jawa Barat. Di titik ini, saya bisa paham mengapa rasa parende di Buton berbeda dengan parende yang diolah di tempat lain. 

Kuliner memang terkait budaya. Sejauh-jauhnya saya berkelana hingga ke negara-negara lain, mencicipi berbagai menu di resto modern, selera saya tetap selera kampung. Entah kenapa, saya tidak bisa menemukan di mana nikmatnya makanan seperti Spageti, hamburger, dan pizza. Demikian pula saat mencoba beberapa kuliner Asia, tetap saja lidah saya sulit mengenali di mana nikmatnya.

Ada semacam algoritma di lidah yang hanya mengenali menu-menu tertentu yang karib sejak saya mulai mengenal rasa. Sebab rasa nikmat terkait budaya, pengalaman personal, dan petualangan, yang kemudian membentuk genangan konsep-konsep dalam pikiran kita.

Saat berkunjung ke banyak kota di tanah air, saya selalu mencari keunikan rasa dalam kuliner lokal. Di Ambon dan Kupang, saya terkenang rasa pada olahan tuna yang khas. Saat ke Manado, saya menyukai ikan rica-rica yang pedasnya bisa membuat kita lupa kalau di sekeliling kita ada banyak gadis manis berseliweran.

Demikian pula dengan kuliner parende di Baubau. Biasanya,  ketika menemukan kuliner enak, saya tidak langsung menghabiskannya. Saya makan dengan pelan-pelan. Saya nikmati setiap sendok makanan itu. Kadang saya menggelengkan kepala sembari berharap agar rasa nikmat itu menyebar. Kata temanku, kuliner ternikmat adalah kuliner yang bikin kita lupa sama semua utang. Hah?

Entah kenapa, kuliner lokal akan terasa nikmatnya saat dimakan di warung kaki lima, saat dimakan dengan tangan yang langsung menyentuh nasi dan ikan, saat ada hembusan angin sepoi-sepoi, saat satu kaki diangkat ke kursi, saat mata memandang lautan lepas, saat telinga mendengar suara nelayan yang perahunya sandar di pesisir lalu para pedagang kecil merubungi baskom besar berisi ikan.

Semuanya menjadi unsur-unsur yang menambah nikmatnya kuliner. Saya ingat pernah menulis tentang kopi ternikmat. Bukan di kafe-kafe mahal. Tapi kopi yang disajikan petani kopi di tengah kebun kopi, saat lelah menyergap tubuh.

Sehari setelah pulang dari warung parende, ibu saya menyajikan ikan itu di rumah. Saat mencicipinya, barulah saya tahu dari mana semua konsep nikmat itu muncul. Ternyata, kuliner ternikmat adalah kuliner yang dibuat oleh ibu sendiri, kuliner yang disuapkan ibu pertama kali sembari meyakinkan anaknya kalau itu nikmat, kuliner yang  rasanya terpatri dan mmbekas, serta membayangi seseorang ke mana pun dia menjelajah.

Jauh-jauh saya berkelana, lidah saya hanya mengenali satu kuliner ternikmat, yakni yang dibuat oleh ibu sendiri. Di situ ada memori, nostalgia, dan selaksa kisah-kisah. Di situ ada algoritma rasa yang terbentuk lalu menjadi tempat kembali seorang anak yang bisa menjelajah ke mana pun, namun suatu saat akan kembali ke kampung demi mendapatkan rasa nostalgik itu.

Saya ingat puisi dari penyair Zawawi Imron: “Ibu ke manapun aku bergerak, matamu yang akan jadi tempat kembaliku.” Di sini, saya ingin mengubah liriknya” “Ibu kemanapun lidahku bertualang rasa, sentuhanmu yang akan selalu menjadi tempat terbaik dan ternikmat.”


0 komentar:

Posting Komentar