ilustrasi |
TAHUN 2016 akhirnya berlalu. Di tahun itu,
hari-hari saya lebih banyak dihabiskan di Bogor. Kalau saya bandingkan dengan
tahun sebelumnya, saya lebih banyak membeli dan membaca buku. Bedanya, tahun
ini saya tidak banyak membaca sastra dan novel. Mungkin minat saya memang
berubah-ubah.
Dibandingkan tahun lalu, saya lebih banyak
membeli buku secara online. Belakangan ini, toko buku, khususnya Gramedia,
sangat mengecewakan saya. Saya agak kecewa saat datang ke toko buku dan menyaksikan
buku-buku yang itu-itu saja. Toko buku hanya menjual buku yang diperkirakan laku di
pasaran. Mereka tak banyak memberi ruang bagi karya-karya akademik bermutu yang
dibuat dengan serius.
Yang terasa buat saya adalah buku-buku
bertema keislaman. Membandingkan koleksi toko buku hari ini dengan koleksi di
tahun-tahun lalu sungguh terasa bedanya. Di tahun 1980-an dan 1990-an,
toko-toko buku memajang buku-buku yang ditulis para cendekiawan, mulai
Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Amien Rais, Azyumardi Azra, Jalaluddin
Rakhmat, Abdul Munir Mulkhan, Muslim Abdurrahman Kuntowijoyo, Quraish Shihab, Dawam Rahardjo, Harun Nasution, Syafi’i
Maarif, Emha Ainun Madjid, Amin Abdullah, dan banyak pemikir lain. Pembahasan
mereka sungguh kaya perspektif dan membuka wawasan.
Hari ini, toko buku malah memajang karya-karya
dari mereka yang tak punya latar belakang pengkaji Islam yang serius. Karya
yang dipajang adalah karya mereka yang basic-nya adalah ustad ganteng,
pebisnis MLM yang berlabel Muslim, ataupun seorang para seleb media sosial yang
suka memosting tema-tema keagamaan. Bukan berarti buku mereka tak bagus. Saya
beranggapan bahwa buku serius yang ditulis dari riset selama bertahun-tahun
punya kualitas lebih di banding buku yang ditulis hanya untuk merespon pasar.
Koleksi paling memprihatinkan di toko buku
adalah koleksi ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan sejarah. Di beberapa toko buku
yang saya saksikan, koleksinya nyaris tak bertambah. Koleksinya itu-itu saja.
Dugaan saya, toko buku sengaja tidak mau memperbanyak koleksi dari latar ilmu
sosial sebab dianggap kurang laku di pasaran. Seorang teman dari penerbit
pernah berkisah bahwa buku-bukunya dilarang masuk toko buku sebab dianggap
kurang komersial. Terpaksa, ia menempuh penjualan melalui jalur online.
Beruntunglah ada penjualan online. Dengan
gampangnya saya memesan berbagai buku yang tak lagi ditemukan di toko buku. Dua
bulan silam, saya memesan buku Weapon of the Weak karya James Scott dari
seorang kawan di Yogyakarta. Saya juga bisa membaca lagi buku Language
and Power yang ditulis Benedict Anderson. Saya akhirnya menemukan cara untuk
membeli berbagai buku lawas, yang sudah tak mungkin lagi ditemukan di toko buku.
Hari ini, saya kembali memerhatikan rak
buku di rumah saya. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, saya ingin menuliskan
beberapa buku yang saya sukai sepanjang tahun 2016. Beberapa di antaranya
adalah buku bertema ilmu sosial, tapi ada juga beberapa buku populer yang saya
sukai. Berikut buku-buku tersebut:
Tindakan-tindakan Kecil Perlawanan (Steve Crawshaw dan John Jackson)
Inilah salah satu buku paling menggugah di
tahun 2016. Buku ini menjelaskan bahwa di balik setiap revolusi ataupun
perubahan sosial, selalu terdapat kisah-kisah tentang manusia-manusia yang
gelisah, lalu berikhtiar untuk melakukan sesuatu. Di balik cerita tentang
perubahan besar, selalu ada cerita tentang tindakan-tindakan kecil yang memicu
perubahan tersebut. Pemicunya tak selalu para pahlawan, prajurit hebat, ataupun
manusia dengan trah separuh dewa yang jatuh dari langit. Pemicunya adalah
orang-orang biasa yang melakukan tindakan-tindakan kecil, yang lalu menggugah
publik. Siapa sangka, revolusi bisa dipicu melalui hal-hal kecil, yang
dilakukan para jelata.
Membaca buku bagus ini membuat mata saya
lebih jernih dalam melihat banyak hal. Batin saya beberapa kali tersentuh
membaca 15 kisah perubahan sosial, yang kesemuanya dimulai dari
tindakan-tindakan kecil. Saya mengamini kalimat di awal buku: “Seseorang yang
berjiwa bebas, dengan segenap ingatan dan juga ketakutannya, adalah sebatang
tetumbuhan air yang rantingnya membelokkan arah deras arus sungai.” Kutipan
lain yang juga menyentuh saya adalah kutipan dari Bertolt Brecht. “Kata anak
lelaki itu, ia belajar tentang bagaimana air yang lembut menitik, selama sekian
tahun akan melubangi batu yang keras sekalipun. Dengan kata lain, kekerasan akan
kalah juga akhirnya.”
Buku ini bisa menjadi pegangan bagi semua
praktisi gerakan sosial. Di dalamnya kita tak menemukan satupun teori yang
berat-berat, melainkan kisah-kisah inspirasi yang mengisahkan tentang banyaknya
perubahan yang justru dimulai dari hal-hal sederhana.
Networks of Outrage and Hope (Manuel Castells)
Selama tahun 2016, saya membaca tiga buku
yang ditulis Manuel Castells, akademisi ilmu sosial yang menempati urutan
ketiga paling banyak dikutip dalam jurnal ilmiah sepanjang tahun 2000-2010, setelah
Anthony Giddens dan Robert Putnam. Selain buku Networks of Outrage and Hope, buku
lainnya yang saya baca adalah Communication Power (2009) dan The Rise of the
Network Society (2009).
Buku Castells membuka wawasan baru dan
memberikan jawaban seperti apa perkembangan lanskap dunia di era digital.
Buku-bukunya menawarkan optimisme bahwa di era digital, setiap orang bisa
memicu revolusi dengan cara meramaikan media sosial dengan postingan tertentu
yang menyentuh hati banyak orang. Konsep yang dipaparkan Castells seperti
pengaruh jejaring sosial, mass-self communication, dan bagaimana jejaring kuasa
di era ini sangat membantu untuk memahami dinamika masyarakat kekinian. Seusai
membaca bukunya, saya mengucapkan sayonara pada konsep komunikasi massa dan
pengaruh media, lalu mengamini pandangan bahwa dunia terus berubah berkat
sejumlah individu yang punya kekuatan pengubah di era digital.
Perlawanan Politik dan Puitik: Petani Tembakau di Temanggung (Mohamad Sobary)
Saya menobatkan buku ini sebagai salah satu buku ilmu sosial paling bagus di tahun 2016 ini. Bukan saja isinya menyajikan satu keping realitas yang selama ini terabaikan, tapi juga ditulis berdasarkan riset dan observasi yang kuat terhadap para petani di Temanggung. Penulisnya, Mohamad Sobary, menyajikan satu narasi yang memikat sekaligus memilukan tentang para petani. Akan tetapi, para petani itu tidak lantas dikoyak-koyak waktu. Mereka bangkit melawan dan menggunakan semua instrumen yang mereka miliki.
Buku ini digali dari disertasinya yang dibuat saat usianya sudah mencapai 60 tahun. Dugaan saya, ia mendedikasikan buku ini sebagai karya akademik yang menjadi puncak pencapaian lelaki yang lama menjadi peneliti LIPI, lalu menjadi Direktur LKBN Antara. Makanya, buku ini tak saja menyajikan sesuatu yang menggugah nalar, juga menghadirkan sikap kritis dan pembelaan terhadap nasib para petani. Buku ini juga menyajikan suara-suara lirih para petani yang tengah digempur oleh kebijakan pemerintah. Tak hanya itu, buku ini juga menyajikan kekayaan khasanah budaya masyarakat pegunungan di Jawa, yang selama beberapa generasi telah menanam tembakau.
In Search of Middle Indonesia: Kelas Menengah di Kota-Kota Menengah
(editor: Gerry Van Klinken dan Ward Berenschot)
Saya membaca buku ini saat meninjau proyek
pembangkit listrik di tengah hutan Bangkanai di Muara Teweh, Kalimantan Tengah.
Buku ini dibuat dengan sangat serius. Bermula dari satu workshop di Universitas
Gadjah Mada, selanjutnya ada training tentang riset dan kepenulisan, lalu para
peneliti diundang untuk berdiskusi di Leiden. Setelah itu mereka disebar ke
banyak daerah untuk melakukan riset, menulis jurnal ilmiah, lalu
dipresentasikan dalam satu konferensi.
Buku ini memuat tuisan dari 17 peneliti
dan lima doktor mengenai kelas menengah di Indonesia. Saya menyenangi tulisan
Van Klinken berjudul Demokrasi, Pasar, dan Kelas Menengah yang Asertif.
Pemetaan teoritisnya sangat membantu. Tulisan lain yang paling saya sukai
adalah tulisan Cornelis Lay berjudul Tumbuh Besar di Kupang. Tulisan Cornelis
Lay ini adalah auto-ethnography yang mengenang ulang semua pengalamannya saat tumbuh
dan besar di Kupang. Melalui ingatannya, dia bisa menjelaskan bagaimana satu
kota tumbuh dan berkembang, serta dinamika yag terjadi di dalamnya.
The Geography of Faith (Eric Weiner)
Selama tahun 2016, saya menggemari
buku-buku yang ditulis Eric Weiner. Di mata saya, dia bukan saja sebagai pejalan
(traveler). Dia juga seorang filosof yang membagikan renungan-renungan
filosofinya di sepanjang jalan. Dia memulai perjalanan dengan satu tujuan yakni
menemukan jawaban atas beberapa pertanyaan yang mengganggu kemapanan
berpikirnya. Dalam buku The Geography of Bliss, ia mencari jawabab apa saja
konsep dan pemahaman manusia mengenai kebahagiaan. Ia berkeliling, mulai dari
Belanda hingga Bhutan. Dalam buku The Geography of Genius, ia mencari jawabab
mengapa orang-orang jenius banyak tumbuh di satu kawasan, sedang di kawasan
lainnya malah tidak ada yang tumbuh.
tiga buku Eric Weiner |
Dalam buku The Geography of Faith, ia
berkeliling beberapa negara untuk menemukan bagaimana konsepsi mengenai Tuhan
dari berbagai keyakinan. Ia bersahabat dengan satu penganut keyakinan,
mengikuti ritual, menjalani beberapa meditasi, lalu menuliskan perjalanannya
tersebut. Tulisannya menarik sebab ia menuliskan pengalaman dan apa yang
dirasakannya. Dari tiga buku Eric Weiner, yang paling
saya sukai adalah The Geography of Genius. Sangat keren.
Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950 (Gert Oostindie)
Saya membeli buku ini di bulan Desember
tahun 2016. Saya tertarik karena buku ini menyajikan sesuatu yang berbeda dari
versi sejarah resmi pemerintah. Selama ini kita dijejali pandangan hitam putih
tentang revolusi Indonesia. Kita dipaksa untuk percaya bahwa Belanda selalu
jahat, sedangkan pejuang Indonesia selalu baik. Padahal, kenyataan tidaklah
sesederhana itu. Dalam satu perang, terdapat banyak dinamika manusia yang justru
tak bisa disederhanakan hanya dnega dua kategori.
Buku terbitan Yayasan Obor ini menungkap
sejarah dari sisi para prajurit Belanda yang dikirim untuk bertempur. Mereka
menulis surat, buku harian,buku kenangan, dan memoar yang isinya mendiskusikan
banyak hal. Temanya mengejutkan, mulai dari ketegangan menjalani misi Belanda
dan realitas yang dtemukan, sikap mengerti atau tidak mengerti atas pejuangan
orang Indonesia, perasaan asing di tanah yang jauh dari Belanda, rasa frustasi,
ketakutan, rasa dendam, hingga kebosanan dan seks.
Yang saya senangi adalah catatan
harian Westerling, yang dicatat dalam sejarah Indonesia sebagai sosok yang
membunuh 40.000 jiwa masyarakat Sulawesi. Dalam catatan itu, Westerling
mengungkap banyak hal yang berbeda dengan versi sejarah resmi.
Hidup di Luar Tempurung (Benedict Anderson)
DI balik setiap buku-buku hebat yang dihasilkan peneliti hebat, terdapat kisah-kisah bagaimana peneliti itu mencipta gagasan, lalu menuliskannya dalam satu setting sejarah tertentu. Sungguh mengasyikkan bisa menyaksikan perguatan seorang peneliti, ilmuwan, serta Indonesianis hebat bernama Benedict Anderson dalam buku berjudul Hidup di Luar Tempurung, terjemahan dari buku A Life Beyond Boundaries.
Buku ini berisikan kisah-kisah yang tak pernah terungkap dalam karya-karya hebat Anderson, mulai dari Java in a Time of Revolution, Imagined Communities, serta bukunya yang paling saya sukai yakni Language and Power. Saya menemukan sosok Anderson yang paling intim di buku ini. Bukan saja Anderson yang memahami politik melalui lensa budaya, lalu menarasikannya dengan sangat memikat. Tapi Anderson sebagai seorang manusia biasa yang mengalami banyak hal, kemudian menjadi renungan filosofis, yang lalu bertebaran di banyak karya akademiknya.
Penciptaan Sejarah Makassar (William Cummings)
Buku yang judul aslinya Making Blood
White: Historical Transformation in Early Modern Makassar menjadi salah satu
buku bagus yang membahas mengenai kaitan antara literasi dan sejarah. Literasi
dicatat sebagai kekuatan yang mengubah Makassar menjadi salah satu wilayah yang
paling cemerlang di Nusantara pada awal periode modern di abad ke-16. Siapa
sangka, literasi memiliki peran vital sebagai faktor pembentuk sejarah, menjadi
alat legitimasi kekuasaan, melahirkan hierarki baru tentang bangsawan dan
rakyat biasa. Sejarah, sistem pelapisan tradisional, serta distribusi kekuasaan
ditentukan berdasarkan catatan tertulis yang selalu sarat dengan kuasa.
Buku ini sungguh jeli dalam melihat bahwa
apa yang kita sebut sejarah selalu diciptakan oleh kelas tertentu melalui kata.
Tak hanya itu, kekuasaan pun bisa didefinisikan melalui kata. Berbeda
dengan para sarjana lain yang fokus pada arsip kolonial, Cummings dengan berani
mengisahkan ulang sejarah Makassar melalui berbagai sumber yang dibuat orang
Makassar sendiri. Ia menjelaskan pandangan warga setempat (indigenous)
ketimbang pandangan kolonial. Ia fokus pada bagaimana sejarah diciptakan, bukan
pada bagaimana sejarah dirangkai melalui peristiwa.
Menyingkap Realitas Lapangan: Meta Fasilitasi Bagi Pekerja Pembangunan
Masyarakat (Nobuaki Wada dan Toyokazu Nakata)
Sejak Roem Topatimasang menulis buku Mengorganisir
Rakyat, saya lama tak menemukan buku yang berkisah tentang pengalaman
memfasiltasi perubahan. Memang, ada beberapa buku yang dibuat oleh akademisi.
Tapi jujur, buku-buku itu terlampau teoritik dan tidak banyak memberikan
mutiara berharga tentang menemukan teori berdasarkan refleksi atas pengalaman.
Saya lama mendengar nama dua penulis buku
ini, Nobuaki Wada dan Toyokazu Nakata. Seorang kawan yang pernah mengikuti
pelatihan fasilitasi yang diadakan JICA kerap bercerita tentang pengalaman
berharga saat difasilitasi oleh para penulis buku ini. Sebelum memfasilitasi,
penting bagi seseorang memahami kondisi sosial budaya secara mendalam, dan
tidak terjebak dengan cara berpikir ala sinterklas.
Buku ini kian menarik karena bercerita
pengalaman berinteraksi dengan masyarakat di beberapa desa di beberapa negara,
termasuk Indonesia. Sebagaimana halnya pengalaman memfasilitasi, buku ini tak
hendak menggurui, melainkan membuat pembaca tiba-tiba menyadari sesuatu melalui
kisah ataupun pengalaman penulisnya. Baru membaca bahagian awal, saya menemukan
banyak “wow” yang membuat saya yakin kalau buku ini amat tepat untuk dibaca
para fasilitator, pelaku perubahan, peneliti pedesaan, mereka yang sering
bertualang ke desa-desa, dan mereka ingin melakukan sesuatu bersama
masyarakatnya.
***
SAYA hanya mencatat beberapa buku yang
melintas di pikiran saya. Selain beberapa buku di atas, saya juga membaca
beberapa buku bagus yang terbitnya bukan pada tahun 2016. Di antaranya adalah
buku Indonesia Timur Tempo Doeloe yang
ditulis George Miller. Saya menyesal mengapa terlambat membaca buku bagus
itu.Buku lain yang sudah saya baca namun belum pernah diulas adalah buku karya
Rhenald Kasali, serta buku yang ditulis Sumanto Al Qurtuby.
Memang, kebanyakan buku-buku itu telah
diulas di blog ini. Upaya untuk mengulas buku bukanlah bertujuan untuk
menunjukkan sisi yang lemah dari setiap buku, melainkan upaya untuk selalu
belajar dan menyerap pengetahuan dari penulisnya. Dengan mengulasnya, saya
berusaha menemukan kekuatan dari setiap buku, lalu mengapresiasinya melalui
tulisan.
Banyak di antara catatan yang saya buat
mendapat apresiasi dari penerbitnya. Sering saya temukan tulisan saya itu
dimuat dalam website resmi dari penerbit, Malah, ada penerbit yang
berterimakasih lalu meminta alamat pribadi, dan selanjutnya mengirimkan saya
beberapa buku lainnya. Dengan cara itu, saya juga bisa meg-update buku-buku
bagus yang baru terbit.
Di tahun 2017, saya tak punya banyak
harapan, selain dari banyaknya buku bagus diterbitkan. Saya berharap iklim
perbukuan kembali semarak. Sebagai pencinta buku, surga yang saya bayangkan adalah
surga yang dipenuhi buku-buku bagus, yang selalu bergizi untuk dibaca dan
ditamatkan. Semoga saja tahun 2017 ini menjadi tahun surga bagi para penggemar
buku. Semoga.
Bogor, 3 Januari 2016
BACA JUGA:
0 komentar:
Posting Komentar