Kisah Bocah Penyelam Koin



Serasa ada yang hilang di sini. Di Pelabuhan Murhum, Baubau. Dulu, setiap kali saya datang, selalu ada banyak anak-anak yang bermain di laut. Anak usia 10 tahun sudah berperahu, mendayung koli-koli dengan penuh ceria, lalu merapat ke dermaga. Kali ini, saya datang bukan pada saat yang tepat.

Dulu, jika ada yang melempar koin, mereka akan melompat dari koli-koli (sejenis kano atau perahu kecil) dan menyelam hingga ke dasar. Sejurus kemudian, mereka muncul di air sembari mengacungkan koin. Mereka menampilkan atraksi kelihaian menyelam selevel dewa, seolah-olah mereka bisa bernapas di air. 

Saya terkenang masa kecil. Pernah ada masa di mana saya berperahu, bermain di laut hingga azan magrib, lalu mencari kerang di malam hari. Betapa bebasnya masa-masa itu, di mana orang tua tak terlalu khawatir melihat anaknya bermain hingga bosan di lautan.

Di tahun 2000-an, media Jakarta melabel penyelam koin itu sebagai pengemis lautan. Jurnalisnya hanya melihat sekilas. Dia terjebak dgn bingkai orang kota yang malas untuk verifikasi dan mendalami setiap keping informasi. Dia tidak menyelami kehidupan anak-anak penyelam koin itu. Dia tidak tahu kalau orang tua anak itu adalah pemilik kapal, bahkan ada nakhoda yang bertualang ke timur.

Anak-anak itu sedang bergembira dan bersenang-senang. Mereka bermain-main di lautan, tanpa pernah takut dengan risiko tenggelam. Mereka melihat lautan sebagai semesta yang mengasih dan menyapih mereka. 

Saya ingat catatan Ligtvoet, orang Belanda yang datang ke Buton di tahun 1800. Dia bercerita tentang tradisi melaut yang sudah cukup lama. Orang Buton sejak lama menjadikan lautan sebagai kanvas yang kemudian dilukis dengan berbagai jejak dan penjelajahan. 

Seperti halnya  bangsa maritim lainnya, mereka meyakini kebenaran petuah bangsa Bajo bahwa lautan adalah suatu wilayah luas yang bisa disinggahi siapa saja. Bahwa di atas lautan, semua manusia berbaur menjadi satu dan saling belajar bagaimana menaklukkan ombak demi menjaga keseimbangan perahu dan tidak tenggelam. 

Lautan bukan sekedar air yang tenang dan bergelombang, namun arena untuk mengasah kecakapan dan tradisi maritim. Mereka mengembangkan layar kebudayaan sebagai strategi menghadapi semesta yang membentang. Inilah cikal-bakal dari tradisi maritim sebagai khazanah kekayaan bangsa.

Saya juga ingat Christian Pelras yang menyebut bangsa-bangsa pelaut di Nusantara yakni Bajo, Makassar, Mandar, Buton, dan Using (Madura). 

Sayang, hari ini, tidak semua orang Buton masih memelihara tradisi maritim. Kalaupun ada yang tersisa, kita bisa melihatnya di kalangan masyarakat Cia-Cia dan Wakatobi yang lelakinya mengembangkan layar dan menjelajah hingga Maluku Papua, kemudian mengikuti angin ke wilayah barat. 

Mereka meramaikan tradisi bahari sebagai pelaut, nakhoda, pedagang, bahkan ada yang memilih jalan sebagai bajak laut. Mereka berumah di tanah rantau, tetap memelihara tradisi maritim yang menautkannya dengan nenek moyang di tanah Buton. 

Mereka menjadikan lautan sebagai kanvas untuk dilukis dengan berbagai sapuan warna.

Saya mengenang para bocah penyelam koin ini. Mereka calon pelaut besar yang kelak akan menghadapi ganasnya gelombang samudera. Mereka adalah bahari yang mempertahankan tradisi emas para pelaut bangsa ini yang memahatkan jejak petualangan hingga ke negeri yang jauh seperti Australia, ataupun Singapura hingga ke Madagaskar. 

Mereka adalah calon nakhoda dan pelaut besar yang kelak hidup meniti buih dari atas perahu, menjaga warisan kearifan tradisi sebagai bangsa pelaut, sekaligus menggedor kesadaran banyak orang tentang betapa kayanya lautan negeri ini

.

Foto: Rustam Awat


0 komentar:

Posting Komentar