Catatan di Museum MULTATULI




Jika saja tak ada Multatuli, juga Kartini, maka tak akan lahir satu lapis generasi cendekiawan baru seperti Sukarno-Hatta yang kemudian punya imaji tentang satu negeri bernama Indonesia.

Kolonialisme muncul dari satu pemikiran yang menganggap diri lebih tinggi dan punya otoritas untuk menindas yang lain. Kolonialisme adalah anak kandung dari perasaan superior sehingga menganggap yang lain harus tunduk patuh. Selama sekian abad, penindasan dilestarikan dengan berbagai cara, termasuk lewat struktur feodalisme, juga praktik kekerasan.

Di masa itu, Multatuli adalah orang yang mempertanyakan kolonialisme, bukan dengan cara berperang, tapi menghantam langsung jantung dari bekerjanya kolonialisme yakni cara berpikir. Dia menggugat cara berpikir yang melahirkan banyak kebijakan dan praktik politik yang seolah baik, tapi justru melahirkan penindasan.

Berkat kata-kata dalam novel Max Havelaar, dia mengubah banyak hal. Pribumi mulai mendapatkan akses pada pendidikan, yang membuka cakrawala baru untuk melihat dunia. Pendidikan ibarat pijar cahaya yang memercik pada pikiran yang selama ini terkungkung. Pijar api itu menyulut hasrat untuk merdeka dan lepas dari bayang-bayang penindasan.

Pendidikan menyebabkan pergerakan lebih terorganisir. Generasi baru bermunculan. Mereka berjuang di jalur intelektual dan diplomasi. Muncul Tirto Adisuryo, Tjipto, Semaun, Tjokroaminoto, Ki Hajar Dewantara, hingga Sukarno dan Hatta.





Multatuli mengingatkan kita pada satu hal penting. Bahwa kemerdekaan bukanlah perkara kulit berwarna melawan kulit putih. Bukan juga pribumi melawan asing. Yang dilawan Multatuli bukan hanya pemerintah kolonial, tetapi juga para bupati dan bangsawan yang menindas sesama anak bangsa.

Bahwa kemerdekaan lahir dari pikiran yang ingin melihat semua orang setara dan sejajar, tanpa ada yang mengeksploitasi sesamanya. Kemerdekaan bukan dongeng hitam putih tentang kejahatan kulit putih pada kulit berwarna, tapi kisah penindasan dari satu kaum yang merasa lebih tinggi. Sebab kulit berwarna pun bisa menjadi penindas baru yang lebih kejam pada sesamanya.

Jauh setelah Multatuli, pengarang Pramoedya Ananta Toer melanjutkan warisan Multatuli. Dia mengangkat kisah tentang Minke, mahasiswa STOVIA, yang belajar humanisme pada orang Belanda, sehingga berani mengkritik feodalisme di budayanya sendiri.

Muara dari kemerdekaan adalah pikiran yang bebas, melihat manusia secara mulia tanpa penindasan, tanpa melihat asal-usul, tanpa melihat golongan. Kemerdekaan adalah hak segala bangsa.

Sayang, setelah merdeka, yang muncul adalah nasionalisme sempit. Kita mengenyahkan semua hal berbau asing di negeri ini. Padahal, ada banyak warisan pengetahuan, riset, dan akal budi yang telah membawa bangsa ini ke jalan kemerdekaan.

Jika hari ini bangsa kita kembali bertindak seperti penjajahnya, maka ada warisan yang dengan sengaja telah dihilangkan, atas nama pembangunan dan kekuasaan.



Di Museum Multatuli di Rangkasbitung, Lebak, saya mengenang banyak hal. Saya pun bernostalgia dengan mereka yang pikirannya disulut Multatuli. Mulai dari Kartini, Sukarno, Jose Rizal, Tan Malaka, hingga penyair WS Rendra.

Di mata saya, museum yang punya kembaran di Belanda ini adalah museum paling keren sebab menjadikan kata-kata sebagai muara dari perjuangan melawan kolonialisme. Kata-kata punya kemampuan untuk menggugah, menginspirasi, lalu menggerakkan.

Kata-kata punya kuasa magis untuk membuat satu bangsa punya arah dan tujuan ke mana hendak bergerak.



0 komentar:

Posting Komentar