Kita Bisa Buat Kisah IP Man




Pria itu mendatangi markas latihan marinir Amerika Serikat (AS). Dia memenuhi tantangan seorang petinggi marinir yang melecehkan kungfu dan orang Cina. Dia bertarung demi harga diri mereka yang telah dihina dan dipukuli. Dia adalah guru IP Man yang diperankan Donnie Yen.

Dalam kisah IP Man 4: The Finale, kita kembali menyaksikan bagaimana nasionalisme dikemas dalam satu kisah laga yang apik. Ini film yang keempat. Film-film sebelumnya, selalu bergerak dengan tema yang sama yakni nasionalisme bangsa Cina di arena adu perkelahian.

Film ini menampilkan Bruce Lee, murid IP Man yang telah sukses di Amerika. Bruce Lee mengundang gurunya datang ke San Francisco. Kebetulan, saat itu putra IP Man bermasalah di sekolah sehingga akan dipindahkan ke Amerika.

Ketika IP Man tiba di Amerika, dia malah diadili para guru kungfu dan pengurus Chinese Benevolent Association (CBA) yang memprotes tindakan Bruce Lee yang mengajar kungfu pada orang barat. IP Man membela muridnya sehingga dirinya kesulitan mendapatkan rekomendasi agar anaknya bisa sekolah.

San Francisco di masa itu adalah kota yang intoleran. Banyak orang tidak siap dengan perbedaan ras sehingga muncul kebencian berlebihan. Kungfu tumbuh bagaikan bunga di tengah lahan kritis yang tak siap melihat perbedaan.

BACA: Kisah IP Man, Saat Kungfu Cina Menantang Tinju Eropa

Masalah mulai muncul saat ada orang Amerika bertubuh kekar yang belajar karate, kemudian memandang rendah kungfu. Saat festival tahun baru Cina, dia datang bersama rekan-rekannya kemudian menantang semua guru kungfu setelah sebelumnya mengatakan pecundang.

Beberapa guru kungfu meladeni tantangan namun kalah telak. Dalam keputus-asaan saat pelecehan terus dilakukan jago karate itu, IP Man maju bertarung. Hanya dengan beberapa sentuhan, dia membuat jago karate itu terkapar dengan tulang rusuk patah.

Orang Amerika lainnya tidak terima kenyataan itu. Dia lalu menantang semua guru kungfu hingga terkapar. Adegan final adalah adegan ketika IP Man datang ke markas marinir, kemudian bertarung hingga ada yang terkapar.

Saya menyukai adegan laga yang menampilkan kecepatan tangan serta bela diri yang mematikan. Mata seakan tak berkedip saat melihat derasnya pukulan IP Man. Guru Bruce Lee ini sering terlihat lemah dan tak berdaya. Postur tubuhnya seperti orang kebanyakan. Tapi saat bertarung, dia bisa bergerak lincah dan menyentuh semua titik lemah di tubuh lawannya.

Dia tak perlu menghabiskan energi untuk memukul dan menendang sekeras mungkin. Cukup menyentuh satu titik, maka lawan akan tumbang. Dalam film IP Man 4, dia hanya perlu menyentuh satu titik di bawah leher lawannya untuk membuatnya terkapar dan tak berdaya.

Jika disuruh mengenang semua adegan laga dalam film IP Man, pertarungan terbaik yang melekat di benak saya adalah saat IP Man melawan Guru Hung (diperankan Sammo Hung) dalam film IP Man 2. Mereka bertarung di atas meja bundar yang selalu bergerak. Pertarungan itu menunjukkan kelas kependekaran mereka yang di atas rata-rata.

Sayangnya, cerita dalam film keempat ini terlampau mudah ditebak. Alurnya persis film kedua. Kisahnya tentang orang Cina yang dilecehkan orang barat di arena duel. IP Man hadir sebagai pahlawan untuk mengembalikan supremasi orang Cina. Dia ingin menegaskan bahwa mereka tidak boleh dilecehkan dan dipandang rendah.

IP Man digambarkan sebagai sosok yang tidak rela melihat harga diri orang Cina dilecehkan. Dia seorang nasionalis. Di lapangan bela diri, dia tidak mau mendengar ada yang melecehkan bangsanya. Dia siap bertarung demi menunjukkan supremasi siapa yang kuat.

Dalam film pertama, dia melawan seorang jenderal Jepang yang pandai karate. Dalam film kedua, dia melawan petarung Inggris yang telah membunuh guru kungfu. Dalam film ketiga, dia melawan Mike Tyson. Dalam film keempat, dia melawan marinir Amerika yang jago karate.

Namun, sebagai penonton, nasionalisme ini yang menjadi bumbu agar pertarungan menjadi epik. Kita berharap agar tokoh protagonis bisa menang telak sebab bisa mengembalikan marwah. Kita ikut berdebar dan deg-degan saat tokoh kita bertarung. Kita berharap dia menang, kalau perlu menang telak agar pandangan orang-orang berubah.

IP Man Rasa Indonesia

Sejujurnya, kita pun bisa membuat kisah serupa IP Man. Kita bisa menghadirkan seorang jagoan yang menegakkan supremasi silat kita saat berhadapan dengan bela diri bangsa asing. Di era 1980-an, kita pernah menyaksikan Jaka Sembung dan Si Jampang yang melawan kompeni. Jika kisah itu dikemas ulang dan diperkaya, pasti akan jauh lebih menarik.

Sejarah kita mencatat, Nusantara adalah wilayah yang hilir mudik bangsa asing berdatangan. Jika kita bisa mengolah satu cerita silat yang menarik, serta perbenturan dengan bangsa asing, nasionalisme ala IP Man itu bisa dihasilkan.

Kita punya banyak bahan baku sejarah yang seharusnya bisa diolah menjadi fiksi menarik untuk menampilkan bela diri silat. Di zaman Sriwijaya, para biksu dari Cina datang belajar ke Sumatra kemudian kembali ke negerinya. Mereka tak hanya belajar tentang Buddha, tetapi juga beragam keahlian bela diri untuk dibawa ke kampung halamannya.

Dalam serial Tutur Tinular pernah dibahas Pendekar Lou dan Mei Shin, dua sejoli pendekar yang datang bersama pasukan Mongol ke tanah Jawa.

Di zaman Majapahit, banyak kisah tentang pendekar yang kemudian mengembangkan berbagai jenis bela diri. Bahkan ilmu bela diri Kali Majapahit berkembang pesat di Filipina. Bela diri yang dulu diajarkan pada pasukan khusus Majapahit telah punah di Indonesia, tetapi berkembang pesat di Filipina.

Tiongkok juga punya banyak pertautan dengan kita. Di novel Sam Po Kong, karangan Remy Silado, terdapat cerita bagaimana armada Cheng Ho singgah di beberapa tempat di Nusantara. Sudah pasti, terjadi silaturahmi kebudayaan, termasuk melalui perjumpaan kungfu dan silat.

Bahkan terhadap Jepang pun kita punya banyak pertautan. Di masa Gubernur Jenderal JP Coen beberapa samurai didatangkan dari Jepang untuk bekerja di Batavia. Bahkan para samurai ini juga dibawa ke Banda, Maluku, kemudian ikut membantai warga di sana bersama pasukan VOC.

Imajinasi bisa berkembang dengan membuat kisah ala IP Man. Bisa saja kita menulis fiksi kalau enam samurai itu lalu menantang pendekar silat setempat, hingga kemudian datang seseorang yang mengalahkannya hanya dalam beberapa sentuhan.

Jika ingin buat setting film zaman perjuangan, banyak pula kisah yang bisa digali. Di antaranya adalah beberapa perkumpulan rahasia yang tumbuh pada masa itu.



Dalam buku Kuasa Jepang di Jawa yang ditulis sejarawan Aiko Kuroshawa, saya membaca cerita tentang perkumpulan rahasia Kipas Hitam yang anggotanya menyebar di Jawa. Dalam buku itu, Kipas Hitam disebut sebagai organisasi rahasia yang didirikan oleh Hitoshi Shimizu, pemimpin gerakan propaganda Jepang (sendenbu), dengan tujuan untuk membangkitkan spirit bangsa Asia demi menumbangkan Eropa.

Hitoshi Shimizu mendirikan beberapa perkumpulan rahasia yang di antaranya adalah; (1) Ular Hitam, berisi orang-orang Indo-Belanda bermarkas di Bogor; (2) Chin Pan, perkumpulan yang menampung orang-orang Tionghoa; (3) Kipas Hitam, yang dibentuk untuk mempersiapkan orang-orang Indonesia melakukan perang kemerdekaan di bawah bimbingan Jepang. Saat Shimizu ditangkap Belanda, Kipas Hitam lalu bersekongkol dengan sekutu untuk menghadang para pejuang kemerdekaan.

Saya hanya mengungkap sedikit kisah dari lautan kisah yang bisa dikembangkan di tanah air kita. Point saya adalah negeri kita tak pernah kekurangan bahan baku untuk meramu satu kisah nasionalisme ala IP Man yang menggelorakan semangat untuk melawan siapa pun yang merendahkan kita.

Kita hanya butuh satu penulis skenario yang kuat demi mengolah semua narasi sejarah itu menjadi kisah yang berbobot, serta berkelas sebagaimana IP Man.

Hari kita bangga karena silat mulai menjadi rujukan pusat perfilman Hollywood menyusun kesuksesan film The Raid. Kita berharap di tanah air kita muncul satu kisah silat yang menggelorakan semangat nasionalisme, punya jalinan cerita yang menarik, serta lebih bertenaga.

Kita bisa melakukannya. Why not?


0 komentar:

Posting Komentar