Sepenggal Kisah MESSIAH




Seorang kawan dari Papua merekomendasikan saya untuk nonton serial Messiah yang tayang di Netflix bulan Januari 2020 ini. Dia tahu kalau saya suka membaca atau menonton sesuatu yang terkait iman dan agama.

Saya pun menontonnya di satu situs online. Saya hanya butuh waktu dua hari untuk menuntaskan 10 episode di serial keren ini. Kisahnya memang bikin penasaran. Di kalangan penganut Islam dan Kristen, ada pandangan kalau kelak, Isa Almasih akan bangkit kembali ke bumi.

Nah, serial Messiah ini mengambil sudut pandang bagaimana jika Almasih memang hadir kembali di era 4.0 di mana fakta dan hoaks bercampur, konflik geopolitik terus terjadi, serta manusia lebih mencintai pekerjaan ketimbang iman.

Seorang pemuda Timur Tengah hadir di tengah konflik di perbatasan Palestina dan Israel. Dia hadir di tengah orang-orang yang mengalami derita karena perang. Pemuda ini punya kharisma sehingga menuntun orang-orang menuju perbatasan Israel. Dia pun ditangkap tentara Israel.

Pemuda yang bisa bercakap dalam bahasa Arab, Ibrani, dan Inggris ini pun diinterogasi seorang agen Israel. Dalam bahasa Ibrani, dia mengeluarkan kalimat yang tenang, tapi menusuk hati terdalam agen itu.

Di sisi lain, ada kamera yang memantau keberadaan pemuda itu di berbagai peristiwa besar. Mulai aksi ribuan orang Islam di Suriah yang menuju perbatasan Israel hingga demonstrasi di Ramallah, Palestina.

Seorang agen CIA mencurigai pemuda itu sebagai biang dari berbagai aksi terorisme. Dia terkejut karena pemuda itu yang tadinya berada di Israel, tiba-tiba berada di Texas, di dekat satu komunitas kecil yang di tengahnya ada gereja, serta ada pendeta yang mulai putus asa. Kehadirannya menguatkan iman pendeta itu, sehingga mereka lalu membuat konvoi menuju Washington DC.

Pemuda itu menunjukkan keajaiban dengan berjalan di atas air, kemudian bertemu Presiden Amerika Serikat. Dia meminta Presiden AS untuk menarik semua pasukan Amerika di seluruh dunia. Sebab dunia butuh perdamaian, bukan perang.

Saya menyenangi berbagai sudut pandang berbeda di film ini. Tadinya saya pikir ini kisah yang sarat dengan nilai Kristen. Ternyata tidak juga. Pemuda itu tidak pernah menunjukkan dirinya Kristen, Yahudi, dan Islam. Dia bercakap dalam tiga bahasa penganut agama itu, serta tidak pernah terlihat memimpin doa atau ritual.

Kisah ini serupa kisah detektif. Kita diajak untuk berpikir seperti agen CIA itu kalau pemuda itu adalah seorang penipu, yang memperdaya orang lain dengan kharismanya, kemudian mengarahkan pada teror.

Serial ini cerdas sebab menghadirkan begitu banyak suara. Kita diperkenlkan dengan banyak sudut pandang. Mulai dari agen Israel dan keluarganya, anak-anak remaja Palestina, hingga keluarga kecil pendeta di Amerika. Kita pun melihat sudut pandang agen Amerika yang begitu workaholic, sembari menutupi masalah keluarga dan stres karena urusan pribadi.

Kita juga tidak disodori fakta bahwa pemuda itu adalah memang Almasih, melainkan satu teka-teki atau puzzle mengenai bagaimana pemuda itu bisa mengambil sikap di tengah geopolitik dunia yang kian mencekam. Dalam satu episode, kita disodori fakta kalau dia orang Iran yang ingin mengubah tatanan dunia. Benarkah?

Pemuda ini tidak seperti superhero yang datang menyelamatkan. Dia tidak menawarkan mukjizat serupa simsalabim. Malah, mukjizat dirinya jalan di atas air dianggap trik atau ilusi ala David Copperfield.

Tapi, dia punya sisi lain, semacam kekuatan untuk membuat orang lain melihat dari sisi berbeda, membangkitkan kekuatan dalam diri, serta tidak bergantung pada sosok hero atau penyelamat.

Serial ini menjawab beberapa pertanyaan yang sudah lama muncul dalam diri saya yakni jika seorang Nabi muncul di abad ini, seperti apakah dia gerangan?

Tatanan sosial saat ini lebih kompleks dari abad pertengahan. Setiap tindakan selalu punya implikasi politik. Ini bukan zamannya lagi seorang nabi datang untuk menuntun “domba-domba yang tersesat.” Ini eranya media sosial, di mana semua kalimat dan ucapan bisa segera menjadi olok-olok yang diposting di Instagram.

Kita pun bergerak dalam teritori yang serba terbatas. Kita terpenjara dalam religi, batasan politik, hingga keyakinan. Kita tidak terbiasa untuk beyond border dan berdialog dalam suara-suara berbeda. Kita hanya melihat sesuatu dari sisi titik pijak kita, yang kita anggap sebagai kebenaran.

Dalam satu episode, ada dialog antara Almasih dengan agen CIA itu. Kata Almasih, manusia selalu menyembah apa pun. Ada yang menyembah intelektual, ada juga yang menyembah uang. Manusia selalu punya satu titik dan orientasi ke mana hendak bergerak. Pada setiap pilihan, selalu ada konsekuensi yang harus diterima.

Serial ini telah memicu kontroversi. Saya baca di satu media kalau pemerintah Yordania melarang serial ini di negaranya karena ada penggambaran tentang negara itu. Saya juga dengar banyak kalangan yang menyebut sosok dalam Messiah itu adalah dajjal. Malah ada yang bilang dia Anti-Kristus. Bagi saya, semua kontroversi itu membuat serial ini makin menarik. Ini kan cuma fiksi.

Tapi saya menikmati argumentasi dan kisah yang meliuk-liuk di sini. Semakin manusia menjadi modern, semakin mengalami gejala kekosongan. Saya ingat tuturan sosiolog Emile Durkheim yang menyebut gejala ini sebagai anomie, yakni keadaan yang kacau, tanpa aturan, serta hilangnya kendali moral.

Di titik tertentu, anomie membawa manusia pada banyak kasus bunuh diri dan gejala anarkisme.

Namun, apakah masih relevan kita bicara iman dan percaya di tengah zaman yang kian berlari tunggang-langgang ini?

Saya menantikan jawabannya di Messiah, Season 2. Semoga segera tayang.




1 komentar:

Hapudin mengatakan...

Saya sempat menonton episode 1 nya tetapi urung melanjutkan ke episode berikutnya karena space ceritanya rada lambat. Yah, ini sekadar pendapat pribadi. Mungkin saya lebih nyaman dengan serial yang ada adegan action-nya. Atau serial misteri yang space ceritanya rada kejar-kejaran.

Posting Komentar