Sepenggal Cerita dari Pinrang




“Luttuni... luttuni.” Sejumlah orang meneriakkan kata terbang dalam bahasa Bugis. Di Pantai Langnga, Pinrang, mereka menyaksikan seorang anak muda hendak menerbangkan pesawat rakitan yang dibuatnya sendiri.

Mulanya ada rasa tegang yang bercampur dengan ketidakpercayaan. Pesawat adalah produk teknologi tinggi yang rumit dan penuh dengan kalkulasi presisi tinggi. Dahulu, almarhum Habibie butuh belajar bertahun-tahun di program PhD hanya untuk memetakan keretakan pesawat.

Anak muda bernama Chaerul itu tak butuh sekolah tinggi. Dia mengerjakan semua inovasi itu bukan di satu laboratorium dengan budget tinggi. Dia mengerjakannya dari bengkel kecil yang dimilikinya. Dia seorang montir yang tidak lulus sekolah dasar. Dia mengikuti panduan dari Youtube dan Google, kitab segala tahu di era modern.

Dia membuatnya dari material dan rongsokan yang ada di bengkelnya. Dia mengubah perkakas mekanik otomotif menjadi perkakas yang menjelajahi dirgantara. Saat pesawatnya sukses mengudara, vidionya segera viral ke seluruh penjuru negeri.

Seorang teman sempat nyinyir. “Ah, itu kan cuma ikut Youtube saja. Semua orang bisa,” katanya. Memang, ada banyak panduan dan publikasi tentang inovasi serta bagaimana mengerjakannya. Tapi kan tidak semua orang punya kapasitas dan persistensi untuk menerjemahkan semua panduan itu secara praktis.

Kehebatan anak muda itu bukan pada produk yang dihasilkannya. Kehebatannya terletak pada keberaniannya untuk berbuat sesuatu, membumikan apa yang dilihatnya sehingga menjadi kenyataan. Dia punya daya juang untuk bekerja dalam diam demi menuntaskan satu produk yang lama diidamkannya.

Saya membayangkan ketika pertama mengerjakan pesawat, dia akan di-bully dan dipandang sinis oleh orang-orang. “Bikin pesawat itu canggih. Kamu gak bakalan bisa,” kata orang-orang.

Dia terus melaju. Motivasi membuat pesawat rakitan itu sederhana. Dia belum pernah merasakan bagaimana naik pesawat. Demi merasakannya, dia melakukan cara paling keren yang pernah saya dengar yakni membuatnya. Dia sukses, kemudian pertama mencobanya di Lapangan Malipung, Pinrang. Gagal. Lima kali dia mengalami kegagalan.

Dia tak menyerah. Dia diberi masukan oleh Kapten Halid, mantan penerjun Kopassus. Dia beruntung karena tumbuh di rahim keluarga dan pertemanan yang memberinya masukan. Dia hadapi masalah itu dengan perbaikan sana-sini.

Dia punya mentalitas sebagaimana Orvile Wright dan Wilbur Wright yang pertama kali membuat pesawat dari bengkel sepeda di Dayton, Ohio, di akhir tahun 1800-an. Dia tahu bahwa selalu ada kenikmatan saat berusaha mengalahkan kemustahilan. Bukan soal apa yang kamu raih, tapi sejauh mana kerja kerasmu untuk menggapainya. Kenikmatannya terletak pada proses.

Setelah menjalani proses selama tiga bulan, pesawat itu akhirnya mengudara. Di atas pantai, dia perlahan mengangkasa. Pesawat itu dua kali bermanuver yang disambut dengan sorak-sorai semua orang dengan teriakan “luttuni.”

Vidionya segera viral dan menyebar. Chairul telah mematahkan beberapa mitos-mitos yang hidup di masyarakat kita.

Pertama, Chaerul seakan menampar institusi pendidikan kita. Orang mengira bahwa bangku pendidikan adalah satu-satunya lembaga yang bisa memberikan kemampuan analitis bagi orang-orang untuk melakukan inovasi.
.
Chaerul, yang hanya sampai kelas 3 SD, justru bisa mencapai kemampuan praktis seperti itu di luar sekolah. Dia belajar mekanik secara otodidak kemudian bisa membuat inovasi. Dia seperti Susi Pudjiastuti yang lulusan SMP tapi bisa jadi menteri.

Kedua, Chaerul membuktikan kepada orang-orang bahwa tak ada sesuatu yang mustahil. Dia bekerja keras untuk meruntuhkan kemustahilan itu. Dia seakan menunjukkan kebenaran mantra bahwa siapa pun yang berusaha, pasti akan menuai hasil.

Ketiga, Chaerul kembali membuktikan betapa efektifnya teknologi informasi yang memberi terang bagi kehidupan seseorang. Dia tinggal di Pinrang, tapi bisa belajar tutorial dari para kreator konten yang tinggal di Amerika, Jerman, bahkan Jepang.

Internet adalah dunia tanpa batas yang menyediakan jawaban atas semua kata tanya. Internet adalah jagat raya berisikan informasi yang harus dikelola dengan baik sehingga pengetahuan itu bisa menggerakkan banyak orang. Di banyak desa, kita menemukan banyak champion, figur-figur hebat yang menggunakan internet bukan untuk nyinyir, melainkan sebagai sarana inovasi.

Saya ingat beberapa tahun lalu ketika bertemu seorang lelaki di pedalaman Seruyan, Kalimantan Tengah, yang jadi maestro fotografi makro, yang karyanya tayang di situs-situs besar dunia. Internet menjadi ruang belajar yang efektif, serta menyediakan gema inovasi bagi siapa pun.

Saya membayangkan betapa banyaknya kegunaan dari kerja-kerja Chaerul. Pesawat rakitan itu bisa digunakan untuk memperkuat pertanian, yakni untuk menyirami tanaman sehingga bisa menghemat ongkos pekerja dan biaya. Pesawat itu akan berkontribusi pada kedaulatan pangan.

Pesawat itu bisa jadi transportasi jarak dekat, antar desa yang sering dikitari sungai. Pesawat itu bisa menjadi sarana rekreasi untuk melihat indahnya denyut nadi wisata di Pinrang dan sekitarnya. Betapa asyiknya selfie di pesawat kecil sembari melihat kepingan surga di tanah Sulawesi.

Dari tanah Pinrang, kita melihat banyak senyum untuk negeri

Foto: Rudi Hartono (Kabar Makassar)

0 komentar:

Posting Komentar