Sepenggal Kisah Hardiyanti Rukmana




Hari ini, saya membaca berita tentang Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut. Biasanya saya hanya melihat sekilas dan sambil lalu. Kisah tentang Mbak Tutut dan ayahnya Presiden Soeharto sudah sering saya baca dalam banyak publikasi para peneliti. Mereka adalah Crazy Rich Asian yang sebenar-benarnya. 

Saya terkejut melihat aktivitas Mbak Tutut sekarang adalah menjadi blogger. Dia secara rutin mengisi catatan harian di satu blog. Dia bercerita tentang ayahnya, perjuangannya membuat jalan tol pertama yang disebutnya sebagai prestasi anak bangsa, hingga cerita tentang ibunya, Tien Soeharto.

Blognya cukup membuat saya betah. Saya baru tahu kalau acara Kirab Remaja Indonesia dihidupkan lagi. Di situ, ada foto dirinya bersama sejumlah remaja dengan baju merah putih, menyanyikan lagu-lagu nasionalis, setelah itu memberi tepuk tangan dan salam ala tentara. 

Silakan cek blognya DI SINI

Saya pernah menyaksikan acara ini semasa kecil melalui layar kaca di TVRI. Pernah saya bertanya pada bapak saya, apa mungkin orang akan cinta pada Indonesia dengan cara baris-berbaris keliling kota sambil sesekali menyanyikan lagu perjuangan? Bapak saya tak berani menjawab. Dia tahu, kritisisme tak diperlukan di zaman itu. Dia bercita-cita agar anaknya jadi PNS. 

Melihat catatan-catatan Mbak Tutut, saya merasakan betapa kuatnya niat beliau untuk “meluruskan” pemahaman tentang masa silam. Saya sebenarnya berharap dia membuka banyak hal apa yang terjadi pada masa itu, bukan mengangkat hal yang remeh-temeh, misalnya pesan-pesan bapaknya sebelum meninggal. 

Berani gak dia cerita berapa uang negara yang kemudian dikelolanya dengan membawa stempel nama bapaknya? Apakah dia akan mengakui proyek-proyek apa saja yang kemudian dikelolanya hanya karena para menteri dan pejabat takut sama bapaknya?

Saya teringat kajian dari Maurice Halbwach, sosiolog Perancis yang terkenal dengan teorinya mengenai ingatan kolektif. Bahwa apa yang kita sebut sebagai ingatan bukan sekadar endapan kenangan atas satu peristiwa bersejarah yang pernah terjadi pada satu masa, melainkan sesuatu yang selalu aktif dan terus mengalami reproduksi makna berdasarkan situasi kesejarahan.

Masih kata Halbwach, orang-orang akan menggunakan medium tertentu untuk melestarikan ingatan. Medium itu bisa berupa ritual, upacara, peringatan, patung, monumen, atau tugu.

Mungkin ini pula yang sedang dilakukan Tutut. Dia melakukan rekonstruksi atas masa silam, dengan mengangkat versinya sendiri, kemudian menggunakan blog sebagai medium. Dia juga membangun museum di kampung ayahnya, menuturkan lagi banyak cerita, dan mengangkat sisi religius dan penyabar ayahnya. 

Dia mengabaikan narasi dari banyak peneliti dan sejarawan yang telah mengangkat masa silam dengan metodologi yang ketat. Dia ingin menafsir ulang masa lalu, dengan mengangkat sisi humanis bapaknya, seakan-akan hendak berkata, “Enak jamanku to?”

Tahun depan, Indonesia akan memasuki pilpres. Saya menganggap momen ini menjadi strategis sebab yang sedang bertarung adalah ingatan dan tafsir masa silam. Ada yang menganggap masa silam itu amat indah dan masa kini begitu terpuruk sehingga solusinya adalah kembali ke masa silam. 

Di kutub lain, saya melihat anggapan bahwa masa silam sudah berlalu, namun masih menyisakan jejak berupa mentalitas yang harus disingkirkan demi Indonesia masa depan. Bahwa Indonesia masa depan adalah Indonesia baru yang tidak pernah melupakan sejarah sebab selalu menyerap banyak hikmah dari perjalanan bangsa sehingga tidak jatuh di lubang yang sama.

Di situ, saya melihat ada ingatan yang sedang berebut mencari tempat di benak generasi baru yang pikirannya serupa ruang kelas yang kosong.




0 komentar:

Posting Komentar