Tiga Opsi untuk BUNI YANI




Lama ditunggu, akhirnya kasasi dari Mahkamah Agung (MA) keluar juga. Mahkamah menyatakan menolak kasasi yang diajukan Buni Yani. Dia tetap dinyatakan bersalah sesuai keputusan Pengadilan Negeri Bandung yang telah memvonis Buni Yani 1 tahun enam bulan penjara.

Dia dianggap bersalah karena mengedit dan menyebarkan video Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang kemudian heboh dan mengundang reaksi berupa demonstrasi hingga berjilid-jilid. Jika tak ada lagi upaya hukum, maka Buni Yani tinggal menunggu waktu kapan akan dieksekusi.

Saya mengenal Buni Yani sebagai sesama alumni Ohio University. Semasa di Ohio, saya membaca tesisnya yang mengenai politik editorial di harian Kompas dan Republika saat memberitakan konflik Maluku.

Dia menulis tesis di bawah bimbingan seorang profesor yang dikenal sangat mencintai Indonesia. Bahkan Buni tinggal di rumahnya.

Saya beberapa kali bersua dengan Buni Yani dalam berbagai pertemuan alumni, serta berinteraksi di WhatsApp Grup. Di mata saya, dia orangnya baik dan senang berdiskusi. Dia pribadi yang hangat. 

Dia pernah mengirimi saya pesan melalui SMS. Dia tahu kalau saya sedang berada di Lombok. Kebetulan, dia pun menuju ke Lombok, kampung halamannya. Dia mengajak untuk sekadar ngopi dan berbincang. Sayang, jadwal kami tak bertemu.

Tapi sejak momen pilpres, postingannya di media sosial mulai menyengat. Beberapa orang tidak nyaman dengan sebab sering kali merendahkan pihak pendukung capres tertentu. Pernah dia didebat habis-habisan hingga akhirnya mengurangi postingan. Hingga akhirnya, kasus itu bergulir dan kasasi MA keluar.

Kalaupun Buni Yani harus dieksekusi, maka saya berharap itu tidak lantas menenggelamkan seorang Buni Yani. Saya ingin dia tetap produktif dan melakukan banyak hal yang kelak akan menjadi perbincangan banyak orang.

Jika akhirnya dieksekusi, ada tiga hal yang bisa dilakukan Buni Yani.

Pertama, dia harus menulis. Dalam sejarah, kita banyak membaca kisah tentang karya-karya hebat yang lahir dari penjara. Dahulu, aktivis asal Italia, Antonio Gramsci, menulis Prisoner Notebook dari dalam jeruji. Tan Malaka menulis Madilog ketika menjadi buronan.

Nelson Mandela menulis karya terbaiknya Long Walk to Freedom saat berada dalam tahanan. Bahkan karya terbaik sastrawan Pramoedya Ananta Toer lahir di tahanan yang terletak di Pulau Buru.

Kasus Buni Yani bisa dilihat dari banyak sisi. Selama ini kita hanya tahu dari berita yang ditampilkan banyak media. Tapi kita tidak pernah tahu persis apa yang dirasakan Buni Yani, serta bagaimana penilaiannya atas kasus ini sebagai seorang akademisi.

Sebagai alumni Ohio University, dia punya amunisi yang cukup untuk sekadar menulis kasusnya secara jernih, yang selama ini luput dari pantauan media. Andaikan dia menulis kasus ini dari perspektif auto-etnografi, satu perspektif riset yang tengah populer, maka pasti akan menarik dibaca.

Dia bisa menguraikan apa saja lesson learned yang dihadapinya bagi pengembangan kajian tentang media sosial di Indonesia. Dia bisa menyumbang kepingan penting pada the body of knowledge kajian komunikasi di tanah air, yang belakangan ini terkesan mandek.

Di tambah lagi, dia punya kemampuan menulis dalam bahasa Inggris. Dia bisa menuliskan kasusnya dengan bahasa Inggris sehingga diketahui oleh publik luar. Dia bisa populer di kalangan organisasi pelindung hak sipil dan hak asasi.

Jika bebas, undangan untuk menghadiri konferensi ke luar negeri akan laris diterimanya. Dia bisa setenar Malala Yousafzai yang sering diundang di banyak negara karena kisah perjuangannya di tengah tekanan milisi Taliban telah menginspirasi banyak orang.

Kedua, Buni Yani harus tetap aktif sebagai buzzer dari Prabowo-Sandi. Dia bisa mencitrakan dirinya sebagai orang yang dizalimi oleh rezim ini. Dia bisa saja menuding peradilan dan penghakiman pada dirinya sebagai sesuatu yang sengaja di-setting oleh aparat berwenang.

Ujung-ujungnya dia bisa menyalahkan Jokowi, sesuatu yang ditunggu-tunggu oleh pencinta oposisi,  sebagai kepala negara yang tidak berbuat apa-apa untuk membela dirinya sedang memperjuangkan kebebasan berbicara.

Sebagai buzzer, Buni bisa menjadi simbol dari kesewenang-wenangan penguasa. Buni akan menempati posisi strategis dalam perang wacana di media sosial. Sebagai akademisi yang pernah belajar di Ohio dan Leiden, dia tahu bagaimana memetakan pesan-pesan yang berpotensi viral, serta bagaimana merancang sesuatu menjadi viral.

Di tambah lagi, kasusnya telah melejitkan dirinya sebagai micro-celebrity yang punya banyak penggemar di dunia maya. Dia hanya butuh konsistensi dalam membuat postingan kemudian menyebarkan ke berbagai kanal.

Kalaupun di tahanan dia tidak bisa menggunakan HP, maka dia bisa menempuh strategi Anas Urbaningrum yang menulis bahan postingan di kertas, kemudian dicuitkan oleh sahabat-sahabatnya di Twitter.

Jika saja Prabowo-Sandi menang, maka Buni Yani bisa panen berkah dan keuntungan, sebagaimana aktivis 98 yang dulunya memenuhi penjara di rezim Orba, kini bisa melenggang ke kursi kekuasaan dan duduk nyaman di posisi strategis.

Ketiga, dia bisa fokus sebagai pendakwah. Dia melejit sejak kasus Ahok. Jika Ahok dilabel sebagai penista, maka Buni Yani dilabel sebagai pembela. Sejak kasusnya merebak, saya melihat Buni Yani mulai populer sebagai pendakwah. Dia mulai sering diundang ke acara-acara yang dibuat FPI. Dia juga mulai rajin mendatangi pengajian. Penampilannya mulai agamis.

Jika ditahan, dia bisa kembali memperdalam ilmu agama hingga level magister, setelah keluar dia bisa meramaikan televisi dengan menjadi selebriti. Saat ini, dia sudah menjadi branding yang kuat di kalangan banyak orang. Sebagaimana diakuinya sendiri di satu media, sejak kasusnya merebak, dia mulai laris sebagai penceramah.

Dakwahnya tidak hanya di medsos, kini mulai merambah ke masjid dan beberapa majelis taklim. Dia tidak perlu nyantri selama bertahun-tahun. Dia hanya perlu kembali membaca buku-buku agama, sehingga bisa mengutip ayat dan hadis, setelah itu mulai fokus membahas pembelajaran serta pelajaran agar orang lain bisa setegar dirinya.

Dengan keahiannya di bidang komunikasi, dia bisa jadi pendakwah sekaligus motivator yang akan mengalahkan popularitas Mario Teguh. Dengan sedikit polesan bisnis, branding Buni Yani bisa dikelola untuk memasarkan banyak hal.

Dia bisa jadi duta bagi usaha atau bisnis berlabel 212, sebagaimana Rafi Ahmad menjadi duta promosi bagi Alfamart. Malah dia bisa membuat label sendiri sebagaimana dilakukannya ketika membuat gelas dengan wajah dirinya disertai tulisan Buni Yani Mencari Keadilan.

Yang pasti, Buni Yani bisa tetap melakukan banyak hal. Tahanan hanya akan menjadi terminal sementara yang akan semakin melejitkan dirinya. Sungguh menarik untuk melihat bagaimana transformasi dirinya, serta bagaimana tanggapannya atas banyak hal. Jika ada yang menulisnya, pasti akan menjadi bacaan yang menarik.

Tapi saya berharap dirinya yang menulis tentang itu. Semoga.



0 komentar:

Posting Komentar