Saat Membaca "The Death of Expertise"




Di satu kanal media sosial, saya menyaksikan dua orang berdiskusi soal Freeport. Saya mengenal dua orang yang berdebat itu. Satu bekerja sebagai staf honorer di kantor pemda. Satunya lagi, bekerja sebagai pengajar ekonomi di satu kampus negeri. 

Diskusi itu tidak menarik. Teman pertama tidak mau mendengar uraian ataupun penjelasan dari teman kedua. Teman pertama rajin membagikan banyak link yang didapatnya dari berbagai grup whatsapp. Ketika teman itu kehilangan argumen, mulailah dia mengeluarkan dalil untuk menyesatkan teman diskusinya.

Pernah juga saya melihat diskusi di satu grup whatsapp. Pendapat dari seseorang yang mendapatkan gelar doktor bidang hadis pemikiran Islam, tiba-tiba saja dipandang remeh dan ditertawakan oleh warga grup yang justru tidak memperdalam ilmu agama. Rupanya banyak warga grup itu lebih percaya pada satu atau dua paragraf dari ulama yang jadi seleb di media sosial. Padahal, ulama yang dikutip itu tidak jelas apa kompetensi dan keahliannya.

Dalam hati, saya menyimpan tanya. Mengapa kita tak mendengar orang berilmu yang menghabiskan bertahun-tahun usianya untuk memperdalam pengetahuan pada satu topik?

Suatu hari, saya pernah juga menyaksikan poster diskusi sejarah. Yang dibahas adalah sejarah pemberontakan PKI di Indonesia. Lucunya, pembahas utama adalah seseorang dengan gelar S.Ag. Kembali, saya menyimpan tanya, kenapa tak mengundang seorang peraih gelar PhD untuk bidang sejarah, atau orang yang bertahun-tahun mendalami isu PKI? 

Saya selalu teringat buku Tom Nichols yang judulnya The Death of Expertise. Kebetulan, hari ini saya menemukan buku itu dalam versi bahasa Indonesia yang berjudul Matinya Kepakaran. Kata Tom Nichols, di era media sosial, banyak di antara kita yang dikendalikan para produsen informasi. 

Di era ini, sekeping informasi di Whatsapp dianggap lebih valid ketimbang riset-riset sejarah yang bertebaran. Jangan berharap ada diskusi yang sehat. Jangan berharap ada pencerahan karena berbagai fakta diurai dan didiskusikan. 

Dalam buku itu, Tom Nichols telah membahas tentang kematian para ahli di era milenial ini. Banyak orang yang lebih suka bertahan dalam ketidaktahuannya, tanpa mau mendengar mereka yang benar-benar ahli dan menghabiskan hidupnya untuk mendalami satu topik. Para ahli ditinggalkan. Suara keilmuan dibuang jauh-jauh, hanya karena dianggap berbeda dengan sesuatu yang diyakini benar.

BACA: Saat Membaca "Everybody Lies"

Saya sangat setuju dengan uraian Tom Nichols. Media sosial penuh dengan para penganalisis abal-abal yang segala hal ingin dikomentari. Kita terus-menerus menyaksikan debat tak produktif di situ. Mulai dari isu vaksin, bumi itu datar, kontroversi ASI, isu PKI, kontroversi Soeharto, hingga seberapa sehat kencing unta.

Dalam rimba raya informasi, suara seorang peneliti dan pakar dengan mudah diabaikan. Orang lebih mendengar mana komen paling sering, serta suara orang awam yang sok tahu, juga pesohor yang menyesatkan. Jawaban dari tokoh yang punya banyak pengikut lebih didengar, padahal bisa jadi jawaban itu membahayakan.

Dari buku Tom Nichols, saya mendapatkan penjelasan yang utuh. Bahwa ada banyak hal yang menyebabkan suara para ahli itu diabaikan. Dia menyebut satu reproduksi sosial ketika kebenaran pelan-pelan menjadi kesalahan. Pihak-pihak yang seharusnya memberikan pencerahan (misalnya kampus, media massa, hingga para pakar), justru sering kali juga berada dalam sikap arogansi dan merasa paling benar sehingga mengabaikan suara-suara awam.

Saya yakin Tom Nichols tidak melakukan studi mendalam atau riset tentang fenomena di Indonesia. Jika dia melakukannya, saya yakin dia akan menemukan satu fakta penting bahwa pilihan capres akan mempengaruhi penilaian seseorang atas informasi yang diterimanya. Jika dia pendukung capres A, maka semua informasi terkait A akan dianggap sebagai satu-satunya kebenaran. Demikian pula sebaliknya.

Tak ada masalah jika mendukung satu politisi. Hal penting yang harus tetap dirawat adalah nalar serta rasa haus untuk melakukan pencarian kebenaran. Pilihan politik tak harus membunuh argumentasi, sebab yang harus dijaga adalah kejernihan dan penalaran yang didapatkan dengan cara dialektis, membaca satu sumber, kemudian melakukan konfirmasi pada sumber lain.

Lebih baik memberi ruang pada orang yang sudah mengkajinya bertahun-tahun ketimbang hanya mendengar godaan pikiran yang terlanjur percaya pada sesuatu. Ketika pakar dimusuhi, ketika suara penalaran diabaikan, maka kita telah membuka pintu bagi praktek korupsi, kediktatoran, hingga tanpa sadar kita menjadi bola yang dipermainkan para politisi atau para pesohor.

Lantas, bagaimana kita harus memosisikan diri di tengah banjir informasi yang sedemikian pekat ini? Bagaimana seharusnya demokrasi memosisikan “expert” dan “citizen” di era keberlimpahan informasi?

Sepertinya saya harus membaca lagi buku Tom Nichols. Saya sudah membaca versi bahasa Inggris, tapi saya ingin membaca lagi versi Bahasa Indonesia. Ingatkan saya untuk bercerita ketika telah membaca buku itu hingga tuntas.






0 komentar:

Posting Komentar