FADLI ZON dalam Tinjauan Peneliti Jepang


Fadli Zon bersama patung empat pendiri bangsa di rumah budaya yang didirikannya

Bulan April lalu, saya diajak Profesor Susanto Zuhdi untuk menghadiri orasi ilmiahnya di kampus Universitas Indonesia, Depok. Di acara itu, saya bertemu Fadli Zon yang ternyata adalah bimbingan Prof Susanto yang belum lama lulus di program doktor bidang sejarah UI. 

Di layar kaca dan media sosial, Fadli Zon terlihat arogan, tidak mau mendengar lawan debatnya, hingga penuh kritik membabi-buta pada rezim. Bahkan dia juga seorang yang produktif buat puisi untuk mengkritik Jokowi. Tapi saat bertemu langsung, dia sosok yang sangat hangat. 

Sebagai murid, dia datang dan menghadiri acara orasi dari Prof Susanto. Dia tidak memosisikan dirinya lebih tinggi sebab semua yang datang adalah murid Prof Susanto. Malah dia ikut berbincang santai dengan banyak orang. Tentu saja, tak ada topik mengenai Jokowi dan Prabowo di situ.

Saya pun teringat dengan sosoknya sebagaimana ditulis Hisanori Kato, seorang peneliti asal Jepang. Tulisan tentang Fadli itu saya temukan dalam buku Islam di Mata Orang Jepang karya Hisanori Kato, terbitan Kompas 2014. 

Sebagaimana lazimnya para antropolog, dalam buku ini, Kato bercerita pengalamannya ketika melakukan riset tentang Islam di Indonesia. Dalam riset itu, ia tidak fokus pada ajaran dan teks keislaman. Ia fokus pada bagaimana Islam dipersepsi, dihayati, dan dijelmakan dalam sikap hidup para penganutnya.

Kato menuliskan beberapa sosok yang menurutnya inspiratif serta menjadi representasi Islam di Indonesia. Ia menulis pertemuannya dengan Gus Dur, Mohamad Sobary, Ismail Yusanto (Jubir HTI), Ulil Abshar Abdalla, Abu Bakar Ba’asyir, hingga beberapa sosok muda seperti Eka Jaya (anggota FPI) dan Fadli Zon.

Pada beberapa tokoh itu, ia mengaku tidak sekadar wawancara. Ia sedang belajar dan menyerap pengetahuan.
Saya tertarik membaca kisah perkenalannya dengan Fadli Zon. Sebelumnya, saya memang tak punya banyak gambaran tentang sosok ini. Pernah, saya membaca bukunya Politik Huru-Hara 1998, namun saya tak begitu terkesan sebagaimana membaca buku Pretext for the Mass Murder karya John Roosa. 

Kato menggambarkan Fadli sebagai sosok penting di balik peristiwa demonstrasi besar-besaran anti SDSB. Pada tahun 1980-an, pemerintah memiliki program Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB). Bentuknya adalah semacam lotre di mana setiap orang memiliki iming-iming untuk kaya. Sebagai aktivis, Fadli Zon mengorganisir demonstrasi untuk menentang kebijakan SDSB.

SDSB ibarat taruhan memasang sejumlah nomor. Jika tebakannya benar, maka akan mendapatkan hadiah. Jika tidak, maka bisa pasang nomor lagi pada kesempatan lain. Bagi Fadli, kebijakan memasang SDSB itu ibarat judi. “Hukumnya adalah haram,” katanya.

buku yang ditulis Hisanori Kato

Yang menarik buat saya, penggambaran tentang Fadli adalah sosok generasi muda Muslim yang getol memperjuangkan agama. Di saat wawancara itu, Fadli menginginkan agar Islam bisa diakomodasi di ranah politik. 

“Seharusnya Islam terlibat aktif dalam politik. Saya memimpikan Indonesia menjadi negara yang demokratis. Seperti Anda ketahui, Indonesia adalah negara yang mayoritas warganya beragama Islam. Dalam hal ini keterlibatan warga Muslim sangat diperlukan,” kata Fadli sebagaimana dicatat Kato.

Wawancara ini penting untuk memahami bahwa pada mulanya Fadli memang tokoh yang berniat untuk menempuh jalan politik melalui wacana keagamaan. Padahal, jalan hidupnya agak berbeda. Sebab ia pernah menjalani sekolah menengah di Amerika Serikat (AS), pernah pula memiliki keluarga angkat yang beragama Kristen. 

Dua tahun setelah Soeharto turun, Fadli lalu bergabung dengan Partai Bulan Bintang (PBB) demi membumikan gagasannya tentang Islam. Ketika terjadi perpecahan di tubuh partai itu, Fadli lalu hengkang ke Inggris untuk belajar di London School of Economic (LSE).

***

Saya juga menemukan beberapa inspirasi tentang Fadli Zon. Sosok ini cukup konsisten pada ranah kebudayaan. Ia rajin berburu koleksi publikasi, kartu pos, dan segala hal menyangkut Indonesia di luar negeri. Bahkan, ia juga mengumpulkan foto-foto bersejarah untuk dipajang di rumah budaya dan perpustakaan yang didirikannya.

Beberapa tahun silam, seorang sejarawan yang saya temui di negeri Paman Sam menyampaikan kekagumannya atas upaya Fadli Zon mendapatkan koleksi foto saat Kartosuwiryo, pemimpin gerakan DI/TII, dieksekusi pemerintahan Soekarno. Dokumen foto itu amat bernilai bagi para sejarawan yang hendak memahami kejadian tersebut demi menyerap tetes-tetes hikmah.

Dia mendirikan Rumah Budaya Fadli Zon di Tanah Datar, Sumatera Barat, daerah kelahirannya. Di situ, ia memajang sekitar 100 koleksi keris Minangkabau yang dikumpulkannya selama bertahun-tahun. Ia juga mengoleksi lebih 700 buku bersejarah yang bertema Minangkabau, serta beberapa koleksi bersejarah di antaranya keris Luk Sembilan asal Pagaruyung yang dibuat pada abad ke-18, songket lama, dan lukisan kuno. Ia juga memajang fosil kerbau berusia dua juta tahun di rumah budaya itu.

peresmian patung Tan Malaka
patung Chairil Anwar

Di media online, saya membaca artikel tentang koleksi di rumah budaya ini. Di situ, terdapat empat patung pendiri bangsa, yakni Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka. Aneh juga sebab Fadli Zon dalam banyak kesempatan mengkritik komunisme dan menjelaskan bahayanya, tapi malah dia sendiri memajang patung Tan Malaka.

Di situ juga ada patung Chairil Anwar, juga banyak koleksi lukisan dan ukiran. Tak hanya itu, di situ juga terdapat koleksi batu akik yang berasal dari banyak wilayah di Indonesia.

Kecintaan Fadli pada ranah budaya dan literasi juga diwujudkan dengan pendirian Fadli Zon Library di Jakarta. Ia memiliki perpustakaan dengan koleksi buku sebanyak 40.000, koleksi koleksi naskah kuno, dan koleksi koran tempo dulu. Beberapa koleksi lainnya adalah: koleksi keris, tombak, pedang dan badik dari berbagai kerajaan Nusantara, koleksi prangko, koleksi uang logam (coin), koleksi patung dan lukisan dari berbagai maestro seniman Indonesia.

Ada juga koleksi piringan hitam (long play) dari musisi atau penyanyi Indonesia, koleksi rokok yang di produksi di Indonesia, koleksi tekstil dan kain tua dari berbagai daerah, serta koleksi kaca mata dari beberapa tokoh.

Bagi saya, perpustakaan dan rumah budaya itu merupakan wujud dari kecintaan Fadli Zon pada kebudayaan. Dia mencintai Indonesia dengan cara menyerap semua artefak dan karya-karya agung dari bumi Indonesia. Melalui koleksi-koleksi yang dikumpulkannya, dia berharap mewariskan sesuatu yang kelak akan menjadi dokumen budaya dan sejarah yang penting untuk Indonesia.

Pada titik ini, Fadli Zon telah menyimpan banyak warisan berharga yang kelak jadi mutiara budaya dan sejarah bagi generasi mendatang. Salut untuknya.

***

Sayangnya, artikel Hisanori tidak menyajikan cerita mengenai bagaimana pertemuan Fadli dengan Prabowo Subianto. Saya menyayangkan mengapa hal ini tak dibedah lebih jauh. Sebab kisah perjumpaan dengan Prabowo serta pilihan politik Fadli untuk mendampinginya pastilah menyimpan cerita yang menarik bagi semua sejarawan dan pemerhati ilmu sosial.

BACA: Luna Maya, Suzanna, dan Narasi Profesor Amerika

Saya penasaran bagaimana transformasi seorang aktivis yang mencintai budaya, menjadi seorang politisi yang amat setia pada satu figur. Mungkin saja, kecintaan Fadli pada Indonesia membawanya pada satu kesimpulan bahwa dirinya harus masuk ke ranah politik, di mana Prabowo menjadi figur yang bisa mewujudkan cita-citanya.

Saya hanya mendengar selentingan kabar kalau perkenalannya dengan Prabowo sudah berlangsung lama. Bahkan Prabowo yang menyekolahkannya ke Inggris. Jika ini benar, maka terjadi simbiosis antara seorang intelektual dengan politisi. Para politisi bisa meng-ijon atau berinvestasi pada para aktivis dan intelektual agar di kemudian hari menjadi partner dan pembela yang setia.

Satu hal yang saya sayangkan adalah Fadli Zon tidak meneruskan tradisi intelektualnya melalui upaya menulis buku-buku bermutu. Rasanya amat sayang, gelar master dari London School of Economic, kampus yang banyak melahirkan para pemikir dunia, hanya berakhir sebagai politisi yang memproduksi puisi-puisi kritik yang diarahkan pada rezim. 

rumah budaya Fadli Zon

Saya membayangkan dia akan melahirkan banyak buku dan artikel bermutu sebagaimana dahulu dilahirkan Sukarno dan Hatta, yang kemudian menjadi artikel penting dalam tapak sejarah pemikiran bangsa ini. Dia punya kapasitas yang memadai untuk mencerahkan negeri dengan gagasannya cemerlang, yang diolah dengan pendekatan budaya serta rasa cinta yang dahsyat pada negeri.

Dia bisa mewariskan catatan sekelas Madilog karya Tan Malaka atau Di Bawah Bendera Revolusi karya Sukarno. Bahkan dia bisa menulis topik ekonomi sedalam Mendayung di Antara Dua Karang yang disusun Hatta.

Jika saja dia melakukan itu, maka kelak warisannya pada negeri akan paripurna. Dia mengoleksi artefak budaya. Dia pun mewariskan pemikiran yang cemerlang serta perilaku politik yang berada dalam bingkai keadaban. Tapi, saya masih berharap dia bisa melakukannya. 

Tak sekadar puisi-puisi itu.





0 komentar:

Posting Komentar