Selamat Datang JONRU GINTING




Setelah mendekam di penjara selama 14 bulan, Jon Ria Ukur (Jonru) diizinkan untuk meninggalkan tahanan. Dia sudah menjalani 2/3 vonis pengadilan yakni 1 tahun 6 bulan. Jonru, pria yang dituding menebar kebencian itu, kini bisa kembali ke rumah.

Kuasa hukum Jonru telah memastikan bebasnya Jonru. "Betul bebas bersyarat. Tadi beliau bebas sekitar bakda asyar atau pukul 15.00 WIB dari LP Cipinang," ujar Kuasa Hukum Jonru, Djuju Purwanto, sebagaimana dicatat banyak media, Jumat (23/11/2018).

Saya membayangkan media sosial akan kembali heboh dengan kedatangan Jonru. Banyak orang yang gembira dengan kehadirannya. Tanpa dirinya, media sosial ibarat ring tinju yang kehilangan sosok seperti Mike Tyson. Tanpa dirinya, media sosial seakan lengang dari hiruk-pikuk dan debat.

Di twitter, saya melihat gambar dirinya saat bebas. Beberapa orang menyambut dan memeluknya. Pengacaranya mengatakan dia ingin kembali ke keluarganya dahulu. Politisi Gerindra, Habiburokhman, merasa gembira atas bebasnya Jonru.

Jika Jonru ingin bergabung dengan tim Prabowo, Habiburokhman siap menyambut. Banyak orang berharap agar Jonru bisa kembali seperti dulu. Seorang netizen menyebutnya “ksatria cyber putih” yang segera kembali ke medan pertempuran.

Ada pula yang mencatat kaum cebong bakal kelojotan dengan kembalinya Jonru.

Pada pemilu lalu, Jonru adalah sosok yang meramaikan debat di media sosial. Dia serupa magnet yang menarik banyak orang untuk setia mengikuti apa pun yang ditulisnya. Setiap postingannya di Facebook selalu dibagikan banyak orang. Bahkan setelah Pemilu dia tetap menempati posisi istimewa di hati sejumlah orang.

Dari sisi marketing, Jonru adalah pemasar yang brilian. Dia tahu potensi akun media sosialnya yang selalu didatangi orang-orang. Secara terbuka, Jonru membuka ruang untuk iklan. Bahkan dia mencantumkan nomor bagian iklan untuk dihubungi siapa pun yang ingin bekerja sama dengannya.

Jika kita mengacu pada gagasan Alice Marwick (2011) dalam buku To See and To Be Seen: Celebrity Practice on Twitter, Jonru bisa dikatakan sebagai micro-selebriti. Dalam artian, dia adalah selebriti dalam satu jejaring sosial. Apa pun yang diunggahnya akan dibagikan dengan cepat oleh semua fansnya, tanpa melihat postingan itu secara kritis.

Meskipun dia dipenjara, dia tetap tidak akan kehilangan penggemar. Malah, penjara itu akan menjadi semacam ujian bagi konsistensi perjuangannya. Para fans akan melihat dirinya ibarat Nabi Yusuf yang pernah dipenjara di istana seorang penguasa.

Simpati padanya akan tetap tumbuh. Jonru tetap menjadi merek yang kuat. Pertanyaannya, apakah Jonru masih segarang dulu ketika memosisikan dirinya sebagai pengkritik pemerintah?

Biarpun bukan penggemarnya, saya sering memantau apa saja yang dibagikan Jonru. Dalam berbagai tayangan di Youtube, dirinya mengatakan selalu berniat mencari klarifikasi. Dia hanya memantulkan berbagai rumor yang didengar dari jaringannya, kemudian direspon banyak orang.

Ibaratnya dia melempar sesuatu, yang diharapkan akan dibalas dan diklarifikasi. Masalahnya, tak semua penggemarnya yang menanti klarifikasi. Apa yang dibagikannya, langsung dianggap sebagai kebenaran. Meskipun, banyak yang dibagikannya itu masih samar-samar. Malah berpotensi menjadi kebohongan.

Apakah Jonru suka berbohong? Saya rasa tidak. Saya yakin dia tak ada niat untuk berbohong. Dia mendapat pesan-pesan yang terkirim dari jaringannya. Sebagaimana netizen lainnya, dia tak punya waktu untuk melakukan verifikasi atas fakta demi fakta.

Lagian, tugas melakukan verifikasi harusnya di tangan para ilmuwan dan sejarawan yang berdiam di menara ilmu. Mereka yang harusnya produktif menulis demi mencerahkan publik atas setiap fakta dan kepingan informasi.

Tugas verifikasi juga harusnya diemban oleh para jurnalis yang setiap hari melahirkan aksara. Namun para jurnalis sudah lama terjebak dalam sirkuit persaingan media, yang dimenangkan oleh siapa yang paling cepat, dan paling kuat berlari. Berita adalah sesuatu yang memberi sensasi bagi publik.

Jonru adalah subyek yang kesadarannya ditentukan oleh membanjirnya beragam informasi yang tak terverifikasi. Dia ibarat keramik yang dibentuk oleh apapun lempung informasi yang ada di sekitar.

Di era sebelumnya, informasi hanya ditemukan dalam celoteh para pedagang koran di lampu merah, atau di tuturan para penyalur media, atau dalam setiap menit sajian berita televisi. Di era Jonru, informasi masuk secara gratis dan memberondong di smartphone begitu kita bangun pagi.

Informasi berseliweran di sekitar kita, yang kurang sabar untuk mencerna satu demi satu. Jonru adalah produk dari sistem sosial kita yang lumpuh penalarannya. Sistem pendidikan kita tak mengajarkan bagaimana membedakan kebenaran dan kesesatan.

Kita telah lama mundur di era kegelapan ketika otoritas mengalahkan pencarian kebenaran. Kita tak menghargai diskusi dan penalaran. Kita tak fokus pada informasi, melainkan siapa yang memberi informasi.  Saat informasi disampaikan seseorang yang memakai jubah keagamaan, kita mudah saja larut.

Di era digital seperti sekarang, informasi menjadi senjata yang sengaja digunakan untuk melumpuhkan sesuatu. Ketika semua hal dilihat sebagai konspirasi dan ada niat jahat, maka segala yang baik pun akan tampak berbeda. Kebenaran kehilangan penanda. Kebaikan kehilangan ruh.

Benih prasangka dan kebencian tumbuh dalam diri kita, memenuhi semua pembuluh darah, lalu menjadi identitas yang mendefinisikan siapa diri kita. Pada titik ini, kita jadi kehilangan fokus dan kejernihan untuk menelaah apa yang benar dan apa yang salah.

Lantas, di mana salahnya Jonru?




0 komentar:

Posting Komentar