Luna Maya, Suzanna, dan Narasi Profesor Amerika


Luna Maya

Indonesia tengah dilanda demam film horor. Di satu bioskop di ibukota, saya menyaksikan begitu banyak siswa sekolah menengah yang tengah antre untuk menonton film Suzanna Bernapas dalam Kubur yang dibintangi Luna Maya.

Beberapa media mencatat rekor film ini yang ketika hari pertama ditayangkan, telah memecahkan rekor jumlah penonton film horor terbanyak yakni sebanyak 201.000 orang.

Di dunia maya, perbincangan tentang film ini juga langsung menghangat serta menenggelamkan film lainnya, termasuk film Hanum dan Rangga yang heboh itu.

Melihat kehebohan ini, saya menduga, film ini bisa menjadi salah satu film terlaris tahun ini. Apalagi, Indonesia tengah demam film horor. Statistik menunjukkan, penonton dari beberapa film horor yang diproduksi tahun ini telah berhasil menembus satu juta penonton. Hebat khan?

Film Suzanna Bernapas dalam Kubur menjadi film nostalgia bagi penggemar Suzanna, yang pernah dinobatkan sebagai Ratu Film Horor Indonesia. Pada dekade 1980-an hingga 1990-an, Suzanna menjadi artis film horor paling populer.

Film-filmnya selalu laris dan ditunggu oleh para penggemarnya. Kini, Suzanna hadir kembali dalam fisik Luna Maya. Menurut satu media, film ini akan menghadirkan suasana horor Indonesia zaman dulu. Film akan dimulai dengan cerita Suzanna (diperankan Luna Maya) dan Satria (diperankan Herjunot Ali) yang pindah ke pedesaan yang suasananya mirip Puncak, Bogor.

Mereka hidup bahagia. Suatu hari, Satria berangkat ke luar negeri. Momen ini lalu dimanfaatkan empat anak buah Satria untuk merampok rumah itu, kemudian membunuh Suzanna yang ternyata sedang hamil tua. Suzanna dikubur begitu saja setelah dibunuh dengan sadis.

Ternyata arwah Suzanna datang dan menghantui kehidupan empat pembunuh itu. Arwah itu berniat untuk membalas dendam. Dengan wajah datar dan tampilan yang mencekam, ia mulai hadir di kehidupan para pembunuhnya. Dalam suasana tegang karena kehadiran arwah penasaran, kisah film ini bergerak.

Saya tertarik melihat kehebohan di bioskop ketika film ini ditayangkan. Jika film adalah gambaran dari apa yang tengah dipikirkan dan dirasakan masyarakatnya, tentunya menimbulkan pertanyaan, apakah masyarakat kita memang suka dengan hal-hal klenik dan mistik?

Tapi setidaknya kita patut berterimakasih pada film-film horor itu. Bagaimanapun juga, film horor selalu mengangkat aspek-aspek dalam budaya kita, di antaranya adalah kepercayaan pada hantu-hantu di masyarakat.

Berkat film horor, anak-anak dan generasi “jaman now” punya gambaran tentang hantu-hantu seperti Kuntilanak, Sundel Bolong, hingga Pocong .

***

SAYA juga tertarik dengan pernyataan produser film Suzanna ini yang mengatakan hendak membangkitkan genre film horor Indonesia tempo dulu. Penampilan Luna Maya sebagai Suzanna adalah semacam nostalgia bagi penggemar Suzanna dan genre horor tempo dulu.

Beberapa waktu lalu, kritikus Veronica Kusumaryati mencoba membandingkan film horor Indonesia pada periode sebelum reformasi (masa Orde Baru), dengan masa sesudahnya. Menurutnya, film horor mengalami pergeseran, baik dari sisi pelaku, lokasi, dan penyelesaian.

Dia melihat, setting film horor periode lalu, khususnya 1970-an hingga akhir 1990-an selalu pedesaan, dengan para pemain yang juga berperan sebagai orang desa. Sumber cerita selalu berasal dari legenda. Hantu-hantu yang muncul berasal dari cerita rakyat, mulai dari Sundel Bolong, Kuntil Anak, Wewe Gombel, hingga Nyi Blorong.

Motivasi dalam film periode ini adalah balas dendam. Penyelesaian selalu dilakukan oleh kiai atau ulama setempat. Biasanya, ada adegan pertarungan kiai melawan setan yang berakhir dengan terbakarnya setan ketika diucapkan kalimat berupa doa atau penggalan ayat dalam kitab suci. Nah, para periode reformasi, film horor mengalami pergeseran.

Setting-nya selalu perkotaan, yang bisa mengambil tempat di rumah mewah, jembatan, tempat wisata, kereta api, rumah sakit, hingga sekolah. Pemeran dalam film selalu remaja perkotaan, yang di antara mereka ada yang tidak percaya legenda.

Setannya adalah gabungan dari legenda semisal genderuwo, Kuntil Anak, sundel bolong, juga beberapa setan baru, misalnya Suster Ngesot, psikopat, dan penjaga kereta api. Motivasi dalam film adalah misteri di masa lalu.  Penyelesaian film sering kali open ending atau terbuka. Ini berbeda dengan penyelesaian pada film jaman dulu yang didominasi tokoh agama.

Jika film Suzanna Bernapas dalam Kubur hendak mengembalikan spirit film horor masa lalu, maka tentunya film ini akan mengambil posisi pada kategori film lama, sebagaimana diulas di atas. Hantunya adalah Sundel Bolong.

Setting-nya adalah pedesaan, dengan para aktor yang berperan sebagai orang desa. Motifnya adalah balas dendam dan arwah penasaran. Dari sisi cerita, bisa dibilang film ini sederhana. Akan tetapi, inilah rumus yang dipakai produser untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya.

Yang ditekankan dalam film horor jaman dulu adalah cerita sederhana yang efeknya membuat orang ketakutan sehingga berteriak di dalam bioskop.

Kritikus film dari Amerika Serikat, Charles Derry (2007), pernah memeta-metakan film horor ke dalam beberapa genre. Menurutnya, film horor bisa diklasifikasikan dalam tiga genre: (1) horor psikologis, (2) horor bencana, (3) horor hantu.

Mengacu pada Derry, kebanyakan film kita masih berkutat pada film hantu. Ini adalah genre yang paling populer sejak awal kemunculan film horor di Indonesia. Bahkan Suzanna pun laris mendapatkan peran beberapa hantu legendaris yang disukai banyak orang.

Di sini prinsip dagang berlaku. Semakin banyak orang ketakutan, semakin banyak orang ke bioskop. Maka semakin bertambahlah pundi-pundi yang diraup oleh para pembuat film ini.

***

SUZANNA memang ikon film horor. Artis kelahiran Bogor yang nama lengkapnya Suzzanna Martha Fredericka van Osch ini tadinya adalah artis untuk film-film serius. Malah ia beberapa kali mendapatkan penghargaan di dunia seni peran.

Bintangnya makin terang saat dia mulai bermain dalam film mistik. Di antaranya adalah Bernapas dalam Lumpur, Bumi Makin Panas, Pulau Cinta, dan Ratu Ilmu Hitam. Dia kemudian jadi ikon film horor paling populer. Kisah hidupnya juga penuh dengan cerita mistis, di antaranya sering ke kuburan dan memakan kembang melati.

Saya yakin tidak semua generasi “jaman now” yang paham bahwa pada zaman Orde Baru, Suzanna tak sekadar seram. Dia juga figur yang keseksiannya sering dieksploitasi dalam beberapa film, khususnya adegan perkosaan hingga tewas dan menjadi arwah penasaran.

Beberapa akademisi dan peneliti pernah membahas Suzanna. Taun 1991, terbit buku berjudul Indonesia Cinema: National Culture on Screen yang ditulis Profesor Karl Heider. Profesor berkebangsaan Amerika Serikat (AS) ini menyatakan, film horor Indonesia pada masa Orde Baru tidak bisa dilepaskan dari tiga hal, yaitu komedi, seks, dan religi.

Ini menjadi semacam formula atau rumus yang membuat film-film horor Indonesia digemari penontonnya. Jika melihat film horor yang baru, maka rumus ini masih bisa ditemukan. Tema horor religi di film menjadi berkurang belakangan ini.



Tapi di layar televisi tema-tema religi dan horor sering ditemukan, misalnya dalam banyak sinetron azab. Biasanya film-film tersebut untuk menegaskan pada penonton bahwa manusia yang menentang Tuhan akan bernasib buruk dan mendapatkan siksa, baik saat mereka masih hidup maupun saat mereka sudah mati, misalnya kisah “mayat berbelatung” dan “tangisan arwah”.

Pola yang sering muncul adalah hadirnya tokoh agama yakni kiai atau ustad yang datang merapal doa bersama tasbih di tangan. Sosok kiai seperti ini masih bisa dijumpai dalam beberapa film horor Indonesia di awal tahun 2000, yaitu Kafir dan Peti Mati.

Tapi dalam beberapa film horor yang baru, nuansa religi ini mulai jarang kelihatan. Tema-tema komedi dan seks ternyata masih menjadi andalan film horor Indonesia saat ini.

Masih kata Karl G Heider, Suzanna mewakili gambaran tentang sosok perempuan yang tidak cuma seram, tapi juga menjadi obyek seksual dan simbol kekalahan pada paki-laki. Dalam banyak filmnya, Suzanna ditampilkan sebagai figur tertindas, yang tewas secara mengenaskan.

Jika dilakukan analisis atas film-filmnya, maka figurnya selalu hadir untuk ditindas, kemudian bangkit, setelah itu dikalahkan lagi. Suzanna hadir dalam film demi menunjukkan betapa kejamnya laki-laki, namun begitu berkuasa sehingga tetap menjadi pemenang.

Ini mengingatkan pada tuturan Laura Mulvey (1975), film selalu bersifat ideologis karena merupakan cerminan struktur tidak sadar dan ideologi dominan pembuat dan penontonnya.

Kisah-kisah dalam film Suzanna selalu diawali ketertiban dan kedamaian, suasana desa yang tenang, agamis, dan Pancasilais. Kemudian, muncul sejumlah karakter jahat, antagonis, yang iri sehingga mulai merusak kedamaian desa.

Karakter jahat ini menggunakan ilmu santet atau ilmu hitam, juga menggunakan cara sadis yakni perkosaan dan pembunuhan. Suzanna sebagai perempuan baik dilenyapkan oleh para antagonis yakni laki-laki.

Selanjutnya, Suzanna menjadi hantu dan arwah penasaran yang juga melakukan hal-hal jahat kepada manusia biasa. Di akhir film, hantu dan perempuan jahat itu akhirnya kembali dikalahkan oleh sosok laki-laki dalam wujud ustad, kiai, atau pemuka agama.

Di sini, kita bisa melihat laki-laki sebagai sosok yang mengembalikan tatanan sosial menjadi tenang dan damai, sekaligus menegaskan kembali patriarki, yakni dunia yang dikuasai laki-laki.

Saya belum tahu seperti apa jalan cerita di film terbaru Suzanna yang diperankan Luna Maya ini. Jika ceritanya masih sama dengan dulu, maka kita bisa katakan bahwa tema-tema lama dalam film Indonesia kembali hadir, yang bisa dilihat sebagai petanda kalau masyarakat kita masih belum bergeser dari tema-tema dahulu.

Nonton yuk, tapi serem lho...


0 komentar:

Posting Komentar