Film Aquaman dan Teka-Teki Atlantis di Indonesia




DI banyak bioskop kita, film Aquaman yang diperankan Jason Momoa dan Amber Heard tengah tayang dan disambut meriah. Banyak orang antre untuk menyaksikan kisah Arthur Curry yang berebut tahta sebagai penguasa Atlantis, kerajaan di bawah laut.

Tahukah Anda, sejak awal reformasi, banyak orang sibuk mendiskusikan posisi Atlantis yang disebut-sebut berada di lautan Indonesia? Tahukah Anda bahwa ada beberapa pakar yang menguatkan teori bahwa benua yang hilang itu ada di sekitar kita?

***

DEMI merebut tahta dari saudaranya, Arthur Curry atau Aquaman bersedia untuk merebut takhta sebagai penguasa Atlantis, kerajaan hebat dengan teknologi canggih yang berada di dasar laut. Bersama Putri Mera, Arthur lalu menaiki kapal selam yang membawanya ke negeri Atlantis.

Dalam film Aquaman yang disutradarai James Wan, Atlantis digambarkan sebagai negeri yang mewah di dasar laut. Dahulu, kerajaan itu berada di permukaan, dan sudah mencapai kematangan teknologi, saat bangsa lain masih percaya bumi itu datar.

Akibat keserakahan, Atlantis tenggelam ke dasar laut. Namun kekuatan tongkat trisula Neptunus yang dipegang King Atlan menyebabkan warga Atlantis bisa bernapas di dalam air. Negeri itu tetap berdiri. Penduduknya tetap membangun peradaban yang mewah dan canggih, meskipun berada di dasar laut.

Aquaman bukan film pertama yang membahas Atlantis. Hampir semua perusahaan film, termasuk Disney, pernah membuat film yang bertemakan Atlantis sebagai peradaban yang hilang. Hingga kini, masih banyak orang yang meyakini bahwa pernah ada masa di mana manusia telah menapak satu kejayaan, namun tenggelam karena alasan yang tidak diketahui.

Di Indonesia, diskusi tentang Atlantis juga marak pada era pasca-reformasi. Maklumlah, pada era reformasi marak perdebatan tentang seperti apa identitas Indonesia. Ada yang kembali menggemakan gagasan tentang Indonesia sebagai negara agama yang berkiblat ke Timur Tengah.

Namun, ada juga sejumlah orang yang menganggap bahwa identitas asli Indonesia bukan tercermin pada budaya yang dipengaruhi agama dari Timur Tengah. Argumentasinya, sebelum era itu, bahkan beberapa abad sebelumnya, Nusantara sudah pernah berdiri dan punya jejak peradaban yang hebat.

Bahkan masa lalu Nusantara dilacak ke era yang disebut filsuf Yunani yakni Plato dan Aristoteles sebagai era Atlantis.

Saya melihat perdebatan itu dimulai sejak seorang profesor berkebangsaan Brazil yakni Arysio Santos menulis buku berjudul Atlantis: The Lost Continent Finally Found. Profesor Santos dikenal sebagai geolog dan fisikawan nuklir.

Dalam bukunya, dia menyebutkan bahwa setelah melakukan penelitian selama 30 tahun dan membuat peta bawah laut, mengkaji mitologi, hingga arkeologi, dia menyimpulkan bahwa posisi Atlantis berada di Indonesia.

Dalam buku yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia ini, Santos menganalisis teks-teks Atlantis yang dahulu pernah dikemukakan Plato dan Aristoteles. Di situ tertera bahwa Atlantis tenggelam karena banjir besar melanda manusia pada satu masa sehingga permukaan laut meninggi.

Dia menyimpulkan Atlantis berada di khatulistiwa, pada wilayah yang banyak memiliki gunung api sehingga ketika terjadi letusan besar, permukaan air naik, wilayah itu tenggelam. Wilayah yang paling memenuhi syarat yang digambarkan Santos adalah Indonesia.

Buku lain yang juga menguatkan Santos adalah Eden in the East yang ditulis ilmuwan biologi molekuler Stephen Oppenheimer. Buku ini membantah versi sejarah tentang nenek moyang kita yang disebutkan dari Cina, sebab DNA orang Indonesia lebih tua dari Cina.

Artinya, orang Indonesia sekarang dibentuk oleh satu peradaban tua yang telah lama menghuni wilayah ini, kemudian memencar karena adanya banjir besar. Setelah dua buku ini terbit, perdebatan tentang Atlantis kian marak.

Umumnya banyak pihak yang setuju dengan pandangan itu dan sibuk memaparkan bukti kehebatan Nusantara di bandingkan bangsa lain. Bahkan beberapa intelektual kita, di antaranya Prof Jimly Ashidique sering mengutip Indonesia sebagai Atlantis yang hilang.

Publik semakin tertarik ketika di zaman SBY, pemerintah membentuk Tim Katastrofik Purba yang dipimpin politisi Partai Demokrat, Andi Arief, yang meneliti bencana purba yang pernah terjadi. Namun dalam perjalanannya, lembaga ini juga mengemukakan banyak hipotesis tentang adanya banyak piramida yang berukuran lebih besar dari piramida Mesir. Di antaranya adalah piramida di Gunung Padang.

Bahkan tim ini sempat melakukan penggalian, namun dihentikan di tengah jalan. Tim ini meyakini bahwa ada banyak artefak hebat di Nusantara yang masih terkubur sebagaimana dahulu Candi Borobudur ketika digali di zaman Raffless. Artefak itu menunjukkan Nusantara pernah berjaya pada masa silam, yang disebut sebagai Atlantis.

Pada tahun 2007, Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Umar Anggara Jenny juga menyampaikan pandangan banyak peneliti Amerika Serikat yang meyakini Atlantis ada di Indonesia.

Kata Umar Anggara, arkeolog Amerika Serikat (AS) bahkan meyakini benua Atlantis dulunya adalah sebuah pulau besar bernama Sunda Land, suatu wilayah yang kini ditempati Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Kata Umar, dalam dua dekade terakhir memang diperoleh banyak temuan penting soal penyebaran dan asal usul manusia.

Salah satu temuan penting ini adalah hipotesa adanya sebuah pulau besar sekali di Laut Cina Selatan yang tenggelam setelah zaman es.

Jika Anda menyempatkan waktu ke Toko Gramedia, pasti Anda akan temukan banyak buku yang membahas Indonesia sebagai Atlantis yang hilang. Di antaranya adalah buku Peradaban Atlantis Nusantara yang ditulis Ahmad Y Samantho dan Oman Abdurrahman.

Buku lain adalah yang ditulis pakar geologi yang bekerja di LIPI yakni Dr Dhani Hilman Natawidjaja berjudul Plato Tidak Bohong, Atlantis Ada di Masa Pra-Sejarah Indonesia. Masih banyak buku lain yang tak mungkin saya sebut satu per satu di sini.

Saya juga menemukan banyak website yang membahas keterkaitan Indonesia dan Atlantis. Bahkan saya juga mendapati banyak fiksi atau novel mengenai Atlantis di Indonesia. Yang terkenal adalah karangan ES Ito berjudul Negara Kelima, serta dwilogi Gerbang Nuswantara yang ditulis Victoria Tunggono. Ada juga novel yang ditulis Tasaro berjudul Nibiru.



Semua buku itu memaparkan fakta bahwa kemungkinan besar peradaban hebat yang digambarkan dalam banyak naskah orang Eropa sebagai rumahnya orang-orang yang jenius dan punya teknologi tinggi itu ada di Nusantara. Atlantis itu diyakini  tenggelam saat terjadi letusan besar sehingga es di kutub mencair.

Yang menarik buat saya, banyak orang yang kemudian bergerak menelusuri reruntuhan Atlantis itu. Majalah Tempo pernah memuat cerita tentang warga Amerika yang rajin menelusuri pesisir selatan Jawa demi menemukan reruntuhan Atlantis.

Sewaktu kuliah di UI, sahabat saya Diah Laksmi bercerita tentang anak muda keluaran UI dan ITB yang membentuk Turonggo Seto yang rajin melakukan ekspedisi demi membuktikan Indonesia adalah Atlantis.

Tak sekadar diskusi, mereka melakukan jelajah candi, menafsir ulang relief candi, dan mengemukakan teori bahwa ada banyak candi-candi lain yang jauh lebih hebat, namun masih terkubur.  Latar belakang pendidikan mereka adalah pertambangan dan geologi, namun sangat meminati kajian masa silam.

Pendekatan mereka adalah gabungan dari metode saintifik, yakni metode ilmiah dan teknologi untuk mengenali batuan, dan pendekatan klenik. Memang aneh kedengarannya, sebab bagi anak-anak muda itu, klenik adalah metode yang diwariskan sejak lama oleh nenek moyang, dan bisa melengkapi metode ilmiah.

Entah bagaimana menjelaskan persoalan ini secara ilmiah. Bagi saya, diskusi tentang Atlantis selalu terkait dengan diskusi masa kini dan masa silam. Ketika kita membayangkan kejayaan masa silam, maka itu adalah pertanda bahwa kita gelisah melihat masa kini kita yang hanya bisa menjadi penyaksi bangsa-bangsa lain yang unggul.

Ini adalah potret kekalahan kita menyaksikan bangsa lain yang sudah menjangkau ruang angkasa, sedangkan kita tidak punya cerita hebat masa kini. Maka, kita lalu mencari kejayaan itu di masa silam sembari menyesali kenyataan mengapa kita mengabaikan masa silam demi meniru bangsa lain.

Kita memilih bernostalgia pada sesuatu yang masih menjadi wacana, dikarenakan kegagalan kita membangun kejayaan itu di masa kini. Ada satu hal yang saya sepakati dari semua diskusi mengenai Atlantis di Indonesia. Yakni banyak misteri yang perlu diungkap.

Untuk itu, kita mesti mengembangkan berbagai studi dan riset demi mengungkap banyak misteri. Tapi di saat bersamaan, kita juga tak boleh alpa untuk membangun kejayaan di masa kini. Jika bangsa China bisa membangun negerinya menjadi negeri unggul di masa kini dengan memori kolektif kejayaan bangsanya di masa lalu, kita pun bisa melakukan hal yang sama. Iya khan?




0 komentar:

Posting Komentar