BEBERAPA waktu lalu, film Athirah yang
mengisahkan kiprah ibunda Jusuf Kalla tayang di layar-layar bioskop tanah air.
Publik mendapatkan gambaran seperti apa peran penting sosok ibu bagi Wakil
Presiden Jusuf Kalla. Kini, Jusuf Kalla kembali berkisah tentang orang penting
dalam kehidupannya. Ia bercerita tentang istrinya Mufidah, yang telah
menemaninya dalam mahligai pernikahan selama 50 tahun.
Ia menulis puisi yang merangkum pertemuan
dan perjuangannya mendapatkan Mufidah hingga akhirnya mereka menikah lalu
bersama-sama membangun bisnis. Puisi itu juga menyimpan banyak pesan-pesan
tersembunyi yang bisa diurai demi memahami satu keping kenyataan yakni di balik
satu sosok besar, terdapat banyak sosok hebat yang menjadi tanah gembur agar
sosok itu tumbuh kokoh, dengan daun dan ranting yang menjangkau mega-mega
impian.
***
BAPAK itu berdiri menuju panggung. Seluruh
pasang mata menyaksikan bapak itu, Haji Muhammad Jusuf Kalla, yang berjalan di
tengah sorotan lampu Hotel Dharmawangsa, Minggu (27/8) silam. Langkahnya tegap.
Sorot matanya memancar ketegasan. Ia akan bersiap membacakan puisi sebagai kado
ulang tahun perkawinan yang ke-50.
Usia 50 tahun perkawinan bukanlah usia
yang singkat. Semua orang bisa berikrar di hadapan penghulu untuk mengekalkan
ikatan cinta dalam kesediaan untuk hidup dalam mahligai pernikahan. Tapi tak
semua orang bisa mencapai tahun ke-50 pernikahan, dengan gelora dan perasaan
sebagaimana pasangan yang malu-malu saat dinikahkan.
Jusuf Kalla membacakan puisi yang ditulisnya
sebagai kado. Ia menulis puisi untuk istrinya, Mufidah, yang telah menemaninya
selama setengah abad. Puisi itu serupa esai pendek. Lebih mirip narasi atas apa
yang telah lewat. Isinya serupa perjalanan ke masa 50 tahun silam demi
menemukan diri yang masih muda dan berdegup saat melihat perempuan itu. Selama
ini, nyaris tak pernah terdengar Jusuf Kalla menulis puisi. Jika ia sampai
menulis dan membaca puisi, berarti ia hendak merangkum gelora dan perasaannya
sendiri. Ia hendak mengawetkan kenangan dan gemuruh rasa, lalu menjejalkannya
dalam kalimat-kalimat puitis.
Di bahagian awal, Jusuf mengisahkan
perjumpaan dengan Mufidah. Ia mengenal Mufidah di sekolah yang sama. Ayah dan
ibu Mufidah adalah guru yang bertugas di Makassar. Keluarganya adalah bagian
dari sejumlah warga beretnis Minang yang tinggal di Makassar sejak lama. Ia
mengatakan:
Aku pertama kali melihatmu, waktu kita di
SMA. Kita bersebelahan kelas. Karena kau adik kelasku. Aku terpesona dengan kesederhanaanmu. Walaupun
kau sempat takut tak peduli padaku. Aku menyukaimu pada detik pertama
aku melihatmu. Tujuh tahun lamanya aku berusaha untuk mendekati dan
meyakinkanmu. Tapi engkau seperti jinak-jinak merpati. Sama dengan nama
jalan di depan rumahmu. Antara mau dan tidak sering membingungkan tidak
jelas.
Sebagai orang
Bugis, Jusuf Kalla menyadari adanya perbedaan budaya di antara mereka. Dalam
banyak hal, budaya Bugis dan Minang memiliki pertautan, tapi juga punya banyak
perbedaan. Budaya Bugis lebih bersifat patrilineal, yakni suatu adat yang
mengatur keturunan berasal dari pihak ayah. Sementara Minang justru bersifat
matrilineal, yang menekankan pentingnya garis kekerabatan ibu.
Keberadaan
orang-orang dari tanah Sumatera di Makassar telah berlangsung lama. Orang
Melayu dan Minang telah lama berada di Sulawesi. Sejarah mencatat, sekretaris
Sultan Hasanuddin dahulu adalah Encik Amin, seorang Minang yang kemudian
masyhur karena menulis Syair Perang Makassar. Syair ini menggambarkan Perang
Makassar yang disaksikan Encik Amin pada tahun 1667-1668. Terhadap perbedaan
budaya ini, Jusuf mengatakan:
Akar budaya kita memang berbeda, antara
Bugis dan Minang. Orangtuamu
terkadang khawatir karena engkau anak perempuan satu-satunya. Adiknya laki-laki
semua. Orangtuaku pula sering salah mengerti adat Minang. Kenapa
perempuan lebih banyak menentukan. Perbedaan yang nyaris menduakan kita. Kalau
ke rumahmu harus siap untuk sabar. Mendengar petuah bapakmu dengan suara yang
pelan, seperti guru menasehati muridnya. Karena memang bapak dan ibumu
juga guru.
Aku ingin menemuimu tapi bapakmu
menyembunyikanmu. Kau baru dipanggil keluar kalau saya permisi pulang. Sebenarnya itu termasuk perilaku yang
kejam. Datang ke rumahmu sore hari sebelum magrib, begitu magrib aku
berdiri dan adzan dengan fasih. Keluar salat berjamaah yang diimami oleh
bapakmu. Ini juga penting dengan bapakmu aku juga lagi shalat.
Setelah
mengisahkan pertemuan dengan Mufidah, bait-bait selanjutnya mengisahkan
bagaimana pejuangannya untuk memenangkan hati Mufidah. Saat Mufidah terdaftar
sebagai mahasiswi Fakultas Ekonomi di Universitas Muslim Indonesia (UMI), Jusuf
lalu menjadi asisten dosen agar bisa mengajar di kelas Mufidah, Saat Mufidah
bekerja sebagai kasir di Bank BNI, lagi-lagi Jusuf menjadi nasabah yang paling
sering berkunjung, Hingga akhirnya Mufidah melihat ketulusan itu hingga
akhirnya bersedia menikah.
Setelah tamat SMA kau bekerja di BNI.
(Lalu) kuliah sore. Sampai kuliah aku juga bekerja di kantor
bapakku, agar bisa sering terbang, sekali seminggu aku minta menjadi asisten
dosen dan mengajar di kelasmu tanpa honor. Semua itu agar bisa bertemu
denganmu, dan melihat senyummu. Keras sekali perjuanganku tapi demi
menatapmu. Akhirnya kau luluh juga.
Ayahku akhirnya memahami perbedaan adat
kita, selain ibuku dan sahabatnnya memberi nasihat. Mungkin juga
setelah membaca buku Hamka, tenggelamnya kapal Van der Wijk. Semua itu
karena untuk melihat senyummu. Saat orangtuaku melamarmu untuk jadi
istriku, aku melihat cakrawala tersenyum perjuangan cinta bertahun-tahun yang
berbuah manis.
Pernikahan
menjadi awal bagi kerja keras keduanya. Mufidah yang tadinya bekerja di BNI,
akhirnya memilih untuk mendampingi Jusuf mengelola bisnis. Jusuf tumbuh di
iklim keluarga yang berprofesi sebagai pebisnis. Ayahnya, Hadji Kalla, adalah
pebisnis angkutan yang masa itu menguasai trayek Makassar – Bone. Ibunya,
Hajjah Athirah, adalah pedagang kain sutera yang juga memiliki bisnis toko
kelontong.
Jusuf Kalla
tumbuh dalam iklim keluarga yang menjadi lahan gembur bagi dirinya untuk
menggapai banyak hal. Ayah dan ibunya adalah pebisnis, juga aktivis organisasi
kemasyarakatan. Sejak masih menjadi mahasiswa, Jusuf telah merasakan pengaruh
orangtua dalam membesarkan kariernya. Ia belajar di rumah bagaimana
berinteraksi dengan banyak orang, serta menguatkan karakternya.
Di masa
mahasiswa, Jusuf adalah aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan juga
penggerak Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Rumahnya kerap menjadi
tempat berkumpul bagi para aktivis mahasiswa. Ditambah lagi ayahnya adalah
pengurus Nahdlatul Ulama (NU), sedang ibunya telah lama aktif di Aisyiyah,
Muhammadiyah. “Di rumah saya itu ganti-ganti orang rapat. Hari ini NU, besok
Aisyiyah. Kalau HMI tiap hari. Tapi ibu tidak pernah mengeluh, Tiap malam
ratusan orang datang. Ibu saya masak, lalu pergi tidur di kamarnya, Teman-teman
kalau mau makan langsung ke dapur ambil sendiri, Tapi ibu tidak pernah merasa
terganggu,” katanya dalam buku Inspirasi JK.
Setelah
menikah, istrinya, Mufidah, pun ikut terlibat membantunya mengurusi banyak urusan
bisnis. Peran Mufidah sangat vital dalam hal membantu bisnis, juga mengurus dan
merawat semua anak-anak. Jusuf mengatakannya dalam bait berikut:
“Setelah kita menikah, aku menjalankan
perusahaan ayahku. Kau sekretaris, merangkap keuangan karena kita belum bisa,
memegang pegawai tambahan. Di samping mengasuh anak dan mengurus rumah dengan baik. Anak-anak
kita kau asuh sendiri tanpa suster-suster seperti cucu kita sekarang.”
Selama 50 tahun kau chef terbaik yang
kukenal karenanya kita jarang makan di restoran. Di kantor pun setiap hari kau kirim makanan.
Teman-teman selalu menunggu apa yang akan kau hidangkan. Kau tahu
cintamu terus mengitariku karena hidangan yang kau buat. 50 tahun kita jalani,
33 tahun di Makassar dan 17 tahun di Jakarta. Sungguh suatu perjalanan
yang panjang.
Bisa dikatakan
bahwa lingkungan membentuk Jusuf Kalla mencapai posisi seperti sekarang. Ayah
dan ibunya mengasah insting bisnisnya. Istrinya menjadi partner sekaligus
membantunya untuk mengurus rumah tangga dan anak-anak. Peran lingkungan sangat
besar dalam membentuk Jusuf hingga menjadi sosok penting di masa kini.
Dalam buku Outliers,
yang pertama kali terbit tahun 1988, Malcolm Gladwell mengatakan bahwa
kesuksesan tidak berasal dari angka nol. Semua orang berutang pada orang tua
dan dukungan orang lain. Kesuksesan adalah apa yang sering disebut oleh para
sosiolog sebagai “keuntungan yang terakumulasi”. Tempat dan kapan seseorang
tumbuh besar memiliki pengaruh yang cukup besar.
Gladwell
menolak anggapan tentang keberhasilan yang semata-mata dipicu oleh kecerdasan.
Menurutnya, keberhasilan seseorang menggapai satu kesuksesan tidak bisa dilihat
hanya dari satu aspek saja, melainkan terdapat hal yang lebih rumit, kompleks,
dan hanya bisa dipahami dengan menelusuri kehidupan orang tersebut.
Gambaran yang
paling sederhana namun gamblang dipaparkan Gladwell dalam cerita singkat
mengenai pohon. Pohon ek tertinggi di hutan menjadi yang tertinggi bukan
semata-mata karena dia paling gigih. Dia menjadi yang tertinggi karena
“kebetulan” tidak ada pohon lain yang menghalangi sinar matahari kepadanya,
tanah di sekelilingnya dalam dan subur, tidak ada kelinci yang mengunyah kulit
kayunya sewaktu masih kecil, dan tidak ada tukang kayu yang menebangnya sebelum
dia tumbuh dewasa.
Pada masa itu,
Jusuf Kalla menerima amanah dari ayahnya untuk membesarkan perusahaan dalam
bendera NV Hadji Kalla. Biarpun
perusahaan itu kemudian core bisnisnya adalah otomotif, akan tetapi juga
merambah ke sektor komoditas, mulai dari jagung, kakao, coklat, dan sebagainya.
Pernah Jusuf diprotes direkturnya. “Bapak tiap hari urus petani, beras, jagung
kakao, atau tambak. Kapan bisa fokus jual mobil?” Jusuf menjawab, “Yang urus
jual mobil itu adalah kamu. Tugas saya adalah mencari pembeli mobil. Kalau saya
tidak urus pertanian, meningkatkan produksi jagung, meningkatkan produksi
kakao, ikan, dan udang, siapa yang akan beli mobil?”
Mufidah menjadi
mata rantai penting yang membantu Jusuf menggapai banyak hal. Jika ayah dan
ibunya menyediakan peta jalan agar anaknya eksis di bisnis, Mufidah menjadi
sosok yang setiap hari menyaksikan berbagai sisi suka dan duka suaminya. Ia
hadir di saat-saat paling sulit, hingga saat menggembirakan, Ia menyaksikan
jatuh bangunnya suaminya di ranah politik, hingga akhirnya sukses menjadi wakil
presiden untuk kedua kalinya, suatu capaian sejarah yang belum tentu bisa
dulang oleh anak bangsa lainnya.
Demi mengapresiasi posisi Mufidah yang
mendampingi segenap hari-harinya, Jusuf menulis kalimat penutup yang sangat
indah. Kalimat ini adalah refleksi dari apa yang dirasakannya sebagai seorang
lelaki Bugis yang sering tidak terbuka menyampaikan apresiasinya. Ia
mengatakan:
“Kau perempuan hebat istriku. Dalam aura
kesederhanaanmu tersimpan energi yang dahsyat. Orang Bugis tak fasih berkata-kata indah.
Kecintaannya ditunjukkan oleh perilaku, bahasa tubuh, dan senyumnya. Untuk
romantis pun aku tak pandai ucapkan dengan kata-kata. Karena itu aku
minta maaf kepadamu, karena selama 50 tahun aku tak pernah beri bunga sambil
berucap i love you.”
Jusuf memang tak terbuka mengatakan cinta.
Tapi seluruh gerak-gerik dan bahasa tubuhnya menggambarkan cinta itu. Entah
disengaja atau tidak, dia menyimpan kata-kata cinta itu setelah 50 tahun hidup
bersama.
Di saat banyak orang dengan mudahnya
mengucapkan cinta setelah itu pergi begitu saja, Jusuf menunggu 50 tahun untuk
menyampaikan kata itu. Dia memang baru pertama mengungkapkannya, tapi Mufidah
tahu, di balik setiap tatap suaminya, di setiap resah dan gelisah lelaki itu,
atapun di setiap senyum dan bahagianya, terdapat banyak cinta yang
butir-butirnya selalu memperkaya hari-harinya.
Bogor, 29 Agustus 2017
0 komentar:
Posting Komentar