ilustrasi (foto: semarangpedia.com) |
Pada mulanya, Undang-Undang Desa
diharapkan bisa menumbuhkan kemandirian, membangun kekuatan di desa-desa, juga
posisi tawar masyarakat desa atas kota. Pada mulanya, pemberian dana desa
diharapkan akan menjadikan desa sebagai kekuatan ekonomi baru. Ternyata,
semuanya tak sesederhana itu.
Seiring dengan penguatan desa, yang
terjadi kemudian adalah orang-orang kota berbondong-bondong ke desa. Mereka
membawa setumpuk aturan yang kian menghimpit masyarakat desa.
Atas nama ilmu pengetahuan, dibangun
sejumlah aturan-aturan rumit yang hanya memosisikan orang desa hanya sebagai
penonton sekaligus obyek yang diawasi semua pihak. Desa kehilangan otonomi,
sebab tunduk pada sejumlah aturan dan pengawasan yang justru sengaja dibuat
orang kota demi meminggirkan orang desa.
***
Sahabat itu menjadi kepala desa di usia
muda. Ia adalah aktivis mahasiswa yang memutuskan untuk kembali ke desa demi
berbuat sesuatu. Batinnya dihangatkan oleh idealisme untuk melakukan banyak
hal. Ia melihat desa sebagai ladang pengabdian. Dengan menjadi kepala desa, ia
akan membuat perubahan, minimal menghadirkan wajah birokrasi yang ramah dan
memihak masyarakatnya.
Ia berada pada momen sejarah yang tepat.
Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Desa No 6 Tahun 2014. Desa-desa
dilihat sebagai entitas yang otonom. Desa-desa hendak dikuatkan sebab dianggap
sebagai kekuatan republik di garda depan. Desa diberi ruang untuk melakukan
perencanaan. Desa pun diberi anggaran dana desa untuk mengimplementasikan
perencanaan. Di atas kertas, semua rencana itu akan menjadikan desa semakin
kuat. Tapi di lapangan, realitasnya tak sesederhana itu.
Dana desa menjadi bancakan proyek yang
jadi rebutan banyak pihak. Orang kota ke desa demi melirik dana desa,
memanfaatkan keluguan aparat desa demi sejumlah proposal, kemudian berpesta dan
berfoya-foya dengan sejumput dana itu. Sahabat itu mulai merasakan
ketidaknyamanan. Banyak orang-orang ke desanya sembari membawa proposal. Dana
desa yang dikelola pemerintah desa ibarat gadis manis yang hendak dipinang.
Ada yang menawarkan untuk membangun kajian
tentang perencanaan, ada yang menggodanya untuk membangun jalan desa dan
kantor. Banyak yang menawarkan rencana kerja, yang ujung-ujungnya hendak
meminta bagian dari dana yang dikucurkan ke desa.
Sahabat itu mengkhawatirkan banyak hal.
Desa juga menjadi obyek pengawasan dari banyak lembaga pemerintah. Kepala Desa
sering menerima intimidasi banyak pihak dengan berbagai kepentingan. Telah
banyak pejabat yang dipaksa masuk jeruji besi karena diduga hendak menilep
anggaran.
Beberapa kepala desa pun dicokok aparat
karena ketidakjelasan mekanisme pertanggungjawaban keuangan, yang mekanismenya
justru dibuat orang kota. Terdapat sejumlah prosedur dan aturan yang kian lama
kian terasa seperti kerangkeng yang semakin menghimpit orang desa.
Dua tahun setelah menjadi kepala desa,
sahabat itu menulis curhat di media sosial. Ia mengatakan:
“Kini setelah lahir UU Desa dan mendapat
kucuran miliaran dana desa, sepertinya terjadi paradoks dimana orang kota mulai
berduyun-duyun turun desa, kampung, bahkan gunung-gunung. Mereka berlagak
seperti perjaka yang ingin kenal dan memikat gadis desa, ingin memacari, ingin
mengawini bahkan banyak yang ingin memperkosanya. Namun sejatinya
pelecehan terhadap orang desa terutama para kepala desa masih terus berlanjut.
Di mana para kepala desa dan perangkat desa dianggap masuh katrok, tidak cakap
dan tidak mampu mengelola dana desa. Mungkin mereka berpikir hanya orang
kota yang cakap dan mampu mengelola uang dalam jumlah besar. Akibatnya
pengelolaan dana desa oleh pemerintah desa dikepung dari berbagai sisi lembaga
pengawasan. Mulai dari pengawasan daerah (Inspektorat , Saber Pungli oleh
Polres, TP4D oleh Kejaksaan Negeri Kabupaten, pers / wartawan, LSM, dsb). Masih
ditambah tim pengawasan dari pusat yang terdiri dari BPKP kepanjangan tangan
dari BPK, KPK, Satgas Dana Desa yang dipimpin oleh Mbah Bibit Samat Riyanto
(mantan Komisioner KPK ).”
Saya bisa paham curhat sahabat ini. Betapa
seringnya saya bertemu perangkat desa yang merasa kian dihimpit banyak aturan
dan keharusan. Pernah, saya bertemu sekretaris desa yang kebingungan saat
diminta untuk menyusun rencana pembangunan bagi kampung itu.
Bagi para pemimpin di kota, pihak desa
wajib menyusun rencana pembangunan. Melalui rencana, arah dan kebijakan desa
itu bisa dibuat, sebagai pedoman bagi seluruh aparat pemerintah desa. Warga pun
“dipaksa” menyesuaikan diri dengan desain tersebut. Bagi pihak desa, rencana
pembangunan itu amat sulit dibuat. Jangankan membuat dokumen berisikan rencana,
membuat tulisan di layar komputer pun mereka masih kebingungan. Rencana
pembangunan itu serupa pola-pola rumit yang susah dimengerti, namun
terpaksa harus dimengerti, demi menentukan nasib kampung itu di masa
depan.
Kita sedang menyaksikan satu jurang
epistemologis yang cukup lebar. Bagi orang kota, dokumen perencanaan itu harus
dibuat sebagai blue print pembangunan. Dokumen itu
mewakili rencana yang akan mengubah nasib ratusan warga kampung. Tapi bagi
orang desa, rencana itu terlampau kompleks untuk dipahami. Rencana itu
disusun oleh orang pintar, yang hanya bisa dipahami oleh orang pintar pula.
Saya teringat tulisan akademisi Tania Li.
Dalam buku Will to Improve (2012), ia menyebut rencana-rencana
pembangunan itu sebagai teknikalisasi permasalahan, yakni serangkaian praktik
yang menampilkan urusan yang hendak diatur sebagai ranah yang dimengerti, tegas
cakupannya, jelas ciri-cirinya, jelas tepiannya, serta mudah diamati
unsur-unsur di dalamnya, lalu mengumpulkan informasi mengenai teknik untuk
menggerakkan kekuatan serta unsur yang ditampilkan tadi.
Tampaknya, berbagai dokumen itu ibarat
penjara bagi warga desa. Tiba-tiba saja mereka ‘dipaksa’ mengikuti alur
berpikir orang kota, yang melihat desa laksana istana pasir yang mudah dibentuk
dan diarahkan. Padahal, bagi warga setempat, desa adalah semesta yang memayungi
semua aktivitas dan menjadi penanda keberadaan, yang merangkum sejarah saat
wilayah itu dibentuk.
Saat warganya datang dan pergi, saat
kelahiran dan kematian datang silih-berganti, saat sejarah menjadi saksi dari
setiap tragedi dan peristiwa yang memilukan hingga membahagiakan. Melalui
teknikalisasi permasalahan, desa menjadi satu pengertian yang mudah dimengerti
dan dikenali batas-batasnya. Yang bisa mengenali itu adalah para ahli yang
tiba-tiba saja melihat desa serupa maket perumahan, yang jalan-jalannya
diketahui melalui lambang-lambang dan angka-angka.
Melalui teknikalisasi, orang-orang pintar
dari kota datang ke desa laksana sinterklas yang hendak mengajari warga kampung
untuk mengenali wilayahnya.
Pengetahuan orang desa menjadi tak
penting. Mereka dianggap tidak mengenali wilayahnya. Mereka diwajibkan
mengikuti pola dan alur yang dibuat oleh orang-orang kota, demi untuk
menjelaskan wilayahnya sendiri.
Ketika mereka tidak mengisi data potensi
wilayah berdasarkan teknikalisasi permasalahan, sebagaimana persepsi orang
kota, maka mereka dianggap tidak mengenali wilayahnya. Dengan cara itu, mereka
tidak bisa mendapatkan dana dari pemerintah pusat. Birokrasi kita disusun
dengan hierarki, dari pusat hingga kampung. Sepanjang hierarki itu, dana
mengucur hingga ke titik terjauh.
Melalui teknikalisasi, penyaluran dana
desa menjadi rumit. Hanya yang memenuhi syarat, ataupun bisa mengenali
wilayahnya, lalu bisa menyusun rencana matang, yang akan mendapatkan kucuran
dana. Ketika tidak menyusun tertib administrasi yang rapi, maka pihak desa tak
dianggap cakap untuk mengelola anggaran.
Tiga tahun setelah UU Desa diberlakukan,
saatnya kita membuat refleksi diri. Saatnya mengajukan pertanyaan, apakah
desa-desa kita kian kuat, ataukah justru tenggelam dalam rutinitas birokrasi
serta pengawasan yang berjenjang itu?
Saatnya merenung, apakah mereka dibiarkan
kuat dan hebat, namun di sisi lain, negara memegang “ekor”-nya agar tak bisa ke
mana-mana?
Hebatnya, sahabat kepala desa itu selalu
optimis. Ia tak ingin dikalahkan situasi. Ia menyisakan satu lagi paragraf
dalam tulisannya di medsos. Ia mengatakan, “Saudara-saudara ku para kepala desa &
perangkat desa seluruh Indonesia, sebanyak itulah pihak yang mengawasimu ,
namun tetaplah melangkah kedepan, berdiri tegak dengan langkah gagah, jika
terpeleset akan saya papah, kalau terjatuh akan kugendong.”
Dalam curhat sahabat itu, kita temukan
sesobek kenyataan di desa kita.
0 komentar:
Posting Komentar