|
senja di Pulau Buton |
HARI itu pria bernama Jan Pieterszoon (JP) Coen
menatap ke arah daratan dengan berdebar-debar. Dihembus semilir angin
sepoi-sepoi dan ombak gemerisik, kapal kayu
(galley)
yang ditumpanginya mulai memasuki sebuah selat yang memisah Pulau Buton dan
Pulau Muna. Ini
tahun 1613, beberapa
tahun setelah Kongsi Dagang Belanda (VOC) pertama memasuki Nusantara setelah
sebelumnya Portugis menggenggam selat Malaka.
Kolonialisme Eropa tengah berada
di titik puncak ketika VOC mulai mengirimkan armada untuk mencengkeram
negeri-negeri di belahan timur jauh. Seluruh resource atau sumber daya diarahkan untuk menggerakkan pasang naik
industrialisasi Eropa.
Saya membayangkan Coen menatap dengan hasrat penuh keingintahuan yang
menggelegak. Tepat di hadapannya terbentang pelabuhan yang merupakan
bagian dari imperium dengan goresan panjang dalam kanvas sejarah peradaban
negeri di belahan timur Nusantara.
Kesultanan Buton memiliki magnet kuat bagi yang hendak mengitari
jazirah timur Nusantara. Beredar mitos yang dituturkan banyak penjelajah bahwa upaya menjangkau
dunia timur hanya bisa dilakukan dengan cara menaklukan daerah pesisir yang
menjadi jalur pelayaran internasional. Dan salah satu di antaranya adalah
Kesultanan Buton.
Pria kelahiran Hoorn --di daerah pinggiran Belanda dan kelak termasyhur
sebagai pendiri Kota Batavia ini-- dibius ketakjuban ketika melihat pulau yang
indah dari geladak kapal. Bau harum rempah-rempah seakan belum hilang dari
hidungnya ketika melintas di Kepulauan Tukang Besi. Kini, ia mulai mencium
aroma yang lain, aroma ketakjuban atas pelabuhan yang indah dan menawan.
Tanggal 1 Januari 1613, Coen mencatat kunjungannya itu dalam surat yang
dikirimkan kepada
Bewindhebber yang
berkedudukan di Banten. Coen seakan memekik dan berteriak, “
Hier is een zeer schoone reede en de baye“
(di sini suatu pelabuhan dan teluk yang sangat indah). Ia juga mengatakan, “Ini
merupakan negeri yang besar dan juga berpenduduk, yang mempunyai kayu bagus
yang sesuai dengan harapan dan keinginan.“
Coen dikepung semangat saat melihat potensi pelabuhan serta kayu, yang
kesemuanya bisa menjadi alasan untuk dikuasai. Ia melihat Buton sebagai kawasan
strategis untuk menguasai jalur pelayaran demi menggenggam negeri-negeri di
belahan timur yang dikenal kaya dengan rempah-rempah. Letak pelabuhan yang
strategis ini menjadi cikal bakal dari persentuhan masyarakat Buton dengan
berbagai anasir globalisasi.
Seperti halnya bangsa maritim lainnya, bangsa Buton seakan
mengamini petuah bangsa Bajo bahwa adalah lautan adalah suatu wilayah luas yang
bisa disinggahi siapa saja. Bahwa di atas lautan, semua manusia berbaur menjadi
satu dan saling belajar bagaimana menaklukan ombak demi menjaga keseimbangan
perahu dan tidak tenggelam.
Memang, jejak maritim manusia Buton tercatat dalam berbagai laporan dan
kesaksian para penjelajah dan mereka yang pernah berhadapan dengan debur ombak
perairan Nusantara. Mereka punya tradisi dan kemampuan navigasi untuk
mengarahkan lambo dan sope-sope menantang lautan.
Lewat
tradisi maritim itu, mereka bersentuhan dengan berbagai kebudayaan dan mengkonstruksi
tubuh kesultanan. Sumber sejarah lokal menegaskan kerajaan ini pertama kali
dibangun dengan analogi sebuah perahu
.
Inilah yang membangkitkan kepenasaranan bangsa Eropa.
Bagi Coen, Buton bukanlah wilayah yang asing. Di tahun 1613, Kapten Apollonius
Scotte atas nama Gubernur Jenderal VOC telah mengadakan kontak dan persahabatan
dengan Sultan La Elangi atau Dayanu Ikhsanuddin. VOC –yang di Buton disebut Kumpeni Walanda—bergerak cepat. Buton sebagai
bagian dari jalur pelayaran harus cepat digenggam sebelum niat itu didahului
oleh bangsa lain seperti Inggris.
Gerak Inggris yang juga hendak menjangkau sejumlah negeri di jazirah timur
Nusantara, telah memantik hasrat persaingan bangsa Belanda dan bangsa lainnya.
Apalagi, mengacu pada Keay (1993), pedagang Inggris bernama David Middleton
yang bernaung di bawah bendera perusahaan English
Indian Company (EIC) justru lebih dahulu mengadakan kontak dengan Sultan
Buton, ketimbang bangsa Belanda.
Sejarah mencatat, tanggal 2 Mei 1608 Middleton
menembakkan meriam penghormatan dari kapalnya yang bernama Consent setelah singgah ke sejumlah pulau di sekitar Buton. Ia sempat
dijamu oleh sultan sehingga membangkitkan simpati yang dalam. Dalam catatannya,
ia menyebut banyaknya kapal yang singgah membawa cengkeh serta keakrabannya akrab
dengan pelaut Buton.
Meski Inggris lebih dahulu hadir, namun VOC lebih pandai memikat hati
sultan. Dinamika eksternal bangsa Buton yang selalu khawatir dengan ancaman
dari Gowa dan Ternate menjadi pintu masuk bagi VOC untuk mulai membangun
kontrak atau kontrati (Zuhdi 1999).
Tradisi lisan banyak mengisahkan bagaimana Buton senantiasa berada pada
tarik-menarik dari dua kekuatan tersebut. Sikap ekspansi Gowa --yang ditunjang
dengan armada persenjataan yang perkasa-- untuk menguasai kawasan timur menjadi
ancaman bagi banyak bangsa termasuk Buton.
Di sisi lain, banyaknya bajak laut
yang berasal dari Tobelo (Ternate) yang menguasai perairan kawasan timur juga
telah menjadi kekhawatiran yang harus segera diatasi.
Dalam sejumlah tradisi
lokal dinyatakan: "Ane akowii ngalu
bhara, tajagaka Gowa, ane akowii ngalu timbu, tajagaka Taranate (Kalau tiba
musim barat, kita bersiap-siap menghadapi Gowa, dan kalau tiba musim timur,
kita bersiap-siap menghadapi Ternate).
Kekhawatiran inilah yang kemudian membuat
sultan merentangkan tangan untuk diplomasi dengan siapa saja bangsa yang
sanggup menghadirkan rasa aman tersebut. Itu celah yang kemudian dilihat VOC.
Lewat sejumlah misi diplomatik, termasuk yang diikuti Coen, bangsa barat mulai
membangun dialog dengan Buton. Sejarah persekutuan abadi mulai dihamparkan.
***
KETAKJUBAN dan kegairahan bangsa barat yang pernah singgah di negeri ini
tercatat rapi dalam berbagai baris catatan lapangan (fieldnote) yang mereka hasilkan. Pelukisan suatu bangsa secara
mendalam –atau yang lazim disebut etnografi—menjadikan pintu masuk bagi bangsa
barat untuk mengenali timur.
Barat melihat timur tidak lebih dari sebuah
eksotisme yang kemudian berujung pada penaklukan. Kapitalisme dan hasrat akan
kejayaan telah menggiring bangsa barat untuk menjangkau negeri-negeri yang berlimpah
sumber daya.
Segala hasil bumi dan eksotisme timur telah menjadi komoditas yang
diperebutkan demi menggerakkan mesin industrialisasi Eropa yang mulai bergerak secara
perlahan. Sayangnya, persaingan dagang antar berbagai perusahaan multinasional
telah menjadikan bangsa timur sebagai lanskap pertempuran sehingga sejarah
pertautan kebudayaan tidak lebih dari cerita yang berbalut darah dan air mata.
Namun kehadiran bangsa barat di belahan timur tidak lantas bisa ditafsir
sebagai upaya pencaplokan dan kemudian menjadi semacam dewa yang menentukan
hidup matinya bangsa jajahan. Ternyata, kehadiran bangsa barat di Nusantara
tidak lantas menghadirkan penjajahan dan nestapa berkepanjangan kepada
masyarakat setempat, sebagaimana digambarkan dalam buku sejarah di sekolah
menengah.
Kehadiran bangsa barat itu harus dilihat sebagai momentum dialog dan
upaya saling belajar antar berbagai kebudayaan. Hubungan antara VOC dan Buton
tidak selalu dilihat sebagai hubungan penjajahan, namun ada pola-pola yang
menunjukkan adanya kerjasama dan kadang-kadang diwarnai perselisihan.
Beberapa
waktu yang lalu, saya berkesempatan untuk berkunjung ke Ternate dan ikut dalam
tim yang menyusun profil daerah tersebut. Ternyata, citra tentang VOC dan
Belanda bukanlah citra kompeni penjajah yang kerap menyiksa warga sehingga menghadirkan
nestapa berkepanjangan.
Di sinilah, pentingnya memandang aspek yang sifatnya kontekstual dalam membaca
sejarah suatu kebudayaan.
Catatan harian para penjelajah barat di negeri ini tidak melulu berisi
ketakjuban sebagaimana ditunjukkan para antropolog yang melihat masyarakat
primitif (savage), catatan itu
terkadang lebih jujur dan berkisah tentang realitas secara apa adanya.
Hal ini
bisa dimaklumi sebab barat lebih dulu berkenalan dengan tradisi sains dan
kaidah berpikir rasionalitas untuk melakukan verifikasi ilmiah. Dalam konteks
Coen di tanah Buton, catatannya juga bercerita dengan jujur –meski kadang
terlihat agak sinis—terhadap situasi yang disaksikannya.
Ia tidak hanya
menemukan pelabuhan dan teluk yang indah, namun juga bercerita tentang
kemiskinan penduduknya serta tradisi perbudakan yang sudah berurat akar. “Di sini terdapat rakyat miskin, budak
murah, dan orang tidak banyak dapat berdagang di sini. Di sini, penduduk makan
ubi yang disebut calabi,“ katanya.
Tradisi perbudakan yang sangat kuat ini menunjukkan bahwa meskipun tradisi
sufisme sangat kuat mendarahdaging dan merasuk dalam tata cara serta aturan
kesultanan, namun sejumlah praktik masa pra-Islam juga hadir di negeri ini.
Sejarah
bertutur di zaman ketika Islam mulai menyebar di jazirah Nusantara, masyarakat
Buton sudah menjelmakan Islam dengan tradisi sufistik dan tasawufnya sebagai
peta untuk mengatur segala urusan ketatanegaraan dan keseharian.
Melalui Islam,
masyarakatnya menyusun mekanisme pemerintahan sehingga seorang sultan bisa
dimakzulkan dan dijerat lehernya dengan tali yang ada di payung yang
menaunginya ketika perilakunya telah melabrak seluruh tatanan nilai yang
ditegakkan.
Fenomena perbudakan juga menunjukkan bahwa masuknya Islam ke tanah Buton
tidak lantas menenggelamkan tingkah polah atau kebiasaan-kebiasaan masyarakat
yang sudah ada sejak masa sebelumnya.
Malah, kehadiran Islam justru mengalami
sintesa atau percampuran dengan berbagai unsur yang sebelumnya sudah lebih dulu
ada di masyarakat Buton. Kehadiran Islam justru tidak menghapuskan struktur dan
pelapisan sosial serta tradisi perbudakan yang sudah lebih dulu mapan ketimbang
Islam.
Dalam konteks ini, sangat relevan berbicara tentang globalisasi yang
lanskapnya bisa dikenali dengan melihat fenomena Buton.
***
SETIAP kali membaca berbagai catatan sejarah tentang Buton, saya selalu
diselimuti rasa kagum. Saya tersentak bahwa pada kepingan realitas di zaman
sebelumnya, nenek moyang Buton telah mengadakan kontak dan negosiasi dengan
berbagai kebudayaan sekaligus menentukan posisinya di tengah jalur pelayaran
internasional.
Di tanah ini, globalisasi dan titik temu berbagai kebudayaan
bukan sekedar wacana yang muncul belakangan dan menjadi konsekuensi dari
kemajuan teknologi dan infornasi, namun sudah menjadi fenomena yang lazim sebab
terjadi secara alamiah.
Buton sejatinya juga menjadi lanskap atau bentang globalisasi itu sendiri
sebab sebahagian besar penduduknya merupakan pendatang yang berasal dari
berbagai bangsa dan kebudayaan. Sumber sejarah setempat menyebutkan bahwa sebelum
Islam hadir, kerajaan ini dibangun oleh sekelompok pendatang dari Johor di
bawah pimpinan Sipanjonga sekitar akhir abad ke-13 (Zahari 1977).
Kelompok
pendatang inilah yang diyakini sebagai peletak dasar pemerintahan, adat, dan
kebudayaan. Selanjutnya datang pula para pendatang dari Johor lainnya yaitu
Sijawangkati, Sitamanajo, dan Simalui. Mereka berempat mendapat julukan Mia Patamiana.
Selain mereka, ada pula
kelompok lain yang datang pada permulaan abad ke-14 yang dipimpin seorang
panglima perang bernama Dungku Cangiang. Menurut tradisi lokal, nama itu adalah
nama samaran dari Kao Ching
,
seorang laksamana Mongol atau panglima perang dari Kaisar Kubilai Khan yang
hendak menghukum Raja Kertanegara di Kerajaan Singosari. Kelompok lain yang
juga datang adalah Wa Kaa Kaa yang diduga juga berasal dari Tiongkok serta
Sibatara yang diyakini berasal dari Majapahit.
Hadirnya berbagai kebudayaan itu kemudian bersintesis dengan kebudayaan
lokal yang sebelumnya sudah ada sehingga menjadi satuan kebudayaan yang unik
untuk dianalisis. Ketika Islam hadir di tahun 1540
yang dibawa Syaikh Abdul Wahid, Islam mengalami sintesis dengan berbagai keyakinan
tersebut sehingga memiliki corak yang agak berbeda dengan daerah lainnya di
Indonesia.
Dalam pahaman saya, Islam di Buton punya corak beragam mazhab yang
kemudian diperkaya dengan ritual dan tradisi lokal yang bernuansa Hindu. Hingga
kini, masih saja ada ungkapan “katauna
baramana“ yang diucapkan orang tua ketika melihat anaknya melakukan
tindakan yang melanggar norma nilai yang disepakati, ada pula ritual pakande jini sebagai sesajen untuk
menyembuhkan penyakit atau menghindari kemalangan lainnya.
Beragamnya unsur kebudayaan yang mempengaruhi Buton, barangkali ikut
membawa konsekuensi pada beragamnya sub etnis. Kebanyakan orang luar ataupun
peneliti asing kerap melihat Buton sebagai sebuah satuan yang tunggal, misalnya
memiliki bahasa serta adat istiadat yang sama di sepanjang wilayah kesultanan.
Mereka terkadang melihat Buton seperti halnya Jawa yang punya bahasa yang sama,
ataupun Bugis yang juga memiliki bahasa yang sama di ujung selatan Pulau
Sulawesi. Di kedua kebudayaan ini, kalaupun ada perbedaan bahasa, biasanya
hanya berupa dialek sehingga masing-masing masih bisa saling memahami. Namun di
Tanah Buton justru sungguh berbeda.
Antara bahasa satu dengan bahasa lainnya justru tidak saling memahami.
Meskipun ada kosa kata yang sama, namun tetap saja masing-masing akan tidak
saling memahami bila berbicara bahasa daerahnya sendiri-sendiri.
Hasil pemetaan
bahasa yang pernah dilakukan menunjukkan adanya sekitar 16 bahasa yang
digunakan di bekas wilayah Kesultanan Buton. Dengan keragaman bahasa seperti
ini, bahasa Wolio –yang digunakan di sekitar keraton dan penyelenggaraan
pemerintahan—menjadi bahasa pemersatu. Seiring dengan masuknya Buton ke dalam
atmosfer Indonesia, bahasa Indonesia yang kemudian menjadi bahasa pemersatu.
Uniknya, dalam hal adat-istiadat, antara daerah satu dengan yang lain, juga
memiliki perbedaan sehingga tetap tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang
tunggal. De Jong (1919) mengatakan, penyebutan Buton sebagai sebuah etnis
adalah penyebutan yang salah tempat.
Ia mengidentifikasi penduduk Buton dalam
lima kelompok besar: orang Buton mendiami Pulau Buton, orang Muna mendiami
Pulau Muna, orang Moronene mendiami Poleang dan Rumbia, orang Kabaena mendiami
Pulau Kabaena, dan orang Pulo mendiami Kepulauan Tukang Besi (Zuhdi 1999).
Klasifikasi ini agak menyederhanakan realitas. Penduduk di Pulau Buton saja
memiliki tradisi dan kebudayaan berbeda, seperti halnya orang Kulisusu yang
mendiami Buton Utara. Klasifikasi ini juga tidak memasukkan orang Bajo sebagai
etnik besar yang mendiami banyak tempat di Buton. Padahal, keberadaan mereka
sebagai bangsa yang mendiami lautan sudah cukup banyak dijelaskan dalam banyak
pembahasan tentang Buton.
Dalam berbagai diskusi dengan sejumlah teman antropolog, saya kerap kali
mengatakan bahwa Buton adalah suatu konsep politik negara (state) yang di dalamnya terdapat persekutuan berbagai bangsa atau
etnik. Istilah negara adalah konsep politik, sedangkan istilah bangsa merujuk
pada konsep etnik.
Benedict Anderson (1999) mengatakan, kesadaran kebangsaan lahir
dari proses saling membayang-bayangkan sesuatu. Proses ini melahirkan sebuah
solidaritas atau ikatan kultural yang kemudian diperkukuh dengan hadirnya musuh
bersama
.
Dalam konteks Buton, kesadaran sebagai bangsa
Buton lahir dari proses membayangkan bersama yang diperkukuh dengan adanya
musuh bersama yaitu bajak laut Tobelo maupun pasukan Gowa.
Masing-masing etnik
sama-sama berikrar untuk berada di bawah panji-panji Kesultanan Buton untuk
menghadapi musuh bersama. Kesadaran inilah yang memperkukuh keberadaan sebuah
negara.
Satu hal yang mencengangkan adalah kekayaan dan keragaman kebudayaan itu
justru bisa dikelola ke dalam suatu struktur pemerintahan serta relasi antara
negara induk dan jajahan. Iklim multikulturalisme justru tumbuh subur dan bisa
dikelola dengan baik sehingga sepanjang sejarah Buton, tidak pernah terdengar
ada konflik berskala masif.
Hingga kini, belum ada satu pertempuran atau
semacam “perang sipil“ di kalangan etnis-etnis yang ada di Buton.
Konflik-konflik itu justru dikelola dengan positif secara internal melalui
mekanisme pemerintahan yang di dalamnya terdapat otonomi atas 72 kadie atau wilayah di bawah kesultanan.
Masing-masing kadie, memiliki otonomi
dan kebebasan tersendiri untuk melaksanakan ritual kebudayaannya. Penduduk masing-masing
kadie dilarang mengambil atau
menggarap lahan di kadie lain, tanpa
memenuhi syarat yang ditetapkan penduduk kadie
yang bersangkutan (Zahari 1977).
Malahan, struktur sosial di masing-masing kadie juga berbeda dan tidak bisa diidentifikasi sebagai hal yang
sama. Sejauh ini, studi tentang Buton hanya berpusat di sekitar Keraton Wolio
yang merupakan sentrum dari aktivitas kesultanan, tanpa melihat lebih jauh
bagaimana struktur sosial dan adat-istiadat di wilayah lainnya.
Padahal,
masing-masing kadie otonomi dan
representasi di struktur kekuasaan kesultanan. Atas dasar keragaman ini,
mungkin bisa dipahami betapa tingginya dinamika dan kontestasi politik di
kalangan orang Buton. Bisa pula dipahami mengapa konsepsi kesultanan
digambarkan dengan analogi perahu yang harus selalu berada dalam kondisi
seimbang.
Barangkali di masa datang, perlu ada semacam riset yang mendalam tentang
multikulturalisme, di mana Buton bisa menjadi tempat bersemainya gagasan
tersebut. Berbagai konflik etnik yang terjadi di Indonesia, boleh jadi
disebabkan tiadanya apresiasi atas keragaman sehingga agresivitas kelompok
sangat mudah tersulut. Dalam hal ini, Buton bisa menjadi model bagaimana
mengelola konflik dan keragaman.
***
SAAT membaca
berbagai naskah tentang Buton, ada rasa
bangga serta rasa miris yang muncul serempak. Membaca masa silam yang gemilang
seakan menimbulkan kebanggaan selaku bangsa yang bersentuhan langsung dengan
berbagai tradisi dan pemikiran.
Persentuhan dengan globalisasi dan segala
anasir Eropa membersitkan kebanggaan sebagai bangsa yang punya orientasi
internasional yang kuat sembari menata segala urusan di dalam negerinya. Namun,
semua kebanggaan itu seakan menjadi rasa miris ketika melihat situasi hari ini, hanya tersisa di sisi
lain dari lembaran sejarah, tanpa ada ikhtiar dan prestasi besar yang
ditorehkan generasi masa kini.
Segala konsep kegemilangan dan jejak Kesultanan
Buton itu seakan-akan hanya didengungkan dengan miris oleh generasi Buton masa
kini semata dan di saat bersamaan terjebak dengan silau yang dipancarkan
kebudayaan lain. Ketika bersentuhan dengan berbagai tradisi dan jejak sejarah,
Buton tiba-tiba saja menjadi sesuatu yang tidak penting sebagai benang merah
masa silam untuk menatap masa kini.
Pertanyaan kritis yang kerap dilontarkan adalah apakah masa silam
benar-benar hadir dengan gemilang sebagaimana dikisahkan dengan sangat indah
dalam berbagai tuturan orang tua serta teks Buton masa silam?
Apakah benar ada kemegahan serta kejayaan
dalam kurva peradaban orang Buton? Pertanyaan seperti ini kerap mencuat tatkala
terjadi dialog-dialog dengan berbagai penganut kebudayaan lainnya. Saya sering
kali menemui pertanyaan seperti ini dari sejumlah mahasiswa Buton yang merantau
di berbagai kota.
Sebagai generasi yang hidup pada masa Orde Baru, saya juga sering menemui
komentar sinis dari berbagai kalangan penganut kebudayaan lain yang memandang
Buton hanya sebagai catatan kaki yang tidak begitu penting dalam dinamika sejarah
negeri ini. Buton seakan hanya dilihat sebagai bagian tidak penting dari
dinamika dan percaturan politik di Indonesia timur.
Dalam situasi sinisme dan “pengerdilan”
dari sejumlah orang yang tak punya pahaman sejarah yang baik, terkadang ada
rasa minder tatkala mengaku sebagai orang Buton. Dengan kata lain, mengaku
sebagai orang Buton adalah mengidentifikasikan diri dalam satu bangunan sejarah
kecil yang tidak begitu benderang dalam terang sejarah nasional Indonesia. Itu
terkadang menimbulkan rasa minder.
Menurut saya, justru di sinilah letak persoalannya. Kebanyakan tafsir
tentang sejarah Buton dan negeri-negeri kecil lainnya di Indonesia hanyalah
tafsir yang datang dari penganut kebudayaan dominan. Buton hanyalah dilihat
berdasarkan pahaman sejarah dominan seperti Makassar maupun Ternate.
Memang, kebanyakan
penafsiran sejarah di Indonesia timur, hanya didominasi oleh pandangan dari sejumlah
kerajaan besar yaitu Makassar (Gowa), Bone, Ternate, maupun Tidore.
Di sisi lain, penafsiran sejarah terkadang hanya dilihat dari sisi sejarah
nasional yang militeristik. Ilustrasi menarik yang bisa diangkat di sini adalah
sejarah Raja Bone bernama Arung Palakka.
Dalam berbagai versi sejarah
–khususnya buku pegangan sejarah nasional yang diajarkan di sekolah menengah--,
sejarah Arung Palakka dan Buton dilihat sebagai upaya pengkhianatan terhadap upaya
menentang penjajah Belanda di Indonesia.
Padahal, pada masa itu, Indonesia
belum terbentuk. Indonesia belum menjadi satuan politik dengan lanskap dan
teritori yang jelas terbentang. Indonesia masih menjadi sebuah imajinasi yang
dituturkan oleh para penjelajah dan etnograf Eropa pada abad pertengahan.
Dalam situasi seperti ini, yang lahir adalah sebuah pandangan yang hanya
memandang Buton dari tafsir hegemonik saja. Gramsci (1947) menilai, hegemoni
adalah pandangan yang bersifat “dari atas” atau memaksakan sesuatu agar dilihat
dengan cara pandang yang tunggal.
Dalam arus hegemonik, dialog atau
keseimbangan informasi menjadi hal yang tabu atau pantang dibicarakan. Hegemoni
meniscayakan ketunggalan informasi yang dikukuhkan lewat rekayasa tertentu. Situasi
ini sama persis dengan situasi sejarah pada masa Orde Baru yang hanya melihat
penafsiran dari sisi militer saja.
Nah, kembali pada persoalan tafsir sejarah Buton. Tiba-tiba
saja Buton harus dipandang dengan cara berpikir dominan dari arus sejarah. Kesulitan
yang kemudian muncul adalah penafsiran yang bersifat satu arah itu, tidak merangkum
tafsir atau pandangan orang Buton atas dunia atau peristiwa yang sedang terjadi.
Segala dinamika kelokalan dan cara pandang “dari dalam“ itu seakan terabaikan
dalam peta pemikiran sejarah. Pertanyaannya, apakah realitas harus selalu
dilihat dari pandangan dominan saja? Apakah sejarah Buton akan selalu
terabaikan dan hanya menjadi embel-embel saja dari berbagai periwayatan sejarah
nasional?
Pertanyaan ini telah menggelisahkan para penganut post-modernisme dalam
studi ilmu sosial. Dalam pahaman mereka, Buton hanya dilihat sebagai pinggiran
(periferi) yang tidak penting jika dilihat dari arus besar sejarah kontemporer.
Bagi kaum post-modernis, wacana tentang Buton telah ditekuk dalam kategori the other (yang lain) dari sejarah
dominan negeri ini. Di tengah arus yang didominasi pandangan tertentu itu,
sejarah Buton seakan terabaikan dan tidak mendapatkan tempat pada posisi yang
proporsional.
Antropolog Marshal Sahlins menganalisis isu ini dengan sangat
baik dalam karyanya The Island of History
(1985). Dalam pahaman Sahlins, sejarah Buton masih dilihat sebagai sejarah
pulau-pulau yang terabaikan (history of
neglected islands) yang dianggap
tidak penting dalam peta sejarah nasional kita.
Secara metodologis, isu ini sebenarnya sudah dipecahkan oleh para peneliti
sosial. Dalam ranah penelitian kualitatif, ini sama dengan mengulang perdebatan
tentang isu emik dan etik dalam memandang realitas sosial.
Mengacu pada Geertz (1973), emik adalah cara
memandang sesuatu berdasarkan perspektif lokalitas, sedangkan etik adalah cara
pandang berdasarkan perspektif peneliti. Cara pandang lokal sangat dibutuhkan
demi melihat suatu realitas secara utuh dan tidak dengan perspektif dominan
sebab kebudayaan harus dipahami sebagaimana penganut kebudayaan bersangkutan.
Jika tidak demikian, maka penafsiran suatu kebudayaan akan terjebak
padangan yang otoritarian dan hegemonik menurut pandangan sang penafsir. Bercermin
pada gagasan Sahlins dan Geertz, penafsiran tentang Buton adalah pulau sejarah kecil
yang berupaya merekam dinamika Buton berdasarkan cara pandang lokal.
Meskipun
ada tulisan sejumlah penulis yang bukan berasal dari Buton, namun cara pandang
mereka sangat khas dan mencerminkan dinamika kelokalan. Sebagaimana halnya
catatan penjelajah Eropa, catatan di sini sangat berharga untuk menyibak
berbagai pertanyaan apa sesungguhnya yang terjadi di masa silam. Satu intan
berharga yang akan memperkaya khasanah penafsiran atas sejarah Buton hari ini.
***
DI luar dari kecenderungan untuk melihat Buton dari
sisi luar, ternyata terselip pula persoalan jika melihat Buton hanya dengan
perspektif dari dalam. Masalah besar yang kemungkinan bisa muncul adalah adanya
upaya meromantisasi apa yang terjadi di masa lalu kemudian melihat itu sebagai
satu-satunya kebenaran, tanpa melihatnya secara kritis.
Berbagai narasi Buton
yang dituturkan dari generasi sebelumnya sering terlampau normatif dan
didramatisasi seolah-olah kebudayaan Buton adalah yang paling agung dan
adiluhung di banding kebudayaan lainnya di belahan bumi.
Rasanya, keyakinan
seperti ini seakan-akan ada dalam setiap kebudayaan sehingga rambu dan batasan
sosial mudah dikenali oleh setiap penganutnya. Namun, ketika keyakinan itu
berhadapan dengan sikap kritis atau terbuka, maka akan menimbulkan reaksi dan
perlawanan.
Hingga kini, masih saja banyak orang yang marah ketika kitab Murtabat Tujuh
–yang dulunya menjadi pedoman mengatur ketatanegaraan—dibahas dalam satu
diskusi. Padahal, diskusi dengan tema seperti ini justru sangat menarik untuk
menyebarkan informasi secara lebih luas.
Barangkali, ini terkait aspek
kekuasaan agar informasi tentang itu hanya beredar di kalangan terbatas yaitu
mereka yang bisa mengakses kekuasaan. Namun, setidaknya, itu bisa menjadi
cerminan bahwa masih banyak aspek kebudayaan Buton yang dianggap sebagai hal
yang tabu dan pantang untuk dibicarakan.
Ketika pembicaraan diarahkan bagaimana
dinamika orang Buton ketika berhadapan dengan bangsa lain, yang kemudian muncul
adalah episode kebesaran dan keperkasaan kemudian melihat yang lain dengan
sebelah mata.
Di satu sisi, ini tidak menjadi masalah sebab bisa memantik
nasionalisme kultural serta kebanggaan sebagai sebuah bangsa, namun
persoalannya akan sangat berbeda tatkala melahirkan sikap pongah serta
memandang remeh kebudayaan lainnya. Akhirnya, ikhtiar dialogis tidak bisa
terjalin dengan baik, padahal ada begitu banyak hal di masa silam dan masa
kini, yang sebaiknya diurai kembali demi mengetahui duduk perkara yang
sesungguhnya.
Dalam satu kesempatan, saya sempat berdiskusi dengan seorang akademisi di Makassar. Ia mendapat informasi bahwa di Bau-Bau, ada satu naskah yang dikeramatkan
oleh warga setempat. Masyarakat tidak berani membuka lembaran naskah itu untuk
dibaca dan dianalisis sehingga naskah itu cuma disimpan di satu masjid dan
dikeramatkan.
Dalam satu kesempatan, naskah itu berhasil dibukanya. Ternyata, isinya
adalah catatan tentang jual beli kuda yang ditulis dalam bahasa Arab gundul.
Saya tidak bermaksud mendebat sejauh mana kebenaran cerita tersebut. Hanya
saja, saya menangkap kesan bahwa masyarakat masih memitoskan banyak hal yang
terjadi di masa silam. Barangkali, mitologisasi kebudayaan Buton ini pula
yang bisa menjelaskan mengapa ada banyak
naskah atau catatan masa silam yang hingga kini tidak dipublikasikan secara
luas.
Sejauh ini, yang dikenal memiliki banyak koleksi naskah maupun arsip
Kesultanan Buton adalah keluarga Abdul Mulku Zahari. Padahal, sesungguhnya
masih banyak arsip dan naskah yang dikeramatkan di rumah-rumah warga, tanpa
upaya mendokumentasikannya secara memadai.
Pada konteks ini, kebudayaan Buton kerapkali diperlakukan sebagai sebuah
ideologi. Mengacu pada Marx, ideologi adalah kesatuan antara gagasan ideal yang
kemudian memberikan pengaruh pada aspek yang sifatnya praktis.
Ideologi
memiliki dua aspek baik positif maupun negatif. Bersifat positif ketika
keyakinan tersebut bisa menggiring lahirnya sebuah perubahan sosial sebab
menyediakan preferensi arah bagi penganutnya, namun bisa menjadi negatif
tatkala menjadi kesadaran palsu yang menggiring proses berpikir seseorang.
Jika
ilmu pengetahuan memiliki dimensi rasionalitas dan verifikasi kebenaran, maka
ideologi hanya punya satu dimensi yaitu keyakinan. Seorang penganut ideologi
akan mempercayai keyakinannya secara buta, tanpa membuka diri pada berbagai
penafsiran yang berbeda. Ideologi memaksa seseorang untuk selalu berpikir
dengan “kacamata kuda“ dan melihat kenyataan ataupun kebenaran hanya pada satu
sisi dan menutup pintu bagi cara pandang pada sisi yang lain.
Agar tidak terjerembab pada penafsiran yang bersifat ideologis, kebudayaan
Buton harus siap menghadapi beragam kritikan. Kritikan diharapkan bisa
mengeliminir hal-hal yang berbau mitologis dalam diri kebudayaan Buton.
Kritik
sangat diperlukan agar kebudayaan tersebut tidak disalahgunakan oleh kelompok
tertentu yang berjubah feodalisme. Artinya, kebudayaan tak selamanya benar dan
harus dilestarikan. Seperti halnya ideologi, kebudayaan pun kerap mengandung
aspek negatif yaitu ketika digunakan sebagai lipstick atau sekedar pemanis bibir oleh seseorang atau satu
kelompok.
Contoh kasus yang bisa diangkat adalah budaya korupsi dan kekerasan.
Ketika tindakan itu mengalami pengulangan berdasarkan pola tertentu, maka
kebudayaan sedang bekerja dan harus siap dikritik.
Kritik diperlukan agar satu
kebudayaan tidak senantiasa mandek dan menjadi komoditas politik dari
sekelompok orang yang memakai embel-embel kebudayaan. Kritik diperlukan agar
muncul energi kreatif yang bisa memperkaya makna kebudayaan bersangkutan.
Kebudayaan
Buton pun harus mendapatkan kegairahan-kegairahan baru lewat pertautannya
dengan berbagai penafsiran serta perspektif baru. Jika tidak demikian, maka
kebudayaan Buton akan menjelma menjadi monumen yang kaku, tanpa jejak apa-apa
di baliknya. Kebudayaan Buton bisa menjelma laksana benteng keraton yang sunyi,
tanpa pengayaan makna. Di sinilah letak relevansi kehadiran buku ini.
***
KRITIK sejarah yang dilakukan
secara arif, tidak hanya dilakukan atas segala kejadian yang menyangkut masa
silam. Meminjam ungkapan pemikir Ali Syari’ati
,
dimensi sejarah juga merangkum suasana hari ini dan hari esok sehingga manusia
bisa merencanakan sejarahnya di masa depan.
Pertautan Buton dengan modernisasi
sudah terjadi ketika Belanda mulai membangun Bau-Bau dengan pesat pada awal
tahun 1990-an. Pada perkembangannya, wilayah administrasi Buton ditetapkan oleh
Belanda sebagai ibukota Afdeling Sulawesi Timur pada tanggal 11 September 1911.
Penetapan itu dimuat dalam Lembaran Negara (Staatsblad)
tahun 1911 Nomor 606.
Penetapan ini kian memperlancar
dinamika ekonomi dan perubahan fisik ekologis Kota Bau-Bau. Kota-kota di Indonesia mulai mengalami
perubahan secara ekologis sejak abad ke-19. Hal ini ditandai dengan munculnya
pemukiman baru orang-orang Eropa, Cina, dan Arab.
Seiring dengan perubahan sosial yang semakin luas pada abad ke-20, terjadi juga
perubahan ekologi sehingga kota-kota menjadi semakin teratur.
Perubahan itu terlihat pada
fasilitas kota, diantaranya pendirian tempat-tempat ibadah berupa masjid dan
gereja.
Selain itu, berdiri pula kompleks perkantoran, sekolah, pasar, toko,
dan sebagainya yang mengikuti jaringan jalan raya
.
Semua itu sebagai bagian dari
infrastruktur dan fasilitas kota.
Sebuah kota berkembang berdasarkan
dinamika social dan ekonomi warganya..
Aktivitas
ekonomi, budaya, politik, dan sosial pada masa lalu banyak dilakukan melalui
laut sehingga menyebabkan kota berkembang di wilayah pantai dan pinggir sungai.
Sejarah membuktikan bahwa perdagangan paling ramai dan mudah dilakukan adalah
melalui sungai dan laut. Akibatnya muncul pemukiman-pemukiman di sekitar sungai
dan pantai. Pemukiman itu pada perkembangannya berubah menjadi kota seiring
dengan adanya interaksi antara penduduk asli dengan pendatang setelah melalui
proses yang panjang.
Hal ini dapat dilihat pada dinamika suku yang mendiami
kota dengan kepentingan yang berbeda-beda. Adanya variasi jenis pekerjaan atau
profesi di kota sebagai gejala kekotaan yang lebih kompleks.
Sejarawan La Ode Rabani mengatakan,
keberadaan pemukiman juga dipengaruhi oleh faktor politik. Kondisi politik di Sulawesi pada
periode abad ke-17 sampai awal abad ke-20 ditandai oleh terjadinya konflik
internal antarkerajaan di Sulawesi Selatan seperti Kerajaan Gowa dengan Bone.
Konflik ini juga terjadi antara kerajaan (Gowa dan Bone) dengan Belanda dan
Ternate. Situasi inilah yang menyebabkan Sulawesi Tenggara, khususnya Buton
menjadi sasaran para imigran dari Sulawesi Selatan karena wilayah ini selain
mudah dijangkau, juga karena dianggap aman.
Selain warga Sulsel, komunitas
penduduk lainnya seperti Eropa, Jawa, Melayu, Cina, dan Arab turut juga
menambah heterogenitas penduduk kota Buton. Suku
lain yang tinggal di Buton adalah Tolaki, Muna, Tukang Besi, dan Kabaena.
Intensifnya aktivitas ekonomi berupa perdagangan dan adanya perubahan kebijakan
politik pemerintah Hindia Belanda, wilayah itu dijadikan sebagai Onder
Afdeeling Celebes.
Posisi wilayah Buton sebagai kota sangat dekat
dengan pusat birokrasi kolonial di Timur Indonesia yakni Ambon dan Makassar.
Maluku dikenal sebagai tempat perekrutan prajurit yang ditempatkan pada
berbagai daerah di Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda.
Secara ekonomi,
Ambon (Maluku) dikenal juga sebagai pusat produksi rempah-rempah yang laku di
pasar Internasional sehingga banyak dikunjungi oleh para pedagang. Pada abad
ke-19, Makassar tampil sebagai kota pelabuhan dan kota dagang yang ramai. Kota
ini oleh Belanda juga dijadikan sebagai pusat birokrasi.
Kondisi itu sangat menguntungkan posisi Kota
Bau-Bau karena berada di jalur menuju Maluku jika dari barat Indonesia dan
sebaliknya. Posisi itu juga menguntungkan dalam hal; Bau-Bau lebih mudah
dijangkau dari kedua kota itu untuk melakukan perdagangan antarpulau.
Begitu
pula dengan para pedagang lain yang tertarik menyinggahi Bau-Bau untuk membeli
beberapa hasil hutan berupa kayu jati, rotan, dan damar, serta laut berupa
lola, sirip ikan hiu, teripang, mutiara, dan sebagainya.
Biasanya para pedagang
itu menyinggahi Buton dalam perjalanan menuju Maluku dan atau ke Makassar.
Komoditi yang dibawa selanjutnya diangkut ke Jawa dan Malaka untuk dijual
dengan harga tinggi. Hal itu berlangsung hingga paruh kedua awal abad XX.
Kian ramainya perdagangan serta aktivitas ekonomi yang meninggi,
menyebabkan dinamika politik di kota ini juga kian meninggi. Warga Buton mulai
merentangkan sayap dan belajar pada kenyataan bahwa dinamika politik tidak lagi
hanya pada dua kutub yaitu kaomu dan walaka, tidak juga berlangsung internal
pada dewan Sio Limbona, namun politik
adalah kontestasi dengan mereka yang berasal dari luar.
Pada masa ini, ada dua kabut sejarah yang kerap disebut-sebut sebagai
bentuk kekalahan manusia Buton dalam kontestasi politik dengan yang lain.
Pertama adalah gagalnya Buton menjadi ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara.
Kedua adalah stigmatisasi PKI yang dilekatkan pada Buton oleh sejumlah kekuatan
luar. Dua soal ini yang kemudian menjadi tanda tanya sejarah dan merupakan
kekalahan orang Buton dalam kontestasi politik di tingkat regional dan
nasional.
Elite politik Buton hanya sibuk dengan konflik yang sifatnya internal
sehingga tidak tangguh ketika berhadapan dengan dinamika eksternal. Berdasarkan
observasi saya di masyarakat, dua isu ini adalah perkara sensitif yang
menyakitkan bagi sebagian besar masyarakat.
Pada skala yang lebih luas, dua isu
ini seakan menjadi kabut yang menghalangi cakrawala pandang orang luar terhadap
Buton. Jarum sejarah seakan terhenti. Sejarah masa silam Buton tiba-tiba seakan
diam di tempat akibat ketidakmampuan generasi masa kini memberikan jawaban-jawaban
atas situasi yang dihadapinya.
Gagalnya Bau-Bau menjadi ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) menjadi
cerita yang dituturkan oleh banyak orang dengan nada kekecewaan. Jarum sejarah
seakan terhenti. Mulanya, Bau-Bau adalah ibukota afdelling Sulawesi Timur,
kemudian saat Belanda hengkang dari Indonesia, Bau-Bau menjadi ibukota
Kabupaten Sulawesi Tenggara yang bernaung dibawah naungan Sulawesi Selatan.
Saat kabupaten itu dimekarkan menjadi provinsi, justru nama Bau-Bau seakan
lenyap dan tidak menjadi ibukota. Sejarah seakan ditarik mundur ke belakang,
tanpa ada sedikitpun reaksi dan nuansa protes atas kebijakan tersebut.
Gagalnya Bau-Bau menjadi ibu kota ini menjadi catatan penting dalam
menafsir perkembangan kota ini ke depan. Pengalaman dan jejak kesejarahan yang
panjang serta dinamika orang Buton di pentas sejarah nasional, seakan-akan
terabaikan hanya karena persoalan voting atau pemilihan tersebut.
Peristiwa ini
menjadi catatan pertama tentang perlunya mengasah kemampuan negosiasi dengan
kekuatan lain di era modern. Tingginya keragaman dan dinamika politik yang ada
di tanah Buton membuat masyarakatnya hanya sibuk berpolitik dan melancarkan
siasat dengan sesama masyarakatnya, sehingga ketika harus berhadapan dengan
kekuatan luar dalam lingkup regional, tampaknya bangsa ini masih harus banyak
belajar.
Saya menduga gerak politik orang Buton lebih suka dikalahkan kekuatan
lain ketimbang kelompok dalam bangsa sendiri. Namun asumsi ini harus didukung
dengan satu penelitian yang mendalam tentang karakter orang Buton.
Peristiwa kedua yang menunjukkan kabut sejarah itu adalah peristiwa stigmatisasi PKI yang
terjadi di tahun 1969. Peneliti Jepang, Hiroko Yamaguchi, juga menilai
peristiwa ini sebagai peristiwa paling kelam dalam sejarah orang Buton. Kita
akan coba mengurai peristiwa ini secara detail.
Meletusnya peristiwa Gerakan 30 September 1965 di Jakarta menjadi awal
sejarah kelam bangsa Indonesia. Tewasnya sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat
(AD) seakan menjadi pengabsah dari tindakan pembantaian pada seluruh simpatisan
maupun anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sebagaimana telah dikemukakan
dalam berbagai kesaksian, kekerasan itu tidak hanya terjadi di Jakarta, namun
merembes hingga ke seluruh pelosok Tanah Air termasuk di Sulawesi Tenggara.
Tepat pada tanggal 18 Oktober 1965, penangkapan pertama mulai terjadi di bumi
Sultra.
Sebanyak delapan orang yang dituduh sebagai pimpinan PKI ditahan, dan selanjutnya pada 28 Oktober 1965 kerusuhan tiba-tiba meletus
di beberapa daerah di Sultra.
Masyarakat terprovokasi oleh beberapa organisasi kemasyarakatan (ormas) dan
organisasi kepemudaan sehingga mulai merusak rumah-rumah orang
yang dituduh PKI dan juga terhadap instansi yang dicurigai telah disusupi PKI.
Sayangnya, tidak ada data pasti menyangkut berapa banyak korban yang meninggal
saat itu.
Kabut bencana dan tanda-tanda jatuhnya nama Buton mulai pekat di tahun 1969
saat daerah ini dituduh sebagai basis PKI.
Berawal dari isu yang dihembuskan tentang berlabuhnya kapal Cina di Sampolawa
yang mengangkut persenjataan sebagai pasokan buat laskar PKI, isu ini kemudian
direspon oleh militer yang langsung melakukan penangkapan
pada ratusan orang.
Mereka diinterogasi setelah dipukul dengan popor senapan, kemudian dipaksa
menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP) bahwa mereka terlibat dengan
peristiwa tersebut.
Sebegitu kejamnya peristiwa ini, bisa dirasakan pada bait-bait puisi Buton 1969
yang ditulis penyair Irianto Ibrahim.
begitu tahun-tahun menjadi sepi
dan malam bergegas menyiak riak waktu
kau tak usah mendesak laut menyurut
atau pohon-pohon mengemis angin
karena darah lebih kental dari luka
lebih sakit dari kenangan
mungkin kau butuh semacam nestapa
atau ruang khusus penampung berkarung sesal
sambil bersiul menanti pisau waktu
yang berjubah hitam, persis nenek sihir
bukan tawar menawar yang kau tunggu
karena gagak tak pernah lupa alamat malam
dari matanya yang menikam kelam
meski berkali-kali kau menyebut ingin
ia tak hinggap di sana
tidak di deretan kata yang memuat namamu
pulanglah, kembali ke bilik langit
sambil bersiul sepanjang luka
sepanjang kenangan yang menghanguskan
tahun-tahun cerita
seperti ketika kau melewati tanah perbatasan
tanah yang dijaga para tentara yang selalu marah
adalah peta yang sama kau jejaki
dari ujung nadi terjauh
tempat anjing-anjing kurus
dengan liur yang tak pernah kering
mendesakmu dengan seribu tuduhan
semacam gua yang ditolak para pertapa
kau khusuk menulis nestapa
darah lebih kental dari luka
lebih sakit dari kenangan...
Kantor Bupati Buton ditengarai sebagai pusat operasi pemasokan senjata
tersebut sehingga puluhan staf kantor bupati ikut ditahan bersama Kasim, Bupati
Buton saat itu. Penangkapan itu berbuntut pada penyiksaan yang terjadi di luar
batas kemanusiaan. Kasim akhirnya meninggal di dalam tahanan sebagai martir dan saat itu tak ada satupun orang Buton yang
menunjukkan solidaritas dan pembelaan kepadanya.
Ketakutan akan penyiksaan serta siksaan aparat, telah menghancurkan khasanah
nilai-nilai keberanian serta solidaritas bhinci-binciki
kuli yang didengungkan sejak masa nenek moyang dahulu. Ternyata,
nilai-nilai itu mengalami pergeseran dan tak lagi bersemayam di benak manusia
Buton tatkala militer datang dan memberi label kepada tanah ini. Fitnah PKI ini
menjadi awal dari terbenamnya nama daerah ini di percaturan politik regional.
Sebelumnya, Gubernur Sulawesi Tenggara La Ode Hadi juga jatuh.
Sayangnya, hingga kini belum ada sebuah riset yang mendalam untuk
mengungkap asal-muasal fitnah serta mengapa fitnah ini dengan cepat menyebar
sehingga banyak yang menjadi korban penyiksaan.
Yang jelas, upaya mengungkap
berbagai fakta-fakta tentang peristiwa
ini, harus diiringi dengan sikap berjiwa besar dan memandang realitas masa lalu
secara jernih, termasuk menerima kenyataan bahwa ada sejumlah anak negeri yang
sesungguhnya ikut memantik api peristiwa ini.
Meskipun studi serius tentang peristiwa ini belum pernah dihasilkan, namun
peristiwa ini tidak bisa dilihat secara linear sebagaimana yang terjadi di
daerah lainnya. Sejauh ini beberapa studi tentang pembantaian mereka yang
dituduh PKI di daerah di antaranya adalah Hermawan Sulistiyo tentang pembantaian
massal PKI di Jawa Timur, ada pula studi dari Geoffrey Robinson dan Ngurah
Suryawan tentang pembantaian di Bali.
Meskipun ada sejumlah perbedaan, namun kebanyakan studi mereka melihat kekerasan itu sebagai efek domino atau keberlanjutan dari peristiwa di
Jakarta. Kebanyakan peneliti hanya berpikir dari umum ke khusus yaitu melihat
Jakarta sebagai awal pemantik peristiwa dan selanjutnya daerah hanya efek bola
salju dari apa yang terjadi di ibu kota.
Kemudian dari sisi aktor yang terlibat,
kebanyakan hanya menunjuk pihak militer baik di pusat maupun di daerah. Namun
studi tentang peristiwa pembantaian PKI di Buton tidak bisa hanya dilihat dari
perspektif tersebut.
Justru, peristiwa ini bisa diteropong dengan melihat aspek lokal, regional,
dan nasional. Dinamika lokal terkait kontestasi elite politik yang punya jejak
sejarah panjang sejak masa silam, dinamika regional adalah persaingan atau
kontestasi politik dengan pendatang dari selatan yaitu Bugis Makassar.
Sedangkan dinamika nasional terkait peristiwa PKI yang berawal dari penculikan
sejumlah perwira di Jakarta. Pada tiga ranah inilah kita
bisa menafsir peristiwa yang sesungguhnya terjadi di tanah Buton.
Meskipun ini sifatnya sementara, ada dua asumsi yang bisa dikemukakan
sebagai penyebab peristiwa ini. Pertama, peristiwa ini dilihat seagai dinamika internal yang merupakan resultan dari persaingan antar kelompok di Buton.
Persaingan
kelompok yang sedemikian tinggi
intensitasnya, telah menghilangkan solidaritas bersama sesama orang Buton saat berhadapan dengan masalah. Tak ada yang memberikan perlawanan sehingga
seorang informan mengatakan kalau dulunya di Buton ada nilai
bhinci-binciki kuli, maka sekarang sudah
menjelma menjadi
tasumbe-sumberemo.
Orang-orang
menjadi individualis dan sibuk memikirkan diri sendiri. Buton laksana tiarap
karena ketakutan. Berdasarkan informasi dari seorang dosen Unhas, Kasim telah meletakkan landasan pengembangan Bau-Bau
dan Buton ke arah yang dicita-citakannya. Ia telah merintis lahirnya
sekolah-sekolah hingga beberapa universitas di kota ini.
Sayang sekali, ia tidak sempat menuai hasil yang dicita-citakannya karena
dituduh PKI hingga tewas secara mengenaskan.
Kedua, peristiwa ini dipicu oleh oknum yang dipenuhi
hasrat untuk menguasai wilayah ini. Beberapa kelompok dari luar bisa dituding sebagai penyebab persoalan yang meruyak. Motif yang diajukan oleh banyak kalangan adalah keinginan
untuk menguasai kawasan ini karena dipicu dendam masa silam serta situasi lepasnya
Kabupaten Sulawesi Tenggara yang kemudian berdiri sendiri. Entah.
Hingga akhirnya pada tahun 1969 Pangdam Wirabuana Andi Azis Rustam bersama
Auditur Militer Kol. Busono dan Kol. Bagyo dari Direktorat Kehakiman Pusat
mengeluarkan pernyataan bahwa di Buton tidak ditemukan senjata dan tidak
ditemukan ada operasi pemasokan senjata dari Cina.
Berbagai kontroversi
itu kian menegaskan bahwa riset sejarah tentang peristiwa ini sangat penting
dilakukan untuk menyibak kabut yang menutupi sejumlah realitas di tanah ini. Studi
itu tidak untuk menyibak atau mengurai kembali semua luka yang pernah terjadi
di masa silam, namun untuk menemukan hikmah dan bersikap arif untuk tidak
mengulangi lagi kesalahan yang pernah dibuat pada masa sebelumnya.
Sebagaimana
yang dikatakan filsuf Jerman bernama Goethe, melihat masa silam dengan
kejernihan sangat penting dilakukan demi menemukan lapis hikmah dan pelajaran
bagi generasi hari ini.
Yah, berbagai persoalan yang mencuat itu tidak serta merta mematikan seluruh khasanah kekayaan kebudayaan Buton. Seiring
dengan masa reformasi, kebudayaan Buton yang selama ini tersimpan rapi di laci
sejarah, perlahan mulai hadir di permukaan.
Iklim desentralisasi dan gravitasi
pembangunan yang mengarah ke daerah, menjadi katalis hadirnya kembali tradisi yang
sudah lama berurat akar dalam sejarah. Kebanggaan akan masa silam kian mencuat
seiring dengan lahirnya generasi baru Buton yang mulai mengambil peran
sejarahnya sendiri. Sebuah harapan baru akhirnya bersemi.
***
IKLIM politik yang menandai Buton pasca-reformasi adalah dimekarkannya
daerah ini menjadi beberapa bagian. Daerah yang kemudian mekar dan otonom
adalah Bau-Bau, Kab Buton, Kab Wakatobi, Kab Bombana serta wilayah Kab Buton
Utara (sebelumnya daerah ini di bawah Muna).
Pemekaran banyak
daerah ini bisa dimungkinkan karena posisi gubernur dijabat oleh putra Buton
kelahiran Pasarwajo yaitu Ali Mazi. Sejatinya, pemekaran banyak daerah ini
diniatkan untuk mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat serta
menjadi strategi untuk segera membentuk provinsi Buton Raya. Pemekaran juga
bisa dibaca sebagai strategi membangun negosiasi dengan pemerintah pusat.
Meski demikian, ada kalangan yang
menilai pemekaran daerah hanya dari aspek negatif yaitu lahan subur bagi
sejumlah elite politik yang hendak berebut jabatan dan posisi tertentu. Namun,
banyak pula yang menilai pemekaran akan bermakna positif tatkala diiringi niat
untuk saling kerja sama demi mengutamakan kesejahteraan bersama.
Naiknya Drs Mz Amirul Tamim sebagai Walikota Bau-Bau membawa suasana baru
yang agak berbeda dengan sebelumnya. Kebudayaan Buton kembali direvitalisasi
dan ditampilkan di panggung sejarah. Amirul memiliki visi besar untuk
mengembalikan kejayaan Bau-Bau sebagai pusat pemerintahan dan pertumbuhan
ekonomi. Lewat sentuhannya, fisik kota kian berbenah dan yang sangat
membanggakan adalah identitas budaya Buton menjadi ciri yang ditonjolkan, tanpa
diiringi dengan rasa malu.
Setiap kali mengunjungi kota ini, saya selalu
dihinggapi rasa bangga ketika melihat atap malige di semua bangunan sekolah,
pertokoan, serta perkantoran. Lebih bangga pula ketika menyaksikan lambang
nenas –yang dulunya menjadi simbol kesultanan—bertebaran di sepanjang Kota
Bau-Bau, kemudian simbol naga dan masterplan
pembentukan Kota Mara yang kesemuanya sudah diletakkan landasannya oleh
generasi terdahulu. Tampaknya, ada upaya serius untuk melihat Bau-Bau hari ini
sebagai warisan berharga dari generasi terdahulu, untuk dibangun sebagai
warisan bagi generasi berikutnya.
Pembenahan Bau-Bau secara fisik sangatlah penting demi mengembalikan memori
kolektif masyarakat tentang kejayaan masa silam. Untuk itu, Bau-Bau harus siap
menjadi ibu kota dan kelak akan menjadi sentrum (pusat) aktivitas di kawasan
Buton Raya. Sejarah masa silam yang menempatkan Bau-Bau di jalur utama
perdagangan internasional, menjadi tantangan bagi generasi masa kini untuk
menghadirkan kembali segenap kejayaan tersebut.
Segala infrastruktur maupun
prasarana harus segera dibangun demi mewujudkan segala obsesi dan impian atas
kejayaan masa silam. Bau-Bau harus menjadi kota utama yang menjadi pintu masuk
serta pintu keluar kemudian menjadi arus utama yang mengalirkan barang dan jasa
ke berbagai kabupaten lainnya.
Di luar aspek pertumbuhan ekonomi tersebut,
Bau-Bau harus menjadi kota budaya. Dalam artian, Bau-Bau harus bisa menjadi
mata air nilai yang menjadi rujukan bagi semua daerah lainnya. Kota ini harus
didesain dengan semangat besar untuk menjadi menorehkan jejak emas dalam kanvas
sejarah peradaban di negeri ini.
Dalam konteks pertumbuhan ini, Bau-Bau harus bisa menjadi pusat yang
menyangga pertumbuhan ekonomi di daerah di sekitarnya. Artinya, Bau-Bau tidak
boleh berjalan sendirian seolah tak ada mitra. Bau-Bau harus membangun relasi
dan interkoneksitas dengan semua kawasan lainnya sehingga arus pertumbuhan bisa
sama-sama mengalir ke masing-masing daerah.
Dalam bahasa manajemen, sekarang
ini bukan eranya persaingan, namun eranya sama-sama bergenggam tangan untuk
menuju kemajuan. Itulah yang harus dibaca sebagai tantangan besar yaitu
bagaimana membangun sinergi dan inter-koneksitas dengan daerah lainnya. Jika
ini bisa terbangun, maka akan berdampak positif bagi pengembangan Bau-Bau di
masa mendatang.
Sebulan yang lalu, saya berkesempatan mengunjungi Kabupaten Buton Utara.
Hal yang paling mencolok adalah begitu parah rusaknya infrastruktur jalan di
Kabupaten Buton hingga Buton Utara. Dengan jarak tempuh sekitar 180 kilometer,
perjalanan justru menempuh waktu sekitar enam jam.
Padahal, di Sulsel jarak itu
masih lebih jauh jarak Makassar-Parepare yang ditempuh hanya sekitar dua jam.
Jika saja infrastruktur jalan itu bisa lebih baik, maka yang paling diuntungkan
adalah Kota Bau-Bau karena semua produk dan hasil pertanian akan mengalir ke
kota ini. Petani dan pedagang di desa-desa akan memperoleh manfaat karena cost pengiriman barang akan murah,
sementara Bau-Bau sendiri akan diuntungkan sebab menjadi daerah penampung semua
hasil alam tersebut.
Sinergi antar kawasan ini mesti dibangun demi pengembangan ke depan. Hubungan
dengan Wakatobi, Buton, Buton Utara, hingga Bombana harus dirajut terus dengan
serius. Semua elite politik kita harus dewasa dalam menyikapi berbagai
perbedaan kepentingan. Semua harus bekerja sama jika hendak mengembangkan Buton
Raya di masa depan.
Sinergi antar kawasan ini bisa dimulai sejak sekarang
melalui pembentukan semacam badan koordinasi sinergi antar kawasan. Badan ini
bisa menjadi cikal bakal bagi pembentukan provinsi Buton Raya sekaligus menautkan
kembali hubungan antar daerah melalui komunikasi dan interaksi secara
terus-menerus.
Hanya saja, ide ini akan berhadapan dengan pertanyaan, mungkinkah hubungan
ini bisa terbangun jika melihat kompleksnya dinamika politik di daerah ini?
Pertanyaan ini menjadi bahan refleksi buat semua. Harus diakui hubungan antar
daerah selalu saja diwarnai dengan konflik.
Peneliti LIPI Riwanto Tirtosudarmo menengarai
adanya empat macam konflik yang terjadi setelah proses pemekaran di Buton.
Pertama, konflik tentang letak ibukota dari kabupaten baru (Buton, Wakatobi,
Bombana). Kedua, konflik antara Pemkot Bau-Bau dan Pemkab Buton tentang aset-aset
Pemda yang seharusnya dibagi antara Pemkot Bau-Bau dan Pemkab Buton.
Ketiga,
adalah konflik penetapan batas wilayah antara Pemkot Bau-Bau dan Pemkab Buton
dan konflik antara Pemkab Buton dan Pemkab Bombana. Konflik keempat, adalah
konflik yang menyangkut penamaan dari daerah yang baru atau akan dibentuk.
Dalam kasus pemekaran Buton konflik tentang nama kabupaten baru ini terlihat
pada kasus Bombana.
Jika konflik ini tidak bisa di-manage
dengan baik, maka kelak akan menjadi bom waktu yang siap meledak sewaktu-waktu.
Masalah yang akan dihadapi adalah bagaimana menemukan satu format ideal yang
mampu mengatasi energi konflik di tengah masyarakat yang sangat beragam ini.
Jika
di zaman kesultanan dahulu, konflik bisa di-manage dengan otonomi khusus pada
masing-masing kadie, maka di masa
kini masyarakat Buton harus terbiasa dengan pola pemerintahan moderen yang
diterapkan di negeri ini. Pola pemerintahan ini tidak memberikan kewenangan
khusus kepada beragam etnik yang bermukim di banyak kadie.
Tantangan bagi generasi masa kini adalah bagaimana mencari hikmah-hikmah
yang tercecer di balik setiap lembaran narasi masa silam. Salah satu hikmah
yang bisa dipetik adalah tingginya intensitas konflik di kalangan sesama orang
Buton hanya akan mengoyak solidaritas bersama dan menjadi pintu masuk bagi
kekuatan lain untuk melancarkan fitnah dan menguasai wilayah ini.
Dinamika masa
silam di mana Buton hanya menjadi arena persaingan antara Gowa dan Ternate
harus segera diakhiri. Manusia Buton hari ini harus membangun sebuah ikhtiar
bersama untuk membangun masa depan yang lebih baik dan lebih sejahtera. Untuk
itu, pola kerja sama yang sinergis dan saling menguntungkan mesti dibangun agar
kelak.
Benang merah kultural harus direkatkan kembali dengan cara mencari satu
kepentingan bersama yang bisa menautkan berbagai entitas di kawasan ini. Tentu
saja, upaya ini dilakukan demi kesejahteraan masyarakat sebagaimana pernah
dilakukan oleh generasi terdahulu.(*)
Ditulis
pada 13 Maret 2008
Sebagai
catatan editor buku berjudul
Menyibak Kabut di Keraton Buton
BACA JUGA:
W.F, Wertheim, Masyarakat
Indonesia
dalam Transisi, Studi Perubahan Sosial (Yogyakarta: Tiara Wacana 1999).
hlm. 138-143
Kuntowijoyo,
Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana,
1994
Sartono
Kartodirdjo, Masyarakat Kuno dan Kelompok-Kelompok Sosial (Jakarta:
Bharatara Karya Aksara, 1977), hlm. 1-4.