DI berbagai kanal social
media, banyak yang memaki Marxisme. Ajaran Marx lalu dibongkar lalu
disalah-salahkan. Saya tak berani ikut latah. Saya tak berani berkomentar atas
sesuatu yang tak saya pahami benar.
Dulu, pernah ada tiga jilid
terjemahan buku Das Kapital. Dalam satu jilid, terdapat lebih 1.000 lembar.
Lebih tebal dari bantal yang tiap malam saya gunakan. Baru membaca lembaran
awal, saya tak mengerti. Isinya adalah penjelasan tentang filsafat moral dan
banyak analisis ekonomi. Otak saya tak sanggup
menelaahnya. Seorang teman bercerita kalau di buku itu, Marx sempat mengambil
contoh prilaku kapitalis Belanda di Sulawesi Selatan. Hah?
Dikarenakan saya tak membaca
buku2 tebal itu, saya tak ingin ikut-ikut menyalahkan. Lagian, tak adil juga
menyalahkan satu buku serius dan penuh analisis ekonomi, dengan bermodalkan
bacaan terjemahan. Lebih parah lagi ketika hanya membaca sepenggal-sepenggal,
lalu mengklaim diri memahaminya.
Yah demikianlah. Zaman telah
berubah. Buku riset serius dengan halaman berlembar-lembar tiba-tiba dipatahkan
hanya dengan satu atau dua paragraf. Jujur, saya suka senyum-senyum kalau
membaca atau melihat yang seperti ini. Yang paling lucu adalah seorang aparat
tiba-tiba menyatakan itu sesat, lalu mengeluarkan berbagai argumentasi. Seorang
doktor saja belum tentu paham, apalagi orang yang belajar baris-berbaris di
sekolah. Dan, saya pun tak paham.
"Aku mah apa atuh,"
kata seorang penyanyi dangdut. hahaha.
0 komentar:
Posting Komentar