Lapis Makna di Sepiring Siomay




SELALU saja ada hal yang mengharukan dalam hidup. Hari ini, teman sekantor itu datang dengan penuh semangat. Ia membawa sepiring siomay yang dibawanya dalam satu kemasan plastik. Ia memaksa saya untuk mencoba siomay itu. Sejak beberapa hari lalu, ia ingin saya mencobanya lalu memberi masukan.

Sejak dua bulan silam, ia membuka warung siomay. Ia bertekad untuk menambah penghasilan sebagai nafkah keluarganya. Ia seorang bapak yang penuh dedikasi pada keluarganya. Sebelum ke kantor, ia akan ke warung siomay itu demi membawa semua bahan makanan itu, sekaligus memantau kerja orang yang digajinya sebagai pelayan. Setelah itu ia akan bergegas ke kantor untuk bekerja. Di sore hari, ia kembali ke warung siomay itu, mencatat pengeluaran, lalu menutup warung.

Pada dirinya saya melihat gambaran seorang pekerja keras yang melakukan apapun demi keluarganya. Pada dirinya, saya melihat cermin bahwa seorang ayah adalah para pejuang yang memaksimalkan segala daya demi sekadar menghadirkan senyum di wajah keluarganya. Saya tiba2 saja terkenang ayah saya yang rela melakukan apapun demi saya dan keluarga.

Kini, di hadapan saya ada sepiring siomay. Sejak menulis buku yang berjudul Politik 3.0 yang isinya mengenai pemasaran politik, ia menganggap saya seorang pemasar yang baik. Dipikirnya saya juga seorang penggila kuliner yang bisa menentukan enak tidaknya satu menu. Padahal saya seorang penikmat segala hal. Saya pemakan segala, yang menemukan rasa nikmat di sela-sela menu apapun.

Kembali saya pandangi siomay ini. Saya membayangkan dirinya yang bangun subuh demi menyiapkan siomay ini. Saya melihat cermin kerja keras dan ketangguhan seorang ayah yang melakukan hal terbaik untuk keluarganya. Gambaran tentang ayah saya menari-nari dalam benak. Saya lalu menyendoknya perlahan.

Nyam..... Nyam.... Kriukk...!

Bogor, 30 Mei 2016

0 komentar:

Posting Komentar