Jejak Leluhur BUGIS di Pentas Dunia



Sawerigading dan We Tenriabeng

KISAH I La Galigo yang dipentaskan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta membuat nurani saya basah. Kisah ini tak hanya milik orang Bugis-Makassar yang memeliharanya dalam tradisi dan rahim budaya, tetapi merupakan khasanah pusaka Nusantara yang memesona dunia. Kisah tentang petualangan Sawerigading di tujuh samudera itu telah berkelana di berbagai pementasan teater di banyak kota dunia. Kini, kisah-kisah itu mulai dipentaskan di tanah air.

Entah kenapa, saya justru memikirkan beberapa hal.

***

DI hadapan perahu phinisi besar, lelaki itu mengucapkan sumpah. Ia hendak menggapai obsesinya untuk bertemu putri nan cantik jelita di negeri seberang. Laut bukan halangan atas tekad kuat yang telah ditanamnya. Demi kekasih hati yang belum pernah ditemuinya itu, ia siap menghadapi ganasnya lautan, seramnya para perompak laut, serta hantu-hantu dan lelembut yang bisa merintangi perjalanannya. Lelaki itu, Sawerigading.

Tekad kuat itu tak muncul begitu saja. Lelaki sakti dan penuh digdaya ini sebelumnya mencintai saudara kembarnya, perempuan berbaju bodo merah, We Tenriabeng. Cinta dan birahi membuatnya mabuk dan hendak melabrak semua pantangan dari langit. Tak dihiraukannya semua pamali dan bala yang bisa menenggelamkan negeri Luwu. Dalam kegilaan dan birahi yang sedemikian meluap, We Tenriabeng berhasil meniupkan satu imajinasi tentang perempuan lain yang lebih cantik dan menawan di negeri seberang.

Disuruhnya lelaki itu untuk mencari perempuan bernama I We Cudaiq dari negeri Cina itu. Jika gagal mendapatkan perempuan itu, disuruhnya lelaki itu kembali, lalu sama-sama melanggar pantangan langit dan siap menghadapi segala bala dan bencana. Hasrat Sawerigading meluap-luap. Dia lalu merencanakan perjalanan jauh melintasi samudera.

Saya menyaksikan sosok Sawerigading dalam pementasan teater I La Galigo Asekku! di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Pementasan teater ini diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Unhas Jabodetabek. Sebelum dipentaskan di Jakarta, teater ini sebelumnya tampil di Kuala Lumpur. Selanjutnya, akan tampil di Paris, Perancis.

proses kelahiran Sawerigading dan We Tenriabeng
tarian We Nyilitimo

Saya cukup familiar dengan kisah ini. Beberapa tahun lalu, saya pernah aktif di Pusat Studi La Galigo Universitas Hasanuddin, bersama Professor Nurhayati Rahman, filolog yang pernah menerjemahkan sepenggal naskah ini. Pada masa itu, saya bertemu dengan beberapa peneliti yang intens mengkaji kitab ini. Malah, pernah diadakan satu seminar internasional yang mempertemukan para peneliti, baik dari dalam maupun luar negeri, yang membahas naskah itu. Saya mengingat beberapa nama yakni Roger Tol, Makoto Ito, Campbell McKnght, Rhoda Grauer, Greg Accioli, Christian Pelras, Ian Caldwell, hingga Sirtjo Koolhof.

Seminar internasional itu telah membuka mata saya. Bahwa kisah ini memang dahsyat dan menjadi bagian dari warisan dunia. Campbell Macknight, guru besar emeritus antropologi di Universitas Nasional Australia di Canberra, menyebut Galigo adalah pencapaian kultural yang signifikan. Faktanya, materi teks Galigo paling banyak dielaborasi dalam pelbagai versi dalam bahasa Bugis. Kisah ini menyebar dengan dua cara: tradisi lisan dan tulis. Tradisi pertama dikenal oleh hampir semua etnik di Sulawesi, bahkan sebagian Kalimantan dan Semenanjung Melayu. Adapun yang kedua praktis hanya dilakukan oleh masyarakat Bugis.

Sebagai satu karya, La Galigo punya konvensi bahasa yaitu bahasa Galigo yang untuk mudahnya bisa disebut juga bahasa Bugis Kuno, aspek sastra, dan alur. Misalnya, satu bait pasti terdiri dari lima baris dan nama tokohnya pasti terdiri dari lima suku kata: Sawerigading, I La Galigo, I We Cudaiq, dan seterusnya. La Galigo diperkirakan lahir pada abad-abad awal Masehi.

Sampai abad ke-15, penyebarannya masih lisan, dengan bahasa yang masuk rumpun Austronesia, yang digunakan warga Pasifik hingga Kepulauan Fiji. Bukti yang mendukung adalah kemiripan sistem hierarki sosial yang digunakan etnik-etnik Pasifik yang masuk rumpun ini. Tradisi tulis diduga baru dimulai pada abad ke-15. Sejak naskah ini didokumentasi, Galigo sudah mengembara ke negara-negara jauh, terutama Belanda. Yang masuk sampai ke perpustakaan negara Amerika Serikat di Washington, DC, pada abad ke-19 adalah buah tangan Husin bin Ismail, seorang munsyi Bugis kelahiran Wajo yang tinggal di Singapura.

Beberapa kalangan menyebutnya sebagai naskah terpanjang di dunia, yang lebih panjang dari Mahabharata di India, ataupun Odissey dari Yunani. Di KILTV Leiden, naskah I La Galigo terdiri atas 12 jilid yang snagat tebal. Hingga saat ini, baru satu jilid yang terbit dalam lebih 1.000 halaman. Seorang kawan di istana wapres menuturkan kalau Prof Nurhayati Rahman telah menerjemahkan jilid kedua, yang akan dicetak dalam waktu dekat.

Seusai seminar internasional tentang La Galigo pada tahun 2000-an itu, muncul ide untuk mengusulkan agar Colliq Puji’e, atau Ratna Kencana Arung Pancana Toa, sosok yang menulis ulang isah La Galigo pada abad ke-19, sebagai pahlawan nasional. Demi proses pemberian gelar itu, Profesor Nurhayati Rahman telah menulis biografi perempuan hebat yang bisa menyusun 12 jilid aksara La Galigo, yang kini tersimpan di perpustakaan KILTV Leiden, Belanda ini. Saat saya masih tinggal di luar negeri, Ibu Nur, demikian saya menyapanya, mengirimkan biografi itu.

tarian We Nyilitimo

Saya ingat kalau saya pun pernah menulis tentang sosok ini di blog dalam bahasa Inggris. Tulisan saya itu ditanggapi oleh Ian Caldwell yang menyebut tokoh BF Matthes sebagai sosok yang lebih penting ketimbang Colli Pudji’e. Matthes adalah sosok misionaris yang datang dengan misi untuk menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Bugis. Kata Ian Caldwell, jika tak ada Matthes, tak mungkin ada naskah La Galigo yang ditulis Colliq PudjiE. Saya tak setuju dengan argumentasi peneliti Inggris itu. Sebab saya yakin perempuan Bugis itu menulis dengan tujuan untuk menyelamatkan tradisi lisan itu agar tidak punah. Tapi saya ingin terlibat polemik dengan Ian Caldwell.

***

APAKAH gerangan yang membuat kisah ini sedemikian menarik di mata berbagai filolog dan ilmuwan dunia? Marilah kita simak beberapa fakta.

Pertama, kisah ini berbeda dengan kisah-kisah lain di Nusantara, yang kebanyakan hanya berisi sepenggal kejadian, atau barangkali membahas satu tokoh sejak lahir hingga meninggal. Kisah La Galigo berisikan kisah tentang tujuh generasi, yang di dalamnya terdapat 1.000 tokoh penting yang tampil di banyak episode. Yang dikenal publik hanyalah Sawerigading. Padahal, sosok ini bukanlah satu-satunya sentrum dalam kisah, sebab terdapat demikian banyak sosok yang juga penting. Antropolog Perancis, Christian Pelras, pernah membuat 672 kartu nama tokoh-tokoh dalam Sureq Galigo. Jika saja kisah ini dikemas dalam sinetron, maka pasti akan jauh lebih panjang dari sinetron Tersanjung, yang mencapai tujuh musim atau tujuh tahun penayangan.

Kedua, struktur dalam kisah La Galigo memang unik.  Struktur kisahnya bisa dibagi dalam dua bagian besar. Yakni: (1)  kisah yang bersifat kosmologi yang menceritakan asal-usul kehadiran manusia di bumi. Dunia yang digambarkan dalam kisah La Galigo lebih kompleks dari dunia dalam kisah The Lord of the Ring karangan J.R. Tolkien. Dalam La Galigo, dunia terdiri atas dunia langit, dunia tengah, dan dunia bawah.  (2) kisah yang menceritakan sistem status yang sangat penting sebagai pegangan dalam kehidupan sosial Bugis.

Dalam satu publikasi, Fachruddin Ambo Enre, guru besar sastra di Universitas Negeri Makassar, mengisahkan bagian yang menceritakan manusia pertama alias nenek moyang raja-raja Bugis, terutama orang Luwu, dianggap sakral. Naskah ini tidak boleh dibaca sembarangan. Seorang kawan menuturkan, kisah tentang genesis atau penciptaan alam semesta dirahasiakan, dan hanya diketahui untuk kalangan terbatas. Tak semua bangsawan Bugis yang masih menyimpan naskah periode ini sudi membagi pengetahuannya pada orang lain. Colliq Pujié memulai penulisan lontaraq dengan adegan musyawarah para dewa untuk menurunkan Batara Guru sebagai cikal bakal manusia di bumi.

Kisah ini menjadi menarik sebab diperlakukan secara khusus oleh manusia Bugis. Terdapat tradisi kuat yang bertujuan untuk menjaga ataupun menjadikan kisah ini menjadi eksklusif. Beberapa penggal dalam tradisi lisan ditulis dalam lontara’, lalu disimpan oleh warga, lalu dikeramatkan. Saat membaca naskah ini, mesti ada ritual khusus yang dilakukan, misalnya menyembelih sapi. Hingga kini, masih saja banyak orang yang tak sepakat jika La Galigo dipentaskan dalam tari ataupun teater. Banyak yang menganggap naskah itu bisa kehilangan sakralitasnya.  

Ketiga, sebagaimana pernah disampaikan seorang peneliti, kisah La Galigo memiliki sifat migratoris, yakni bisa ditemukan di beberapa lokasi. Dalam seminar internasional tentang La Galigo, terdapat beberapa peneliti yang mengisahkan La Galigo dalam versi lokal di beberapa tempat. Misalnya Susanto Zuhdi yang menjelaskan kisah ini sebagaimana jejaknya bisa diihat di Buton dan Muna. Ada pula yang menjelaskan kisah ini di Gorontalo. Dugaan saya, kisah ini menyebar seiring dengan diaspora orang Bugis di banyak lokasi.

We Tenriabeng

Keempat, kisah ini menjadi panduan bagi para peneliti untuk menyusun naskah sejarah dan kehidupan sosial budaya manusia Bugis di masa silam. Bagian utama dari La Galigo tak lain adalah kehidupan Sawerigading. Cerita cucu Batara Guru ini sedemikian memikat, sehingga rakyat Sulawesi Selatan menganggap sosok ini nyata. Artinya, Galigo diperlakukan sebagai sumber sejarah untuk periode zaman tembaga-besi akhir (prasejarah).

Seingat saya, antropolog Perancis Christian Pelras, menulis buku The Bugis, dengan mengacu pada gambaran dalam kisah La Galigo untuk menjelaskan periode purba hingga zaman logam. Malah, dalam buku The Bugis itu bisa ditemukan bagaimana penggambaran lokasi dan geografis, yang dilihat dari tilikan manusia Bugis.

Akan tetapi, arkeolog Ian Caldwell, memiliki pendapat berbeda. Menurutnya, penempatan kejadian dalam La Galigo tidak akurat. Kisah itu menggambarkan keadaan sosial abad ke-15 dan abad ke-17, padahal kisah ini lebih tua dari itu sebab masih menggunakan bahasa Bugis kuno yang tidak lazim dipakai. Peneliti asal Jerman, Horst Liebner, yang kerap mengkaji antropologi maritim, juga mempertanyakan kisah perjalanan Sawerigading dengan kapal Le Wellerengnge ini dari sisi ilmu pelayaran dan toponomi. Ia menduga kalau penutur kisah ini bukanlah seorang pelaut yang memahami lokasi dengan akurat. Argumentasinya masuk akal sebab kisah ini memang banyak disimpan dan dituturkan kalangan perempuan ningrat. Tentu saja, perbedaan itu harus dilihat sebagai upaya untuk semakin memperkaya khasanah pengetahuan tentang Bugis.

Apapun itu, naskah ini harus dilihat sebagai capaian dahsyat leluhur Bugis yang memiliki kekuatan imajinasi hebat, yang justru menjadi capaian intelektual pada masa itu. Leluhur Bugis menciptakan satu kisah yang menjadi capaian luar biasa di masa

Bahkan, beberapa pihak menyebut kisah La Galigo adalah kisah yang mendahului jamanya. Dalam satu kesempatan, peneliti Nirwan Ahmad Arsuka mengatakan, “Penggambaran yang begitu transparan sangat dekat dengan kecenderungan sastra mutakhir dunia yang sudah melampaui romantisme dan siap berdamai dengan sosok-sosok anti-hero.

***

DI panggung itu, saya menyaksikan bagaimana Sawerigading berpetualang meintasi tujuh samudera. Pemeran Sawerigading adalah Ilham Anwar yang bisa menampilkan sosok sakti mandraguna itu di atas panggung teater. Bagian yang saya sukai adalah kengototan Sawerigading untuk menikahi We Tenriabeng. Saya juga menyukai petualangan saat di negeri Cina.

Saerigading dan We Tenriabeng
I We Cudaiq (berbaju merah) bersama pengiringnya

Di awal pementasan, saya sempat kebingungan untuk memahami jalan cerita. Narasi awal disampaikan melalui passure’ atau pembacaan naskah La Galigo, sebagaimana bsia disaksikan di kampung-kampung. Saya tak paham bahasa Bugis sehingga kehilangan tema. Ternyata, teman saya yang fasih bahasa Bugis pun kesulitan untuk memahaminya, sebab kosa kata yang digunakan sudah jarang didengarnya.

Bahagian awal ini membuat saya tercekat. Saya tiba-tiba saja terkenang pada bissu Saidi Puang Matowa, seorang waria yang juga menjadi pendeta atau pemuka tradisi Bugis kuno. Dalam teater yang disutradarai Robert Wilson, Saidi selalu membuka pementasan dengan melafal beberapa penggal La Galigo serupa membaca mantra. Ia menggunakan bahasa orang langit (to rilangi). Sayang, Saidi telah meninggal dunia beberapa tahun lalu. Jika saja dia di panggung itu, maka pastilah akan berbeda.

Idealnya, ada semacam panduan bagi penonton teater yang tak paham bahasa Bugis. Bisa dalam bentuk visualisasi yang menggambarkan keindahan syair yang sedang dibacakan. Jika panduan itu ada, barangkali saya akan larut dalam samudera makna.

Sebelum menyaksikan teater ini saya yakin sekali kalau yang ditampilkan adalah penyederhanaan kisah ini. Dugaan saya, yang ditampilkan hanya sepenggal. Dugaan saya terbukti setelah menyaksikan kisah yang sengaja berfokus pada dinamika antara Sawerigading, We Tenriabeng, dan I We Cudaiq. Saya bisa memahami kesulitan pada pembuat naskah untuk menampilkan kekayaan khasanah filosofis dalam tujuh generasi tokoh La Galigo itu di atas panggung. Kalaupun diambil kisah cinta, maka barangkali itulah bagian paling menarik yang diperkirakan akan disukai oleh khalayak.

Risikonya adalah kisah yang muncul menjadi kehilangan greget. Penyederhanaan yang ditampilkan itu menjadi terlampau sederhana, sehingga saya nyaris kehilangan bangunan kisah. Saya seolah menyaksikan kisah seorang pemuda playboy yang ingin menikahi saudaranya, lalu bermodal kesaktian datang mengobrak-abrik negeri orang lain untuk menikahi kembang tercantik di situ. Jadinya, Sawerigading mengingatkan saya pada film-film yang dibintangi Rhoma Irama yang menggambarkan seorang jagoan berkelahi yang bisa menari, lalu memikat gadis-gadis.

I La Galigo yang diapit Sawerigading dan I We Cudaiq
setelah teater usai

Padahal, dalam sepenggal bacaan saya, kisah Sawerigading tidaklah sesederhana itu. Ini kisah tentang semesta, dinamika manusia, yang diselipkan petuah berharga tetang makna kehidupan. Sayang, samudera makna filosofis yang seharusnya bisa membasahi jiwa para penonton malah tak banyak muncul dalam naskah. Saat teater usai, saya mengalami kekosongan. Saya hanya mengingat tarian dan garis besar cerita, bukan membawa pulang makna.

Namun, saya tetap mengangkat jempol atas suguhan teater yang membuat saya terpukau dari deretan kursi penonton. Pengalaman langka buat saya menyaksikan pementasan yang sesekali menggunakan bahasa Bugis, menyaksikan anggunnya tarian gadis Bugis yang lembut, namun di beberapa bagian bisa menghentak. Saya bangga karena menyaksikan teater yang digali dari naskah yang disebut-sebut sebagai kanon sastra dunia.

Di hadapan panggung itu, saya pun terpesona.


Bogor, 14 Mei 2016


BACA JUGA:










0 komentar:

Posting Komentar