Dari Iwan Tjitradjaja Hingga Mattulada




DARI kampus Universitas Indonesia, saya mendapat kiriman buku berjudul Belajar Manusia dan Antropologi dari Iwan Tjitradjaja. Buku ini berisikan kisah-kisah, kesaksian, pengalaman, serta persentuhan pengetahuan dengan Iwan Tjtradjaja, seorang guru di bidang antropologi di kampus itu.  Sebagai muridnya, saya pun ikut menuliskan pengalaman bersamanya.

Betapa indahnya jika seorang guru dikenang dengan cara seperti ini. Jika dalam mitologi Yunani kuno, Dewa Zeus mengabadikan para pahlawan sebagai bintang-bintang yang terus bersinar. Di masa kini, semua guru harusnya diperlakukan serupa pahlawan yang bersinar di dalam setiap getar pengetahuan. Para guru harus diabadikan dalam aksara yang saling bertaut, dan menjadi saksi atas ilmunya yang mengedap di benak muridnya.

Saya memandang buku mengenai Iwan di saat televisi tengah menayangkan berita tentang seorang dosen yang dibunuh mahasiswanya sendiri di Medan. Saya hanya menduga-duga. Mahasiswa itu memang salah besar dengan tindakannya. Akan tetapi, perlu didengarkan apa alasan kuat mengapa dirinya tiba pada tindakan senekad itu. Jika saja interaksinya dengan guru serupa hubungan antara anak dan orangtua yang sama-sama mencari makna di samudera pengetahuan, maka peristiwa itu tak akan terjadi.

Sewaktu baru masuk Universitas Hasanuddin (Unhas), saya pernah menghadiri satu acara diskusi dan dialog akademik yang dihadiri seorang akademisi yang sangat disegani ilmunya. Lelaki Bugis yang sangat berkharisma itu bernama Professor Mattulada. Pada saat itu, Mattulada menjadi pemateri yang hanya berbicara sepatah dua kata. Ia memilih mendengarkan mahasiswa yang menyampaikan argumentasi, yang beberapa di antaranya berbicara dalam intonasi penuh kemarahan.

Saat itu, ada seorang dosen yang ikut berbicara dengan penuh emosi. Dosen itu menyebut para mahasiswa sekarang sudah tidak punya etika. “Banyak mahasiswa yang mengatai dosennya sebagai anjing. Dulu hanya satu sekarang malah banyak. Mereka mengatai dosennya binatang. Para mahasiswa semakin kurang ajar. Harusnya mereka dipecat sebagai mahasiswa,” katanya.

Jawaban Mattulada membuat saya tersentak. Sebagai dosen senior, ia justru tidak sedikitpun membela dosen yang penuh murka tersebut. Ia menjawab dengan tenang, “Kalau ada seorang mahasiswa yang mengatai anda anjing, mungkin ada yang salah dengan mahasiswa itu. Tapi kalau ada banyak mahasiswa yang mengatakan itu maka saatnya anda introspeksi diri. Jangan-jangan ada unsur anjing dalam diri anda. Saatnya anda berintrospeksi.”

Mattulada lalu bercerita tentang pengalamannya sebagai dosen, lalu rektor di satu kampus di Palu, hingga kembali menjadi guru besar. “Puluhan tahun saya berkarier sebagai dosen, tak ada satupun yang pernah mengatai saya seperti itu. Semua mahasiswa adalah anak-anak saya yang setiap saat bisa menahan langkah saya untuk sekedar berdiskusi atau bertanya banyak hal. Saya dan mereka adalah sama-sama pencari ilmu di pantai pengetahuan.”

Saya rasa Mattulada benar. Semua respon orang lain akan selalu bergantung pada tindakan yang kita lakukan. Jika kita kerap memarahi orang lain, maka orang lain akan menghindar dan mudah murka kepada kita. Sebaliknya, semakin kita menghormati dan mengasihi orang-orang di sekitar kita, maka keberkahan akan mengiringi langkah kaki kita. Kebaikan dan kasih sayang akan tercurah pada setiap jejak langkah kaki kita. Orang-orang akan mendekati kita karena cahaya yang kita pancarkan.

tulisan saya di buku mengenai Iwan Tjitradjaja

Sebagai pembelajar, saya masih setia mengenang mereka yang pernah meletakkan dasar-dasar pengetahuan dalam diri. Saya masih mengingat jelas para guru yang mengajarkan pengetahuan di universitas. Saya meletakkan nama mereka di altar pengetahuan yang setiap saat bisa saya pandangi dan dijadikan cermin untuk bertindak. Kepada para guru hebat itu, saya tak akan pernah melupakannya. Pada diri mereka, saya temukan cermin keteladanan. Rasa terimakasih akan terus saya hamparkan kepada mereka yang berbuat baik itu.

Kembali, saya pandangi buku mengenai Iwan yang pernah mengajari saya ilmu antropologi. Membaca catatan para murid membuat saya rindu pada dirinya, juga rindu pada caranya mengajarkan sesuatu. Saya membayangkan semua hal baik yang diajarkannya. Meskipun dia seorang Kristen, saya ingin mendoakan dirinya dengan cara Islam agar dirinya selalu bahagia di alam sana.

Malam ini, saya melafal Al Fatihah untuknya.


Bogor, 7 Mei 2016

BACA JUGA:





0 komentar:

Posting Komentar