Girls Generation, salah satu ikon musik di Korea |
DI saat banyak negara perlahan mengalami
krisis, di saat negara lain tengah ketakutan dengan komunisme, di saat negara
lain sibuk mewaspadai semua keyakinan warganya yang dianggap sesat, Korea
Selatan justru tampil menjadi kekuatan baru. Negara ginseng ini mengalami
kemajuan pesat di bidang teknologi, lalu menyebarkan berbagai produknya ke
seluruh negara Asia. Sungguh mengejutkan, dari negara kecil ini berbagai produk
budaya populer perlahan menjadi ikon dunia.
Dalam hal budaya pop dan industri hiburan, Korea
kini jauh menyalip Jepang, Cina, Taiwan, negara Timur Tengah, hingga Eropa. Era
tahun 2000-an menjadi era kebangkitan Korea. Bangsa Korea bangkit dan
menjadikan dirinya sebagai masa depan. Di bidang teknologi, khususnya teknologi
informasi, Korea unggul di banyak lini. Perlahan, serial televisi, film, musik,
hingga tarian ala Gangnam Style menjadi ikon dunia. Siapa sangka, ekspansi
budaya yang berlangsung secara massif itu dari rasa dendam yang berkarat-karat
dalam hati, yang kemudian menjadi katalis untuk melejitkan ekonomi Korea.
Dalam buku berjudul The Birth of Korean Cool: How One Nation is Conquering the World through Popular Culture, diterjemahkan dengan judul Korean Cool, yang ditulis
Euny Hong, saya menemukan semua jawaban pertanyaan yang lama bersarang dalam benak.
***
SEBUT saja namanya Dwi. Ia seorang ibu muda yang
tinggal di Bogor, tepatnya di Cimahpar, Bogor Utara. Sebulan silam,
rutinitasnya adalah menyaksikan serial Korea bejudul Descendant of the Sun yang
dibintangi Song Joong-ki dan Song Hye-kyo. Hari-harinya adalah memikirkan serial
itu. Setiap menyaksikan satu episode melalui kanal televisi yang khusus
menyiarkannya, ia akan mencari segala informasi tentang kelanjutannya melalui
internet. Malah, ia ingin menonton lebih awal, lalu menghabiskan sekian
kilobyte kuota internet demi memadamkan rasa penasarannya.
Setiap kali sosok idolanya muncul di layar, Dwi
serupa remaja alay yang histeris dan berteriak, “Ganteng banget!” Serial itu
serupa magnet yang menghipnotis dirinya untuk mengikutinya dari awal hingga
akhir. Ia rela menunda berbagai aktivitasnya demi menyaksikan serial itu.
Bahkan, ia pun menunda pemeriksaan rutin kehamilannya ke dokter jika bertepatan
dengan jam tayang serial itu.
Tak hanya menyaksikan serial itu, Dwi seolah
menjadi penggemar segala pernak-pernik mengenai budaya Korea. Ia mengikuti segala
informasi tentang wilayah itu. Di matanya, kriteria ketampanan dan kecantikan
adalah sebagaimana sosok yang disaksikannya dalam drama Korea. Di matanya,
Korea adalah negeri yang sempurna. Ia membayangkan sedang duduk di tanah Korea,
di tengah butiran salju yang turun dari atas, lalu tiba-tiba muncul lelaki
Korea dengan wajah seperti Lee Min Ho, sedang bermain biola yang suaranya lirih
menyayat-nyayat.
Dwi tak sendirian. Sejak awal tahun 2000, dunia
terpapar oleh satu demam baru yang disebut Korean Wave. Demam ini melanda
seluruh negara Asia hingga Timur Tengah lalu Amerika Latin dan Afrika. Berbagai
produk Korea, mulai dari merek Samsung dan LG hingga Hyundai, telah menyebar ke
seluruh dunia. Bahkan, video lagu berjudul Gangnam Style yang dinyanyikan artis
Korea bernama Psy, menjadi tayangan yang paling bayak ditonton di Amerika
Serikat. Di saat ikon musik Amerika seperti Britney Spears ikut menirukan tarian
Spy, dunia tengah menyaksikan penetrasi Korea di jantung hiburan dunia. Korea adalah masa depan.
Buku The Birth of Korean
Cool yang ditulis Euny Hong menjelaskan banyak sisi Korea. Buku ini membuka
mata saya bahwa apa yang terjadi di Korea tak berbeda dengan apa yang terjadi
di negara lain, seperti Indonesia. Bedanya, Korea bisa membangkitkan kekuatan
ekonominya melalui pijakan kuat pada budaya, lalu secara perlahan mengejutkan
dunia.Korea bisa membalikkan keadaan, dari tertinggal menjadi terdepan. From zero to hero.
Sungguh, fenomena Korea adalah fenomena yang
mengejutkan. Hingga akhir tahun 1980-an, negara ini dipimpin oleh rezim
militer. Warganya hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Warganya hidup
dalam ketakutan akan perang dengan saudaranya di utara. Tapi sejak tahun
1990-an, Korea mulai mengalami lonjakan ekonomi yang sangat tajam, hingga
akhirnya negara itu dilanda krisis yang menghantam Asia di akhir tahun 1999, hingga harus berutang ke IMF. Utang inilah yang mengoyak harga diri mereka.
Bagi negeri itu, krisis adalah titik balik.
Krisis menjadi momentum untuk mengembalikan harga diri bangsa. Presiden Kim Dae
Jung lalu mengundang para Public Relation (PR) hebat Korea untuk merancang
strategi bagaimana mengembalikan citra negeri itu yang terpuruk. Rekomendasinya
adalah sebanyak-banyaknya memproduksi budaya populer, lalu mengekspornya ke
berbagai negara. Hanya melalui produk seperti film, serial drama, K-Pop, Video
Game, hingga makanan cepat saji, Korea bisa kembali memulihkan harga dirinya.
Di saat bersamaan industri lalu diperkuat, hingga akhirnya Korea berhasil membayar utang ke IMF tiga tahun setelahnya.
Di saat orang Amerika masih memperdebatkan
televisi analog yang diancam televisi digital, Korea memulai produksi besar-besaran
televisi digital lalu mengemasnya menjadi jauh lebih canggih. Pemerintah Korea memasang jaringan
Internet cepat dan infrastruktur teknologi informasi. Seluruh desa, sekolah, rumah, dipasang internet yang kecepatannya paling tinggi di dunia.
Pemerintah mengucurkan lebih dari 25 persen dari
keseluruhan modal perusahaan di Korea, dan bantuan diplomasi untuk
"menyelundupkan" musik dan drama Korea ke berbagai negara. Sedangkan
perusahaan swasta juga melakukan investasi yang sangat berani. Sebuah
perusahaan musik Korea rela menghabiskan sampai tujuh tahun untuk menyiapkan
bintang K-Pop, sekelas Girls Generation, untuk masa depan. Meskipun orang Korea merasa kecolongan karena yang pertama menembus dunia adalah Psy, penyanyi yang berwajah jelek, yang justru tidak melakukan operasi plastik.
Pemerintah membuat riset, lalu menyiapkan
panduan bagi semua pelaku industri untuk memasuki pasar negara lain. Misalnya,
pemerintah membuat panduan tentang negara-negara Timur Tengah yang mayoritas Muslim.
Bahwa serial drama jangan tayang saat waktu-waktu salat, kenali hal-hal yang
tak dibolehkan, misalnya mengumbar aurat.
Hal ini bersesuaian dengan budaya
Korea yang kental dengan etika Konfusianis, yang tidak membolehkan mereka untuk
berciuman di depan publik. Etika Konfusianis juga dimunculkan dalam film, misalnya sikap menyayangi dan menghormati orang tua, hingga etika
berpakaian yang tertutup dan tidak memperlihatkan bagian tubuh tertentu.
Barangkali, hanya Korea yang membuat panduan bagaimana menguasai pasar di
negara lain.
Bagi Hong, "Kalau bukan
krisis itu, mungkin tak akan pernah ada Korean Wave". Sebelum krisis,
dunia hiburan Korea tidak melakukan usaha agresif apa pun untuk menjual
produknya di luar negeri. Namun, dalam keadaan terpojok, para pelaku industri
hiburan memutuskan harus menjual film, pertunjukan televisi, dan musik mereka
ke seluruh Asia. Di tengah krisis, Korea melakukan pertaruhan gila dengan menjadikan industri teknologi informasi dan budaya populer
sebagai prioritas ekonomi.
serial Winter Sonata yang sangat populer di Jepang |
Gelombang budaya populer itu dikenal sebagai "Hallyu", menjadi sebuah
fenomena yang menyedot perhatian
seluruh dunia. Saat orang mendengarkan K-Pop, mereka membeli gaya hidup.
Hallyu merupakan strategi ekonomi menjual gaya hidup. Di situ ada kombinasi antara budaya dan ekonomi. Hallyu lebih dari sekadar
K-Pop, yang salah satu
bintangnya adalah Girls Generation.
Ibarat menu makan, Hallyu Korea
seperti sebuah paket komplet. Mulai dari drama, musik, promosi, iklan mobil, juga iklan telepon seluler dan teknologi terbaru. "Belum pernah ada yang mencoba membuat
campuran terpadu yang mencakup semua hal, dari produk teknologi sampai musik,
video, dan konten daring. Ini invasi di segala lini ke perbatasan asing." Hallyu diterjemahkan sebagai senjata yang
mengguncang seluruh dunia.
Dalam hanya waktu puluhan tahun, Korea mengalami perubahan yang baru
dicapai kebanyakan negara maju setelah ratusan tahun. K-Pop, drama, film, video
game, dan makanan cepat saji Korea telah mendominasi wilayah budaya Asia,
bahkan semakin moncer di Eropa dan Amerika. Euny Hong
mengatakan, "Hallyu adalah peralihan paradigma budaya tercepat dan
terbesar dalam sejarah modern."
Hallyu sama sekali bukan sesuatu yang jatuh dari langit, namun sesuatu yang
dihadirkan melalui serangkaian kerja keras dan kebijakan negara yang menopang
itu. Dia adalah
kombinasi antara disiplin, kerja keras, persaingan, rasa malu, sekaligus
kepercayaan konfusianisme yang secara kultural melekat dalam diri orang Korea.
Identitas dan etiket tersebut tanpa disadari terbentuk di antaranya dari metode pendidikan yang tegas, intimidasi ujian masuk universitas, dan
doktrin superioritas kompleks oleh pemerintah terhadap "saudara"
komunis, Korea Utara. Warga Korea didorong untuk menginjeksikan budaya unggul dan kompetisi. Tak ada tempat buat anak yang merengek manja. Semuanya demi menjadikan bangsa itu terdepan.
Pada titik ini, saya teringat pada konsep soft power yang diperkenalkan ilmuwan politik Harvard University, Joseph Nye. Menurutnya, soft power adalah kekuatan yang tak terlihat yang dimiliki sebuah negara melalui citranya ketimbang melalui kekuatannya. Hard Power adalah kekuatan militer dan paksaan ekonomi.
Soft
Power adalah bagaimana Korea memaksa semua warga dunia menyaksikan serial
drama dan film, lalu mengagumi ponsel merek Samsung dan LG, lalu melihat
kecanggihan mobil Hyundai di serial itu. Hallyu bisa dikatakan sebagai soft
power bangsa Korea yang disebarkan ke seluruh dunia.Salah satu manifestasinya adalah pemaksaan standar tampan dan cantik sesuai standar Korea, yang lalu memicu penyebaran produk kosmetik, menjamurnya operasi plastik, serta larisnya aktor dan aktris Korea di manca-negara.
Hal yang mengejutkan saya adalah ambisi
Korea untuk menyebarkan “hallyu” itu didorong oleh kebencian
yang memiliki akar dalam sejarah. Ada "kemarahan" yang secara kultural oleh
orang Korea disebut Han. Han itu semacam dendam yang membuat harga diri mereka seakan turun. Salah satu Han itu adalah
kebencian terhadap Jepang.
Dendam tersebut telah berlangsung 600 tahun dan
terakhir akibat Jepang menjajah Korea pada 1910 sampai 1945. Dalam hubungannya
dengan gelombang Hallyu, sesungguhnya dorongan dan motivasi mereka muncul dari
keinginan untuk mengalahkan Jepang dalam hal apa pun.
Akhir 1990-an, Samsung
menetapkan raksasa elektronik Jepang, Sony, sebagai perusahaan yang harus
dikalahkan. Pada masa itu, Samsung menjadi bahan tertawaan. Kini, Samsung sukses mengalahkan perusahaan Jepang itu di banyak lini. Samsung perlahan menjadi raksasa kelas dunia yang menantang Apple dan Microsoft, perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat.
buku yang ditulis Euny Hong |
Jika Amerika fokus ke seluruh dunia Korea hanya fokus ke sejumlah wilayah yang belum terjamah. Korea masuk ke negara dunia
ketiga yang sedang tidur, demi memasukkan serial dan produk budaya populer
mereka. Tak heran jika drama Korea “Jewel in the Place” menjadi serial paling
laris di Iran, sampai-sampai memaksa orang Iran mengubah jam makan agar tidak
berbenturan dengan jam tayang serial ini.
Lebih mengejutkan ketika serial Korea
berjudul Winter Sonata menjadi serial paling populer di Jepang, menumbangkan
semua drama buatan Jepang, sekaligus mengubah persepsi orang Jepang yang
melihat lelaki Korea sebagai lelaki paling ideal. Lelaki Korea memiliki
kekuatan dan kharisma, namun di saat berbeda bisa pula menangis saat melihat sesuatu yang
mengharukan.
Bayangkan, Perdana Menteri Jepang, Junichiro Koizumi menyebut nama aktor Korea Bae Yong-joon (sosok dalam kisah Winter Sonata) sebagai simbol lelaki sempurna dalam kampanyenya. Bagi negara ginseng yang pernah dijajah negeri samurai, penyebutan tipe lelaki sempurna itu adalah simbol dari penetrasi di jantung bangsa yang pernah menjajah mereka.
Perlahan, penetrasi Korea masuk ke level dunia. Hingga akhirnya, Jepang pun takluk terhadap
penetrasi Korea di negaranya sendiri. Lee Min Ho menjadi aktor tampan yang
diidolakan wanita Jepang. Produk budaya populer Korea tak hanya menguasai
Jepang, tapi juga meyebar ke semua negara lain di kawasan Asia. Di Filipina,
serial “You Who Come From The Stars” lalu dijiplak oleh rumah produksi lokal,
demikian pula di Indonesia. Jangan terkejut membaca fakta tentang rontoknya
industri elektronika Jepang yang pasarnya ditebas oleh Samsung dan LG.
***
BUKU yang ditulis Euny Hong ini sedemikian menarik
karena gaya tuturannya yang mengalir serta berbasiskan pengalaman. Sebagai
orang Korea, ia menyaksikan pasang surut negaranya, lalu tiba-tiba terkejut
melihat negaranya telah berada pada titik yang jauh di depan negara-negara
lain.
Di mata saya, kekuatan Korea adalah memiliki
visi yang sama di kalangan warganya untuk melesat maju dan menjemput masa
depan. Di negeri ini tak ada perang antar keyakinan, tak ada debat tentang
siapa yang akan masuk surga dan siapa yang masuk neraka, tak ada perdebatan
tentang agama dan etnis pemimpinnya. Negeri ini hanya fokus pada masa depan,
sesuatu yang harus dimenangkan, melalui upaya menggempur negara lain dengan
kekuatan budaya yang lalu melejitkan ekonomi.
Jangan terkejut jika di masa depan Korea akan
semakin melesat. Bangsa itu telah memancangkan tekad kuat bahwa abad 21 adalah
abadnya Korea, sebagaimana abad 20 milik Amerika Serikat. Korea membuat
semi-konduktor, mobil, produk elektronik, satelit, teknologi yang canggih demi
menatap masa depan. Seorang pemilik usaha rekaman Jon-Young Park pernah ditanya,
dari mana asalmu? Ia menjawab singkat, “Saya datang dari Korea. Saya dari masa
depan.”
Bogor, 24 Mei 2016
2 komentar:
Paling sering ciuman bibir, pakaian seksi lumayan jarang di drama korea apalagi yg joget-joget ala India. Btw, drama itu sangat berpengaruh lho terhadap ekonomi Korea, contohnya Descendants of the Sun bisa membawa pulng Rp.11 triliun lebih. Bagaimana dngn drama Indonesia yang ribuan episode?
Keren keren !
Posting Komentar