“Kebahagiaan itu terletak jauh di dalam
diri. Ketika kita tak bahagia, berarti kita tak cukup dalam menggalinya.” Selama
sekian dekade, kalimat di atas seakan menjadi mantra bagi orang yang mencari
kebahagiaan. Banyak pula religi dan keyakinan yang menekankan pada kedamaian
dalam hati demi menggapai bahagia.
Tapi seorang lelaki bernama Eric Weiner
tak percaya itu. Baginya, kebahagiaan itu ditemukan melalui perjalanan dan
menyera inspirasi. Baginya, kebaagiaan tak berada dalam diri, tapi berada di
luar sana. Kebahagiaan harus ditemukan melalui perjalanan."Kebahagiaan tak
hanya berada dalam diri kita, tetapi di luar sana. Atau, lebih tepatnya, garis
antara di luar sana dan di dalam sini tidaklah ditentukan setegas seperti yang
kita kira."
Setahun silam, saya membeli buku Eric
Weiner berjudul The Geography of Bliss: Kisah Seorang Penggerutu yang
Berkeliling Dunia Mencari Negara Paling Membahagiakan. Dahulu, saya tak
menemukan keasyikan membacanya. Terjemahannya tak begitu bagus. Ternyata, buku
itu diterbitkan ulang, lalu direvisi. Saya membelinya lagi. Nah, kali ini lebih
baik. Saya menemukan sesuatu yang dicari oleh Eric. Jika ia perlu keliling
banyak negara demi mencari bahagia, saya cukup membaca bukunya.
Buku ini berkisah tentang perjalanan
seorang jurnalis bernama Eric Weiner. Ia tak sekadar menulis catatan
perjalanan. Ia berkeliling dunia dengan membawa satu misi yakni menemukan
definisi bahagia di berbagai tempat. Baginya, konsep bahagia terkait dengan
banyak hal, mulai dari budaya, sosial, serta cara-cara masyarakat memaknainya.
Negara-negara yang dikunjungi adalah Inggris, Swiss, Amerika, Bhutan, Thailand,
Dubai, dan beberapa negara lain. Some of them are listed as the happiest
country in the world, and some of them are at the least.
Berbeda dengan banyak travel writer,
yang kebanyakan menulis tentang wisata dan hal unik, Eric memiliki misi penting
dalam perjalanannya. Ia ingin menemukan konsep bahagia. Bagi mereka yang
belajar antropologi pasti sama paham bahwa satu hambatan untuk mengetahui
ukuran kebahagiaan adalah perbedaan definisi tentang bahagia itu sendiri.
Setiap individu punya definisi bahagia sendiri. Demikian pula, semua budaya
juga punya definisi sendiri, dan belum tentu tentu semua budaya menghargai
kebahagiaan pada tingkat yang sama. Bahagia itu personal.
Namun tetap saja ada hal-hal yang umum
terkait bahagia. Eric menemukan bahwa bagi orang Belanda, kebahagiaan itu
terkait dengan angka-angka. Sementara bagi orang Swiss, kebahagiaan itu terkait
dengan kebosanan, sedang bagi orang Qatar, bahagia itu hadir ketika menang
lotere. Yang menggelikan buat saya, bagi orang Thailand, kebahagiaan itu adalah
ketika kita tidak memikirkan apapun.
Mungkin sebagian kita tak sepakat dengan
penuturannya. Tapi Eric menuliskan refleksinya berdasarkan basis catatan
lapangan yang sangat bagus. Tulisannya mengalir, dan di beberapa bagian,
terdapat dialog-dialog filosofis yang sesaat membuat saya tertegun, dan kemudian
melihat ulang dalam diri. Ia menyebut dirinya seorang penggerutu sebab ia
bicara apa adanya, tanpa dilebihkan atau dikurangkan. Dengan cara demikian,
pembacanya bisa mendapatkan gambaran utuh melalui mata, telinga, otak, dan hati
seorang Eric Weiner.
Bagian yang menurut saya paling menarik
adalah ketika ia menelajah Bhutan. Saat tiba, Eric mengira negeri ini sepeti
negeri lain yang hanya membenahi aspek tampilan luar, misalnya bandara megah,
yang hendak menutupi kampung kumuh di sekelilingnya. Di Bhutan, rumah yang
tampak jelek di luar, belum tentu mencerminkan bahagian dalam. Ternyata
penampakan di dalam sangat indah. Eric belajar untuk tidak melihat sesuatu dari
sisi luarnya. Ia belajar itu di Bhutan.
Bhutan dianggapnya unik sebab kemajuan
negara tidak dilihat dari Gross National Income, yang patokannya adalah
pembangunan ekonomi, dan tingkat kesejahteraan. Bagi orang Bhutan, hal itu
justru tidak mencerminkan aspek-aspek kemanusiaan. Bhutan menerapkan standar
baru yang disebutnya Gross National Happiness yang meliputi empat aspek yakni:
(1) pembangunan ekonomi dan sosial yang adil, yang tolok ukurnya adalah
kesehatan dan pendidikan yang baik, (2) perlindungan dan promosi budaya, (3)
kelestarian lingkungan, (4) pemerintahan yang baik.
Dalam amatan Eric, orang Bhutan meletakkan
kebahagiaan itu pada kebersamaan, serta konsep hidup yang melihat alam dan
manusia secara seimbang. Mereka tak ingin menjadi mahluk individual. Mereka
ingin hidup secara kolektif, bersama seluruh keluarga, serta selaras dengan
alam. Yup! Ini memang ajaran yang digali dari etika Budhisme. Mereka cerdas
sebab bisa menemukan hal-hal yang dinamik dari dalam budayanya, dan hidup
dengan cara mereka, tanpa mau mengkuti cara barat.
Saya menemukan satu kutipan menarik dari
Karma Ura, salah seorang biksu. Katanya, dunia hanya mengukur apa yang bisa
diukur lalu menilai segala hal dengan alat ukur itu. Ia menyebut Jepang.
Penduduknya berusia lebih 60 tahun, tapi apakah penduduknya menemukan bahagia
pada usia itu? Apakah kehidupan yang dijalani itu berkualitas? Ibarat melihat
sekolah, kita hanya terpaku pada berapa jumlah siswa, tapi tidak pernah melihat
isi pendidikan. Hmm... dia telah membuat saya mengangguk.
Saya merasa tercerahkan saat membaca
catatan Eric Weiner akhir seusai melakukan perjalanan mencari bahagia. Katanya,
ubahlah lokasi pijakmu, maka kamu mengubah dirimu. Dengan berpindah tempat,
kita berorientasi kembali. Kita melepaskan belenggu harapan dan kenyamanan.
Hanyut ke tempat lain berarti membiarkan diri kita menjadi orang lain. Menurut
Eric, ada satu kesamaan di semua tempat yang dikatakan bahagia. Yakni
memberikan keleluasaan, suatu perasaan bahwa “kehidupan lebih luas dari hidup
dan pencapaian saya.”
Pernyataan Eric yang menggugah saya adalah
kadang-kadang kita menempuh separuh dunia demi menemukan kebahagiaan. Ternyata
kebahagiaan itu justru hanya berjarak beberapa meter dari diri kita. Saya
teringat kalimat yang pernah saya catat di buku harian: “Someday you will understand that your destination is the first step of
your journey.” Suatu hari kamu akan menyadari kalau tujuan perjalanan kita
adalah langkah pertama dari perjalanan itu sendiri.Saya jadi ingat pada sufi Jalaluddin Rumi yang pernah mengatakan bahwa manusia yang mencari bahagia, ibarat ikan di lautan yang tengah mencari air laut. Bahagia itu selalu melingkupi kita, bahagia itu tak pernah berpisah dengan diri kita. Hanya saja, kita terkadang tidak menyadarinya, dan menginginkan sesuatu yang jauh dari diri.
Artinya, kita tak harus beranjak ke
mana-mana untuk menemukan bahagia. Saya pun mengalami bahagia. Saya
merasakan senang serta nyaman, mungkin
ini yang disebut bahagia, pada saat-saat tertentu. Di rumah sendiri, di
tengah keluarga, di tengah celoteh anak kecil, di saat kenyang seusai menikmati
masakan istri, di saat senang karena satu pekerjaan kelar, di saat tamasya dan
piknik keluarga, di saat menemani anak nonton film kartun lalu menjawab
pertanyaannya, di saat membaca kalimat-kalimat positif di berbagai media
sosial, di saat menonton film-film bagus, di saat mencoba kuliner yang enak-enak,
di tengah semua orang yang menerima saya apa adanya sebagai sahabat dan
saudara, SAYA MENEMUKAN BAHAGIA.
Bogor, 11 April 2016
BACA JUGA:
1 komentar:
Thnks pencerahannya kak. Malem2 baca gini, sungguh menenangkan.
Posting Komentar