Duhai Ahok, Tunggu Apa Lagi?



Duhai Ahok. Di berbagai media kini namamu lebih populer dari sosok kurus yang pernah kamu dampingi. Dulu, kamu pernah merasakan bagaimana dibesarkan oleh media. Kini, dirimu menjadi bulan-bulanan. Namamu dibawa-bawa dalam banyak kasus, seolah tak ada lagi kebaikan pada dirimu.

Sebagai warga biasa di tepian, ingin rasanya kukatakan, jika memang ada salah, bongkar saja semuanya. Jika memang kamu mengambil bagian, segera umumkan pada rakyat Indonesia. Semua orang berhak tahu apa yang sedang terjadi. Semua orang pantas untuk mendapatkan informasi yang memadai tentang siapa yang sedang bermain. Kalau kamu memang merugikan negara, segera nyatakan secara terbuka. Kami respek kepada segala kejujuran. Biar sejarah yang akan menentukan ke mana kamu berlabuh. Biar kamu jadi sejarah yang tak harus diwariskan kepada anak negeri.

Tapi jika kamu tak salah, tunjuk siapa orangnya. Kalau dia memang salah, kita akan datangi sambil membawa massa. Kita desak pengadilan yang seadil-adilnya. Kita kawal apapun putusan hakim. Kita akan membawa pedang keadilan. Kita pastikan ada sejarah penegakan hukum yang benar agar kelak anak cucu kita mendapatkan keteladanan dan warisan tradisi yang baik. Kalau si salah itu mengambil hak-hak orang banyak, kita akan pastikan agar semua hak itu kembali pada orang biasa. Terhadap kebenaran, kita akan datang berramai-ramai demi mendesakkannya.

Kebenaran dan keadilan adalah dua sisi koin yang saling melengkapi. Tanpa kebenaran, tak mungkin ada keadilan. Di era kekinian, kebenaran serupa karet gelang yang bisa ditarik ulur. Hukum dan penegaknya sering kali tunduk pada kuasa. Kebenaran serupa permen karet yang diucapkan seorang politisi. Kita hanya merasakan manis sesaat, namun setelah itu karet pahit yang kenyal di lidah. Makanya, kita harus kuatkan semua penegak hukum. Kita kawal mereka dengan segala sihir dan mantra yang kita punyai. Kita kuatkan mereka agar tumbuh serupa pohon beringin rindang yang akarnya menghujam bumi.

Tanpa keadilan, tak mungkin ada kebenaran. Keadilan adalah sesuatu yang harusnya tumbuh dalam pikiran. Sekali seseorang memvonis yang lain dengan engatif, maka mustahil orang tersebut berlaku adil. Seumur hidup orang itu akan terus memendam prasangka. Di titik ini, mustahil untuk bicara kebenaran. Keadilan adalah buah dari segala refleksi dan keyakinan untuk menempatkan segala hal pada porsinya. Bisakah kita adil dan benar?

Duhai Ahok. Katakan salah terhadap yang salah. Pada hari ini kamu bisa divonis sebagai tersangka. Pada hari ini kamu bisa didesak ke dalam lipatan sejarah. Tapi jika kamu menghampar semua bukti, membiarkan publik melihat persoalan seadil-adilnya, ke manapun kamu bergerak, publik akan selalu mencatat namamu dengan tinta emas. Kejujuran lebih mahal dari apapun. Di dalam kejujuran ada sesuatu yang bening sesuatu yang akan dilihat sejernih kaca.

Duhai Ahok, tunggu apa lagi? Buka saja semua yang tertutup rapat. Buka juga apa yang sedang kamu lakukan. Laporkan segala yang tertutup. Namun, bisakah kamu bertindak seperti Oediphus, sosok yang mendorong keadilan, meskipun keadilan itu terasa perih sebab berbalik menghantam dirinya sebagai si salah yang harus menerima hukuman?

Bisakah?

2 komentar:

syamsul adhie mengatakan...

Sesungguhnya kami masyarakat sedang dilanda kebingungan, apakah hari ini mereka sedang berkata jujur atau sebaliknya memutar balikan kebenaran, entahlah... siapa.sebenarnya yang benar, saya sebagai org luar jawa skedar mengikuti sinetron politik ala ahok, ceritanya.semakin dramatis... catatan penting buat saya yang nulis ini semakin kritis dan tidak sedang dalam pencitraan hahaha bejorak bang

syamsul adhie mengatakan...

Sesungguhnya kami masyarakat sedang dilanda kebingungan, apakah hari ini mereka sedang berkata jujur atau sebaliknya memutar balikan kebenaran, entahlah... siapa.sebenarnya yang benar, saya sebagai org luar jawa skedar mengikuti sinetron politik ala ahok, ceritanya.semakin dramatis... catatan penting buat saya yang nulis ini semakin kritis dan tidak sedang dalam pencitraan hahaha bejorak bang

Posting Komentar